Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 April 2014

#BGANia : Menyebalkan

Ketika hari Minggu datang, aku tak ingin pergi ke pesta, apalagi membuat sensasi di social media . Aku hanya ingin istirahat—tidur sepuas yang aku mau. Tapi semua itu hanya jadi mimpi belaka. Jangankan tidur nyenyak, duduk dan bersantai-santai pun tak bisa. Semua dimulai katika bunyi nada telepon membangunkanku.
 “Nadiera… Segeralah ke sekolah.”
“Tapi, Bu… ini kan hari minggu?” tanyaku, menahan jengkel dalam hati.
“Sudahlah.. Ada urusan yang lebih penting dari pada sekadar memikirkan hari minggumu!”
“Apa tidak bisa besok, Bu?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, seusai berbicara ia langsung menutup telepon itu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya, apa liburan tak lebih menarik perhatiannya? Dari pada sekadar pergi ke sekolah di hari libur dan menyuruhku datang pula. Tapi apa boleh buat, jika aku tak memenuhi permintaannya. Aku tak tahu besok masih bisa kerja atau tidak.
Dengan malas-malasan aku bangkit dari kasur yang begitu menggoda, belum lagi guling dan bantal yang terlihat memanggil-manggilku.
***

Jumat, 14 Maret 2014

15 Fiksi Mini

TEMAN TIDUR. Saat tidur, temanku selalu menemani. Kadang kupeluk & kencingi. Ia tak marah, berbicara, apalagi berdoa.

TEMAN LAMA. Sudah kutunggu sampai rambutku memutih, temanku tak kunjung datang juga.

TEMAN MAKAN. "Apa kubilang. Diambil juga kan pacarmu!" "Tapi dia teman dekatku. Kupikir ia tak akan melakukan itu."

PANGGILAN IBU. "Nak..." "Aku lembur, Bu." "Nak..." "Aku banyak kerjaan, Bu." Suara ibunya menghilang ditelan waktu sibuk anaknya.

Kamis, 13 Maret 2014

Tak Boleh Menonton TV

Mama selalu berkata, kalau aku tak boleh merebut hak orang. Mamaku sangat juara untuk urusan ceramah padaku. Banyak hal yang mama ajarkan padaku, termasuk tentang kejujuran. Mama guru yang sangat cerdas yang pernah aku punya.

Namun, semenjak ayah wafat. Mama terlalu senang dengan pekerjaannya. Sudah beberapa bulan aku jarang bersamanya, mama selalu berangkat sebelum aku bangun dan pulang saat aku sudah terlelap. Mama tak pernah pula mendongeng untukku, bertanya tentang keadaanku, memelukku pun sudah tak pernah. Padahal dulu mama sangat sayang padaku. Aku kangen sama mama yang dulu.

Saat aku beranjak bangun, mama baru keluar kamar.  Mama menuju ke arahku, tanpa omongan apapun, mama  langsung marah-marah, membentak-bentakku yang sedang menonton TV. “Andro mengapa kau menonton TV? Mama tak suka kamu menonton TV. Tak ada acara yang mengajarkan hal-hal bagus!”

“Ma…” jawabku.

Minggu, 05 Januari 2014

Punggung

“Ibu, kenapa ayah selalu pulang saat aku sudah tidur dan pergi saat aku masih tidur?” 

Setiap kali aku tanya begitu, ibu hanya tersenyum dan berlalu pergi meninggalkanku. Aku tak pernah dapatkan jawaban darinya. Aku sering mendesaknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tapi selalu saja sama. Selain tersenyum, paling ia menambahkannya dengan menggelengkan kepala, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. 

Sejak kecil, aku tak pernah ingat wajah ayah, apakah ia tampan? Jelek atau biasa saja? Kumisan? Berjengkot lebat? Atau berewokan? Aku tak tahu. Bahkan selembar fotonya pun tak ada di rumah kami. Yang aku ingat—meski samar-samar—hanya sebatas punggungnya saja, saat ia begitu sering menggendongku erat, setelah cukup lama biasanya ia mengembalikaku pada ibu. Selebihnya aku tak tahu. 

