Tampilkan postingan dengan label Tentang Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Menulis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Oktober 2013

Kiat Menulis Oleh Maggie Tiojakin 2

Sebelum menulis, belajarlah membaca sebagai penulis. Bongkar setiap cerita dan kenali elemen-elemennya. Dari situ, coba menyusunnya kembali. Bila kamu mengambil gelar Masters di bidang menulis, kamu akan diminta menelaah setiap paragraf/kalimat. No other tricks. Just read & read. Menulis itu tidak melulu pakai hati. Harus ada basis pengetahuannya. Penggunaan kalimat. Penyusunan dialog. Detil. Repeat: craftsmanship.

Penulis luar cenderung menyarankan calon penulis untuk menulis pakai hati karena di sana ilmu menulis sudah diterapkan tahun-tahunan. Harus seimbang. Buat kita yang belum mengenal tulisan sebagai ilmu/craftsmanship, penting banget untuk mendalami the ground rules of writing. Again, supaya seimbang.

Buat saya menulis itu adalah 1% talenta dan 99% keahlian. Dua hal yg tidak bisa diajarkan dalam menulis adalah Persepsi & Empati. Di luar itu, menulis adalah science. Bukan exact science, tapi tetap science. Mau break the rules? Monggo! But first you need to understand them. Argumen: Bukankah penulis-pnulis besar itu rata-rata otodidak? Yes. Tapi otodidak bukan berarti tidak ada basis pembelajaran. Tetap ada dasarnya.

Selasa, 01 Oktober 2013

Kiat Menulis Oleh Maggie Tiojakin

Maggie Tiojakin adalah mantan jurnalis Jakarta Post dan lulusan Harvard. Dia guru besar saya (Agustinus Wibowo). "be a journalist and learn to write". Saat kamu menjadi jurnalis, kamu belajar untuk observasi, yang penting untuk menulis. Menulis itu adalah praktek yang ada ilmunya, ada elemen & tekniknya. bukan sekadar bakat atau intuisi.

"Apakah menulis itu bisa diajarkan?" Jawaban dari pertanyaan ini adalah Yes and No. Bagian yang tidak bisa diajarkan dalam menulis adalah PERSEPSI dan EMPATI. Dalam tulisan apa pun kita tidak boleh judge mental. Dengan empati, tokoh yang jahat pun punya karakter baik & manusiawi.

Apa itu cerita? Cerita bukan seni. Cerita bisa mengandung unsur seni, tapi cerita sendiri bukanlah seni. Cerita bukan berita. Berita bisa jadi cerita, tapi tidak semua berita adalah cerita. Cerita bukan hiburan. Cerita bisa menghibur, tapi tujuan cerita bukan menghibur. Cerita bukan perjalanan. Cerita bisa merupakan perjalanan, tapi cerita sendiri bukanlah perjalanan. Jadi, cerita adalah MEDIUM KOMUNIKASI. tujuannya adalah untuk mengantarkan pesan. 

Cerita itu penting. kita tidak bisa membayangkan hidup tanpa cerita. setiap hari kita hidup dalam cerita. Dua buku terpopuler di dunia: Alkitab dan Alquran. 100jt copy/tahun. Dan isinya adalah stories, cerita. kita belajar fundamental hidup melalui cerita. Cerita adalah alat komunikasi penting, tapi sering kita remehkan. Kita tahu tentang dunia, sejarah peradaban, filosofi, Tuhan, semua melalui cerita. Cerita adalah hidup manusia 

Selasa, 16 Juli 2013

Ghost Of Your Past (Publication)

Di sebuah adegan, entah film atau serial TV apa yang pernah aku tonton di masa lalu, ada bagian yang menurutku relevan banget dengan yang akan kita bicarakan kali ini. Jadi ya, ceritanya, si cewek lagi berantem hebat sama pacarnya. Dengan suara gemetar, cewek itu berkata pada pasangannya—kira-kira begini, “Kita ada di masa sekarang, nggak bisakah kamu mencintai aku yang sekarang juga? Kenapa masih melihat ke belakang—ke masa lalu aku?”

