Meta
melangkahkan kakinya ke dalam rumah kontrakan. Ia melirik jam tangannya, di
sana terlihat jam menunjukan pukul 21.00 WIB. Jika saja saat jam pulang kantor tadi
ia tidak ditahan bosnya, jam segitu ia pasti sudah terlelap dalam tidurnya. Bos
menyuruh ia untuk ikut meeting dengan klien di luar. Mau tidak mau ia harus menurutinya—padahal sejak jam empat sore ia
sudah ambil ancang-ancang untuk kabur dari kantor, ternyata bos sudah
mengetahui apa yang ia rencanakan, sehingga batallah sudah semua.
Dengan
lesu ia membuka pintu kontrakan. Di kontrakan itu Meta tinggal bersama dua
sahabatnya, yaitu Ray—meski nama namanya terkesan cowok macho, percayalah
kalau dia cewek tulen—dan Dhila. Ray senang bertualang menjelajahi keindahan
alam, sedangkan Dhila senang pulang—karena sering nyasar, ia lebih tertarik tinggal di
rumah ketimbang jalan-jalan.
“Lesu
amat kak. Abis kencan ya, sama bos? Ha ha ha.” Dhila yang sedang asyik membaca
buku menegur Meta yang ingin langsung masuk ke kamar.
“Iye
Jo—Pijo adalah panggilan yang diberikan Meta buat Dhila, yang artinya Pisang
Ijo, karena dulu dia sering pamer pisang ijo—ngeselin banget dah tuh orang.
Yang lain kan banyak, kenapa aku terus yang di suruh!!! Hiks hiks.”
“Yang
sabar kak. Nunggu jodoh aja kamu bisa sabar, masa cuma suruh nungguin bos gitu
aja udah ngeluh, ha ha ha.”
“Iihh
Pijo!!!” Meta cemberut. “Udah ah aku mau tidur. Huh. Babay kalong, inget
kesehatan jangan begadang terus!!!”
Tak
lama setelah pintu kamar Meta tertutup, pintu depan terbuka lagi. Ray baru
pulang dari nge-gym. “Eh Emak—Dhila biasa memanggil Ray dengan sebutan
emak, alias emak-emak rempong—baru pulang.”
“Eh,
ada makanan kagak? Laper nih gue.”
“Ada
noh.”
“Mana?”
“Di
perempatan ada tukang sate, ketoprak, mie ayam, bakso, nasi padang. Tinggal
pilih dah kau mau yang mana?”
“Yeeee
itu si gue juga tahu! Maksudnya lo masak kagak?”
“Ya
kagak lah, emang situ anak saya. Ha ha”
Ray
tidak melanjutkan percakapannya dengan Dhila, ia langsung masuk ke kamarnya.
Malam yang sepi telah membawa Meta dan Ray terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Sedangkan Dhila, ia masih terjaga. Ia sudah berhenti membaca buku, sekarang ia
sedang asyik mengobrol dengan lelaki di ujung telepon sana. Kadang ia cemberut,
senyum-senyum sendiri, sesekali tertawa. Seseorang ujung telepon sana telah
membuat dunianya berbeda. Ya, Dhila jadi lebih ceria menjalani harinya.
***