Sabtu, 21 Desember 2013

Memori Hujan



Ray melambatkan laju sepeda motornya. Hujan deras dan angin kencang menggangu keseimbangannya. Tubuh yang ia tutupi dengan jas hujan lengkap tidak membantunya mengalahkan serangan hujan. Ia memutuskan untuk bergabung dengan banyak pengendara lain, berlindung di bawah flyover.
Hujan turun semakin lebat. Ray ikut hanyut di antara banyaknya orang yang kedinginan. Di sudut tiang besar seorang lelaki paruh baya berdiri mematung menatap hujan yang jatuh di atap halte yang berada di seberangnya. Sementara beberapa orang perempuan yang nampaknya pekerja di sebuah hotel, sibuk memandangi rintik hujan. Beberapa mahasiswi dengan buku dan kertas di pelukannya tampak bercanda sesamanya seakan tak peduli dengan curahan air yang jatuh. Begitu pula dengan segerombolan anak-anak yang membawa gitar kecil di ujung sana. Semua membaur dalam irama hujan.
Hiruk-pikuk ibukota berhenti sejenak, lalu lalang kendaraan tidak seramai biasanya, suara klakson pun tidak terdengar. Kebisingan jalan kalah oleh denting langit yang memainkan hujan. Ketenangan paling damai datang untuk sekian menit.
Hujannya masih lebat begini. Sampai toko buku jam berapa, ini! Ray menunduk sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Ray berencana membeli buku-buku yang berhubungan dengan skripsinya yang sedang dalam tahap penyusunan.
Ray mengangkat wajahnya dan menoleh 45 derajat dari tempatnya berdiri. Ada pemandangan berbeda. Ray menangkap sesosok gadis berambut panjang yang nampak biasa namun terlihat menarik, sedang berteduh di samping bapak-bapak berkumis tebal yang wajahnya tampak tak bersahabat.
Sepertinya gadis itu menyadari kalau dia sedang diperhatikan, sebab sesaat setelahnya dia menoleh ke arah Ray lalu tersenyum tipis. Mendapat tanggapan ‘manis’ seperti itu, Ray mendadak salah tingkah. Segera ia membenarkan posisi berdirinya guna menghindari kegugupannya dipandang seperti itu.
Sungguh indah ciptaanMu itu, Tuhan. Oh senyumnya …. Ray membatin. Sesekali ia melirik pada gadis cantik itu, tapi sedikit hati-hati karena takut ketahuan seperti tadi.
Waktu telah bergeser lima belas menit lebih saat hujan sudah mulai reda. Satu persatu orang meninggalkan tempat mereka berdiri. Ray menyapu matanya ke sekeliling, berniat mencari gadis pemilik senyum tadi. Sia-sia. Gadis itu ternyata sudah lenyap dari pandangannya hanya dalam hitungan menit. Ray mengutuk ketaksigapan matanya menangkap sosok gadis yang kini hilang entah ke mana.

Sabtu, 07 Desember 2013

Membuka Surga



Setelah pulang sekolah, Fima langsung masuk ke kamarnya. Ia mengambil celengan plastik miliknya, lalu membongkarnya. Ia mencongkel-congkel dengan gunting kecil. Kamarnya dikunci rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang sedang ia lakukan.

Celengan itu adalah pemberian ibunya dua bulan yang lalu.
“Asik, terima kasih, Bu. Fima janji akan rajin menabung.”

Kata-kata itu kini tinggal kenangan, janji itu Fima langgar. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima melangkah gontai melewati pekarangan rumah, ia takut ketahuan ibunya kalau siang-siang keluar. Fima membawa sepedanya. Ia kayuh sepedanya penuh senangat.

Sampailah Fima di depan toko kue. Ia terdiam sejenak kemudian menghitung kembali uangnya di depan toko kue tersebut. Ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu. Senyumnya mengembang, keceriaan menghiasi senyumnya. Tinggal beberapa langkah lagi niatnya akan terwujud.

Dari kejauhan ada tiga orang dewasa, berbadan tinggi, besar dan menyeramkan. Mereka dari tadi terus memperhatikan Fima. Menyadari kalau ia sedang diperhatikan, Fima langsung memutar balik sepedanya—pada saat itu juga ia membatalkan niatnya membeli kue. Ia menggoes lagi sepedanya. Kencang lebih kuat dari sebelumnya.

Selasa, 03 Desember 2013

Umur


Dua belas bulan telah terlewati, dan kini aku bertemu kembali dengan bulan, dimana aku dilahirkan. Aku selalu berikan pertanyaan untuk diri ini. Masih dengan pertanyaan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Apa perubahan yang telah aku lakukan selama satutahun ini?" entahlah saat ini Aku masih belum bisa menjawabnya.

Dua dasawarsa, empat semester telah ku lalui, ya 24 tahun telah berlalu. Tidak terasa memang semua berjalan cepat,  menggenggam waktu saat dunia lengah, membuat aku terbuai keindahannya. Masa kanak-kanak, remaja, telah jadi telah berlalu dan akan menjadi kenangaan yang pasti tersimpan di loker-loker memori pikiraan.