Saat itu kayaknya aku ngikik-ngikik karena merasa itu dialog yang cheesy banget. Nggak nyangka, kelak di masa depan, tibalah kesempatan aku pengen bilang gitu ke para pembaca, “Nggak bisakah kalian berhenti nyari buku-buku aku yang sebelumnya?”

Hehehe.

Tapi, beneran, saat ada pembaca yang segitu penasarannya ingin membaca novel-novel aku dulu, waktu masih rajin menulis novel remaja yang lugu dan semacamnya, aku nggak bisa nggak deg-degan karenanya. Karena aku juga pembaca. Sadar atau nggak sadar, aku pasti akan membanding-bandingkan novel terbaru si penulis dengan yang sebelum-sebelumnya. Kalau bagusnya sama, makin cinta deh sama si penulis. Nah, kalau nggak...?

Senin, 15 Juli 2013

Writing Style

Apa sih arti ‘puncak karier’ dalam kamus penulis?

Bestseller? NO.

Difilmkan? NO.

Penulis bisa merasa berada di puncakkemampuan menulisnya adalah ketika gaya menulisnya begitu menonjol di antarapenulis-penulis lain. Kalau memakai analogi lampu, tulisannya paling terang diantara yang lain.

Dan untuk membuktikannya, bayangkan sajaruangan penuh tumpukan buku tanpa sampul. Tak ada judul maupun nama penulissebagai petunjuk. Dan pembaca bisa membedakan mana tulisan Raditya Dika, DewiLestari, atau Winna Efendi. Ow, keren banget itu mah! Nggak usah munafik, kamujuga pengen kan punya kualitas istimewa seperti itu?

Di dunia literatur, biasanya dikenal sebagai ‘writing style’ atau gaya menulis.Seperti binatang, semua penulis pada dasarnya punya keunikan masing-masing: mulaidari diksi, pilihan tema, plot, karakter, dialog, dan sebagainya. Pertanyaanselanjutnya adalah, kalau semua penulis pada dasarnya unik, kenapa nggaksemuanya bisa dikenali seperti itu?

Minggu, 14 Juli 2013

Happy Ending or Sad Ending?

You have NO idea how big this problem is in writers' circle.:)

HAPPY ENDING

Pro:

  • Pembaca yang menyukai ending bahagia biasanya yang memiliki motif ‘escapism’ saat menikmati buku-buku pilihannya. Pembaca jenis ini paling senang membaca di saat santai, membuang suntuk sejenak dari kepenatan dunia nyata, dan hanyut di dalam cerita indah di novel yang sedang berada di hadapannya. Mereka senang mengakhiri sesi membaca itu dengan tersenyum, puas karena si tokoh utama mendapatkan yang dia mau dan ternyata masih ada harapan untuk terus berpikir optimis.
  • Ada anggapan bahwa ending sedih dan tragis cenderung dipaksakan oleh penulis karena alasan dramatis. Ada yang memang karena clueless nggak tahu harus mengakhiri tulisannya seperti apa. Ada yang berasumsi, penulis sedang berusaha membuat tulisannya terasa dalam dan oh-so-cerdas.
  • Saat mencari bahan untuk Notes ini, aku menemukan rumor yang mengatakan bahwa di Hollywood, film dengan cerita berakhir bahagia cenderung lebih laris ketimbang film berakhir tragis. Penonton yang sadar betul film yang baru rilis itu punya ending tragis biasanya nggak mau repot-repot sampai ke bioskop segala untuk menontonnya. Meskipun ini rumor dan nggak bisa disamaratakan ke semua film yang diproduksi Hollywood, nilai kebenarannya sedikit-banyak bisa diaminkan. Lihat saja Little Mermaid versi Disney dan versi aslinya.

Sabtu, 13 Juli 2013

Oh That's So Cliche

Tujuh tahun jadi penulis, dua puluh sekian tahun jadi pembaca, masih saja nggak habis pikir kenapa orang-orang membaca novel romance dan berkomentar, “Ugh, ceritanya klise.” Alis sampai naik sebelah, kening berkerut bingung... dan dalam hati, diam-diam bertanya, “Are you kidding me?!”

Dan ternyata bukan hanya pembaca novel-novel romance lokal saja yang melakukan ini, pembaca novel luar juga sama saja. Saat sedang browsing santai di suatu sore, saya menemukan artikel di sebuah website tentang betapa klisenya karya-karya Nicholas Sparks. Dan seolah itu saja nggak cukup buruk, ada juga yang sampai membuat gambar atau bagan (?) tentang bagaimana cara menulis novel seklise Mr. Sparks dan ends up menandatangani kontrak jutaan dolar plus movie right untuk film yang jadi box office di kemudian hari. Oh yeah, menurut si pembuat artikel dan gambar itu lucu banget sampai nggak menyadari betapa salah pahamnya dia tentang romance.

Ini yang tak banyak orang sadari mengenai plot: ada plot maskulin dan plot feminin.

Plot maskulin lebih dulu populer ketimbang plot feminin. Malah, kebanyakan novel klasik menggunakan plot jenis ini. Ciri-cirinya sangat jelas, plot ini cocok untuk menceritakan petualangan, cerita kepahlawanan, kehidupan sosial politik, dan misteri.

Jumat, 12 Juli 2013

Lima Halaman Yang Menentukan

Sebagai penulis, penting untuk menyadari bahwa salah satu tugasmu adalah membuat pembaca jatuh cinta.

Sama seperti di kehidupan nyata saja, untuk memastikan perasaanmu tak bertepuk sebelah tangan, kamu akan melakukan banyak hal supaya dia terkesan. Mengajaknya jalan, mengobrol, menonton film berdua....

Itu kalau dia PUNYA WAKTU untuk belajar mengenal kamu lho ya.

Persoalannya, seringnya tuh, kamu diberi tekanan lebih, harus lebih bisa memberi kesan bahkan dari pertama kali berkenalan. Itu namanya cinta pada pandangan pertama. Kamu harus bisa membuatnya jadi tertarik padamu karena hal-hal yang sederhana: senyummu, tampangmu, suaramu—anything.

“Nah, kalau dengan pembaca bagaimana, Bang?” tanyamu sekarang. “Bisakah bikin pembaca jatuh cinta pada pandangan pertama juga?”

Kamis, 11 Juli 2013

Romance Genre Edition

Oh, jadi kamu memutuskan untuk menjadi penulis romance?

Congratulations buat keputusannya, tapi sekadar informasi, genre ini nggak sesederhana yang ada di pikiranmu.

Mitos satu: menulis romance itu gampang
Oh, ayolah, Bang, pasti itu yang ada di pikiranmu saat membaca sub judul ini, jangan sok-sokan bikin seolah genre romance itu sakral atau gimana. Menulis romance kan gampang. Nenek-nenek karatan juga bisa.

Oke, mungkin kalian nggak akan bilang kayak gini (minta digaplok mah kalau beneran ada yang ngomong begitu ke aku), tapi nggak usah menyangkal deh: nggak sedikit kan dari teman-teman yang berpikiran serupa? That’s okay, I’m not judging here. Dan memang, sepintas, menulis romance itu seperti nggak ada tantangan berarti. Yang penting nanti di tengah-tengah cerita, si cowok dan si cewek pasti jadian kan?

Rabu, 10 Juli 2013

Menulis Romance

thanks to Asrina Maharani, ini dia 25 tips menulis romance yang pernah aku bagikan sebagai status di akun FB-ku:

menulis romance #1: adegan bicara dalam hati (interior dialogue) kadang diperlukan untuk menggambarkan keadaan emosional tokoh. Tapi kalo terus-terusan... kok nggak lucu ya? Dan hindari terus-terusan membuat si karakter mengeluhkan hal yang sama. Ini akan membuat pembaca gemes sekaligus bosan.

menulis romance #2: hati-hati saat menulis adegan sensual. Bukannya membuat pembaca terlena, malah bikin ilfil dan jijik. Dan berhubung kita berada di Indonesia, just so you know, adegan sensual yang kelewat x-rated (kayak yang beberapa kali pernah saya temukan di antara tumpukan naskah masuk) malah menjadi poin minus naskah itu sendiri.