Tapi aku? Aku masih belum tahu apakah setiap langkah yang telah berlalu itu adalah langkah yg ridhoi olehNya? Atau malah langkah yang tak di restui olehNya? Namun tak pernah henti mulut ini berdoa dan harap untuk semua yang telah aku jalani benar menurutku, juga bener menurutnya. Sebagai manusia biasa aku hanya bisa berserah dan meminta padanya dengan doa, ibadah dan usaha yang terus ku tingkatkan. Yang aku pahami adalah bagaimana terus merenovasi setiap langkahku

"Tidak semua yang benar menurut ku, benar juga menurutNya."
***

Minggu, 01 Desember 2013

Pertemuan

Meta melangkahkan kakinya ke dalam rumah kontrakan. Ia melirik jam tangannya, di sana terlihat jam menunjukan pukul 21.00 WIB. Jika saja saat jam pulang kantor tadi ia tidak ditahan bosnya, jam segitu ia pasti sudah terlelap dalam tidurnya. Bos menyuruh ia untuk ikut meeting dengan klien di luar. Mau tidak mau ia harus menurutinya—padahal sejak jam empat sore ia sudah ambil ancang-ancang untuk kabur dari kantor, ternyata bos sudah mengetahui apa yang ia rencanakan, sehingga batallah sudah semua.
Dengan lesu ia membuka pintu kontrakan. Di kontrakan itu Meta tinggal bersama dua sahabatnya, yaitu Ray—meski nama namanya terkesan cowok  macho, percayalah kalau dia cewek tulen—dan Dhila. Ray senang bertualang menjelajahi keindahan alam, sedangkan Dhila senang pulang—karena sering nyasar, ia lebih tertarik tinggal di rumah ketimbang jalan-jalan.
“Lesu amat kak. Abis kencan ya, sama bos? Ha ha ha.” Dhila yang sedang asyik membaca buku menegur Meta yang ingin langsung masuk ke kamar.
“Iye Jo—Pijo adalah panggilan yang diberikan Meta buat Dhila, yang artinya Pisang Ijo, karena dulu dia sering pamer pisang ijo—ngeselin banget dah tuh orang. Yang lain kan banyak, kenapa aku terus yang di suruh!!! Hiks hiks.”
“Yang sabar kak. Nunggu jodoh aja kamu bisa sabar, masa cuma suruh nungguin bos gitu aja udah ngeluh, ha ha ha.”
“Iihh Pijo!!!” Meta cemberut. “Udah ah aku mau tidur. Huh. Babay kalong, inget kesehatan jangan begadang terus!!!”
Tak lama setelah pintu kamar Meta tertutup, pintu depan terbuka lagi. Ray baru pulang dari nge-gym. “Eh Emak—Dhila biasa memanggil Ray dengan sebutan emak, alias emak-emak rempong—baru pulang.”
“Eh, ada makanan kagak? Laper nih gue.”
“Ada noh.”
“Mana?”
“Di perempatan ada tukang sate, ketoprak, mie ayam, bakso, nasi padang. Tinggal pilih dah kau mau yang mana?”
“Yeeee itu si gue juga tahu! Maksudnya lo masak kagak?”
“Ya kagak lah, emang situ anak saya. Ha ha”
Ray tidak melanjutkan percakapannya dengan Dhila, ia langsung masuk ke kamarnya. Malam yang sepi telah membawa Meta dan Ray terlelap dalam tidur yang nyenyak. Sedangkan Dhila, ia masih terjaga. Ia sudah berhenti membaca buku, sekarang ia sedang asyik mengobrol dengan lelaki di ujung telepon sana. Kadang ia cemberut, senyum-senyum sendiri, sesekali tertawa. Seseorang ujung telepon sana telah membuat dunianya berbeda. Ya, Dhila jadi lebih ceria menjalani harinya.
***

Minggu, 27 Oktober 2013

Cinta Minoritas

Djamall & Putri Fathia

“Permisi… Permisi... Permisi...” Aku mencoba membuka jalan, orang-orang yang berdiri di depanku cukup menghalangi pandangan. Dengan tenaga lebih, aku berhasil membongkar pertahanan mereka.  Di mading ada selebaran info pengumuman lomba menulis cerpen, yang diikuti seluruh siswa se-Jabodetabek. Semua berebut ingin melihat siapa pemenang lomba menulis tersebut.
Ketika sampai di depan mading. Tanpa ba-bi-bu aku langsung membaca satu persatu nama yang terpampang di mading, melihat dengan seksama, siapa tahu namaku muncul di sana, “Yesss, Alhamdulillah. Wuuh!aku mengepal tangan kananku. Usahaku tidak sia-sia. Aku langsung bersyukur, air mata bahagia jatuh menetes di tebing pipiku. Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, aku menjadi juara tiga lomba menulis cerpen se-Jabodetabek. Aku berhasil mengalahkan enam ratus tiga puluh lima siswa yang mengikuti lomba itu. Bukankah cukup membanggakan?
Sejak pengumuman kemenangan itu, ketenaranku di sekolah naik sepersekian persen. Tiap teman seangkatan atau adik kelas yang mengenalku memberikan selamat. “Oh, ini yang namanya Gata Purnama? Selamat ya...” seorang guru matematika menepuk-nepuk pundakku, saat aku sedang mengambil tumpukan buku pelajaran di meja Wali kelas. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Ya ternyata bahagia itu memang sederhana.