menulis romance #3: dialog yang baik mampu membawa pembaca ke 'sequence' baru sebuah cerita, memberi informasi, atau memperkaya pengetahuan pembaca akan karakter tersebut. Tapi dialog itu bisa jadi tak memberi ketiga manfaat tadi...kalau caramu menuliskannya witty dan terbukti bisa membuat pembaca terhibur.

menulis romance #4: dialog bisa digunakan untuk memperlihatkan emosi karakter. saat marah, karakter berbicara dengan kalimat singkat dan ketus. sebaliknya, kalau karakternya sangat sopan, saat marah kalimatnya justru panjang-panjang dan cenderung menyembunyikan emosi sebenarnya.

Selasa, 09 Juli 2013

How To Improve Your Novel Scene

Salah satu statement yang sering aku dengar dari teman penulis yang lagi mentok adalah: “Clueless beneran, Bang. Nggak kebayang deh gimana caranya menulis novel sampai berpuluh-puluh halaman begitu.”

Nah, semoga setelah ini kamu jadi nggak kayak teman penulis yang itu. Notes kali ini adalah mengenai cara untuk membuat novelmu terasa lebih seru dan (hehe) tebal.

Notes: elemen-elemen yang akan kamu pelajari ini ibaratnya seperti garam. Kalau terlalu sedikit rasanya hambar, terlalu banyak kamu, err, langsung dituduh bakal cepat kawin. :)
Pakai sesuai porsi ya, Dear.

Senin, 08 Juli 2013

Menulis Novel Komedi Romantis (Romantic Comedy)

Menulis komedi romantis nggak segampang kedengarannya. Memang sih, ada teknik-teknik tersendiri untuk menulis buat genre ini, tapi tetap saja naluri melucu itu menentukan sekali. Makanya, beberapa penulis yang—irinya...—dianugerahi kemampuan berkomedi yang oke gampang-gampang saja membuat adegan lucu di novelnya. Sedangkan sebagian penulis lagi kadang-kadang harus bekerja sedikit lebih keras demi membuat pembacanya terhibur.

Tips kali ini sama sekali nggak bermaksud mengajari bagaimana caranya melucu (puh-leez, emangnya gue Jerry Seinfeld?!), tapi justru untuk mengasah naluri kita sebagai penulis komedi romantis supaya bisa menulis dengan lebih baik. Apa aja tuh tips-tipsnya?

PERSIAPKAN DIRIMU SEBAGAI PENULIS KOMEDI ROMANTIS
Sebelumnya, kenali dulu jenis humor yang membuatmu tertawa. Apakah kamu penyuka komedi slapstik macam Opera Van Java? Penggemar komedi situasional macam Friends? Joke dingin dan kadang sarkastis macam The Office? Atau malah komedi cerdas dan kaya one liner seperti Seinfeld?

Dengan mengenali selera humormu, kamu pun bisa tahu sebenarnya mampu nggak sih menulis novel komedi. Penyuka slapstik dan komedi one liner lebih cocok untuk menulis buku komedi—say, like Raditya Dika and the gang. Bukan berarti nggak mampu menulis komedi romantis lho, hanya saja di genre komedi naluri melucu kamu jauh lebih optimal digunakannya. :)

Sabtu, 06 Juli 2013

Tips membuat ending ala James V. Smith Jr.


Akhir yang ‘nendang’? Itu sih mimpinya semua penulis. Pengennya membuat pembaca terpesona dan menutup buku dengan perasaan puas—kayak habis makan dan sekarang menepuk-nepuk perutnya yang kekenyangan. Tapi persisnya GIMANA SIH CARANYA bikin akhir novel yang nendang ini?

Bersyukurlah, Sodara-sodara. Hari ini aku menemukan tip membuat ending James V. Smith Jr.  di e-mail-ku. Saat membacanya, aku ngerasa ‘WOW! Harus dibagiin ke anak-anak di FB nih!’. Itulah behind the scene-nya Notes hari ini.

 ANGAN MEMPERKENALKAN KARAKTER BARU ATAU SUB PLOT BARU. Seperempat terakhir novel harusnya merupakan proses penyelesaian konflik yang sudah dimulai di awal. Karakter baru atau sub plot hanya akan merusak semua kerja keras yang kamu lakukan berhalaman-halaman sebelumnya.
 
JANGAN BERPANJANG-PANJANG DI DESKRIPSI, MEMBUAT PERENUNGAN, PENJELASAN, APALAGI—EW—BERFILOSOFI SEGALA. Kamu sudah bisa pelan-pelan mengurangi deskripsimu, perbanyak ‘action’ dan konflik di setiap adegan yang kamu buat. Semua usaha kamu memanaskan kompor cerita sudah kamu lakukan dengan baik di awal dan pertengahan cerita. Saatnya membakar konflik itu sampai matang!

Jumat, 05 Juli 2013

Tips Menulis Klimaks Novel

Saat menulis, saya selalu memberi fokus ekstra di tiga bagian: awal cerita, klimaks, dan akhir cerita. Berhubung saya sudah beberapa kali menulis tip tentang awal cerita dan akhir cerita (di presentasi menulis kreatif kapan itu), saya rasa sudah saatnya menulis tip tentang menulis klimaks cerita.

Tapi sebelumnya, kamu harus tahu dulu, kalau ternyata kemungkinan ending hanya ada empat jenis. Serius. This is a very shocking fact for me too, mengingat selama ini ada kecenderungan ambisi penulis membuat ending yang tak terduga. Ternyata, oh ternyata....

Kamis, 04 Juli 2013

I'm Ready To Be A Published Writer

Saya juga dulu seperti temen-temen sekalian kok. I’m clueless about publishing world. Dan, ya, saya nggak punya kenalan siapa pun ‘orang dalam’ di penerbitan. Saya hanya mengirimkan naskah yang sudah dijilid rapi ke penerbit yang saya incar—as simple as that.

Meloncat ke tahun 2012, sekarang saya nggak se-clueless dulu. Bulan ini saya menerbitkan novel kedelapan saya, Good Fight (shameless self-promotion, hehe). Saya nggak menyangkal, cukup banyak yang menanyakan seperti apa prosedur menerbitkan naskah dan sebagainya. Saya akui, kadang-kadang ada saja pertanyaan yang masuk kategori ‘nggak banget’, yang saya anggap terlalu konyol untuk dijawab dengan serius. Tapi, berkaca dengan saya yang oon beberapa tahun lalu, bisa jadi orang yang mengirim e-mail ini memang benar-benar nggak tahu apa-apa soal penerbitan dan bingung harus bertanya ke siapa.

So, here they are, FAQ you should know about publishing your book:

Gimana sih caranya ngirim naskah ke penerbit?
Khusus bagian ini, saya biasanya antara respek sama penanya dan tidak. Alasannya karena hampir semua penerbit punya website yang menyediakan informasi seputar pengiriman naskah. Mulai dari tebal naskah, format naskah, apa saja yang harus disertakan di dalam naskah, dsb. Alasan lain saya kurang respek adalah kecenderungan penulis yang malas mencari tahu soal informasi yang terang-terangan disediakan oleh penerbit.

Rabu, 03 Juli 2013

Menulis Novel Ber-setting Luar Negeri

Sebelumnya, sebaiknya aku perjelas, aku belum pernah menulis novel ber-setting luar negeri. Long, long time ago, pernah nulis cerita pendek ber-setting Amerika Serikat, but that’s it. Pengalaman ini tetap nggak bisa dibandingkan dengan novel berpuluh-puluh halaman yang dikerjakan dengan darah dan keringat (halah!).

Note ini aku tulis lebih berdasarkan pengalaman sebagai editor. Selama bertahun-tahun bekerja di GagasMedia, aku menyaksikan ratusan—bahkan mungkin ribuan—naskah yang datang dan pergi. Bersama teman-teman redaksi lain, kami menyaring naskah-naskah masuk dan memutuskan judul-judul mana saja yang dianggap layak untuk diterbitkan.
Dan tibalah bagian paling bikin nggak enak hati: kenapa naskahku ditolak?