Senin, 23 September 2013

Gadis Kecil

Di sebuah kandang, seekor ayam sedang berbahagia. Telur-telur yang ia kerami selama berminggu-minggu kini sudah berubah menjadi anak-anak ayam seutuhnya. Dari sepuluh butir telur hanya delapan telur yang berhasil hadir ke dunia, menghirup udara segar pagi hari. Sedangkan dua saudara mereka, pergi meninggalkan mereka sebelum berhasil melihat dunia.
Satu dari delapan anak ayam yang menetas itu terlahir tidak sempurna, anak ayam itu terlahir dengan kaki kanan yang kecil, sehingga ia tidak mampu menopang kuat tubuhnya. Jika berlama-lama berdiri ia akan tumbang, dan jatuh—tapi ia mampu berjalan walau tertatih-tatih dengan menyeret kaki kanannya.
Hari demi hari mereka lalui bersama, mereka tumbuh dengan kasih sayang yang sempurna. Ibu ayam tak pernah membeda-bedakan mereka. Satu makan semua harus ikut makan. Ketika satu tertinggal semua ia akan menungguin sampai semua berkumpul.

“Mama, kenapa aku terlahir berbeda dari saudara-saudaraku?” Anak ayam itu bertanya.
“Sayangku, kata siapa kamu berbeda?” Ibunya tersenyum.
“Kakiku tidak sama dengan mereka, Ma?”
“Jangan pernah takut jadi berbeda, Nak. Yuk kita balik ke kandang, senja sudah datang.”

***

Senin, 09 September 2013

Aku, Kalian dan Waktu

Suasana jalanan sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa. Pagi selalu memberikan lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku ikut larut di dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami biasa berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di jalan. Kegiatan pagi yang rutin kami jalani adalah saling menunggu.
“Woy, ngelamun aja.” Morin dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, kalian, mengagetkan saja. Tumben lama banget, sih? Kering nih, nunggu kalian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas.
“Kalau aku tadi bantuin bapak beres-beres berkas dulu. Besok, beliau akan pergi ke Hongkong, ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni melanjutkan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti biasa, cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya. Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.” Morin panic, wajahnya sedikit pucat.
“Santai saja, ah, gak usah panik. Kita lewat tembok belakang aja.” Tidak lagi menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang sekolah.
Tak ada toleransi dalam lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun itu guru. Semua akan mendapatkan poin kesalahan. Pada dasarnya kami bertiga adalah anak yang baik. Roni yang cengengesan ini termasuk anak yang pintar di kelas. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak di kelas kami. Selain itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
***

Minggu, 28 April 2013

Yang Lalu Datang Lagi



      Liburan semester lima sudah tiba, namun rasa malas justru rajin menghinggapi. Semester kemarin sangat menguras fisik dan pikiranku. Makan dan tidur tak teratur, badan jadi tidak terurus. Aku melihat ke sekeliling kamarku. Segala benda berserakan tidak pada tempatnya. Buku-buku, kertas, CD musik, serta sampah bekas makanan dan minuman bertebaran hampir di setiap bagian di kamar ini.

Aku menghela napas berat sambil bangkit dari posisi ‘nempel’ di kasur. Satu persatu barang kubereskan. Buku dan CD musik kutata di raknya masing-masing. Sampah kukumpulkan dalam satu plastik berukuran sedang untuk segera kupindahkan ke tempat sampah di samping pintu kamar.

Jumat, 24 Agustus 2012

Selamat Datang

Saat mata pertama kali terbuka menatap dunia sudah hinngap banyak sekali pertanyaan yang sampai saat manusia telah tiada dan kembali menutup mata mungkin belum bisa terjawab.. 

Di sebuah ruang tunggu duduk ayah dan anak perempuannya di sebbuah bangku sedang menunggu harap-harap cemas istri yang sedang menjalani operasi..

"Ayah mengapa engkau duduk, beridiri kkemudian berjalan Bolak-balik ?" ayahnya tak menjawab namun terus menerus melakukannya


"Ayah ikut duduk di samping aku yuk" tangannnya menggandeng tangan ayahnya untuk duduk


"Iya sayang" dia mengusap kepala anaknya dan ikut duduk bersamanya

"Ayah, bolehkah aku bertanya??"
"Mengapa wanitta harus melahirkan dan pria tidak?" tanyanya dengan wajah polos

"Anakku, Tuhan ciptakan manusia denggan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.. Suatu saat kamu akan memahaminya" wajah cemas mulai memudar dengan hadirnya senyum di bibir ayahnya..


Selalu ada banyak cara untuk membuat Senyum manis yang terlontar dari wajah-wajah serius dan tegang