Aku pernah menulis note juga tentang sejumlah alasan yang menyebabkan naskah ditolak, tapi kali ini ini aku akan fokus hanya di naskah ber-setting luar negeri. Which is lagi happening banget kayaknya. Dari sepuluh naskah masuk, dua-tiga naskah berlatar belakang luar negeri. Dan, yeah, menulis novel dengan latar belakang yang nggak kita temui sehari-hari memang sulit—so, here’s my salute to all you authors who did the brave job. Tapi... aku nggak bisa menyangkal juga, persentase naskah ber-setting luar negeri yang kemudian diputuskan terbit juga nggak banyak. Dan inilah yang akan kita bahas kali ini:

Selasa, 02 Juli 2013

Naskah Ditolak (Dukun Bertindak?)

Here comes the bad memories: ya, saya pernah ditolak. Dua kali malah. Dan saat itu saya merasa editor adalah orang paling kejam yang pernah saya kenal seumur hidup (which is agak ironis ya, karena lihatlah saya sekarang, hehe). Bukan itu saja, penolakan itu membangkitkan pertanyaan berbahaya di benak saya: apakah saya benar-benar punya bakat di dunia tulis-menulis ini? Apa mungkin saya memang ditakdirkan mencari pekerjaan yang biasa-biasa saja—seperti manusia normal lainnya?

Jadi, yeah, buat teman-teman yang baru saja atau pernah ditolak naskahnya oleh sebuah penerbit, jangan buru-buru merasa jadi pecundang. Yang ditolak bukan kamu saja kok. Dan sama seperti kata D’Masiv di lagunya: Jangan Menyerah.

Banyak Alasan Kenapa Naskah Ditolak

Saya pernah tanya ke seorang penulis, kenapa naskahnya ditolak penerbit. Dengan wajah sedih, dia berkata lirih, “Yah, paling karena jelek lah, Bang.”

Senin, 01 Juli 2013

Menulis Novel (Pertama Kalinya)

Pagi ini, saat mengecek inbox, saya menemukan e-mail singkat dari seorang calon penulis. Dia bilang suka membaca novel-novel terbitan GagasMedia dan pengen banget menulis novel. Masalahnya *insert jeng-jeng-jeng sound effect here* dia bingung harus mulai dari mana.

Kalau saya yang sekarang sih pasti dengan enteng menjawab, “Aduuuh, gampang banget tahu!” Yeah, yeah. Tapi saya juga ingat, waktu mencoba menulis novel pertama pun saya sama rempongnya dengan teman baru saya, si calon penulis ini.

Jadi, beberapa belas menit kemudian, ditemani First Night-nya Monica, saya menuliskan tip-tip sederhana ini.

MULAILAH DENGAN SEBUAH IDE, KEMBANGKAN MENJADI PLOT UTUH
Di setiap wawancara radio, talkshow, bahkan lewat e-mail, pertanyaan ini paling sering ditujukan ke saya, “Dapat ide dari mana?” Pengennya sih ngasih jawaban yang keren, ato lebih mantap lagi kalau ada latar belakang magisnya. Kayak “Saya dapet idenya waktu bertama di Gunung Bromo.” Sayangnya, yang kayak gitu nggak pernah terjadi. Saya benci segala kegiatan outdoor, gimana ceritanya bisa nangkring di Gunung Bromo segala? Hehe.

Jumat, 05 Oktober 2012

Mengatasi Writer Block

"Menulislah pada saat awal dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan kamu dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan." William Forrseter

Sejumlah penulis tenar punya cara sendiri-sendiri dalam mengatasi writer's block. Dibanding seseorang yang baru menulis, penulis blog, cerpen, buku atau nonfiksi sudah bisa mengatasinya, karna bergantung pada mood. Karna berdasar mood, cara atasi writer's block dikembalikan ke masing-masing penulis (baik pemula atau beken).

Ada yang memaksa menulis, meski diterpa writer's block, agar bukunya terbit dan dia berharap dapat royalti. Siapa penulis tenar ini?. Dua dari sekian penulis yang saat awal menulis -- untuk mengatasi writer's block-- adalah JK Rowling dan Hans Cristian Andersen.