Djamall & Putri Fathia
Ketika sampai di depan mading. Tanpa ba-bi-bu aku langsung membaca satu persatu nama yang terpampang di mading, melihat dengan
seksama, siapa tahu namaku muncul di sana, “Yesss, Alhamdulillah. Wuuh!” aku mengepal
tangan kananku. Usahaku tidak sia-sia. Aku langsung bersyukur, air mata bahagia jatuh menetes di
tebing pipiku. Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, aku menjadi juara tiga lomba menulis
cerpen se-Jabodetabek.
Aku berhasil
mengalahkan enam ratus tiga puluh lima siswa yang mengikuti lomba itu. Bukankah
cukup membanggakan?
Sejak pengumuman kemenangan itu, ketenaranku di sekolah naik
sepersekian persen. Tiap teman seangkatan atau adik kelas yang mengenalku
memberikan selamat. “Oh, ini yang namanya Gata Purnama? Selamat ya...” seorang guru
matematika menepuk-nepuk pundakku, saat aku sedang mengambil tumpukan buku pelajaran di
meja Wali kelas. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Ya ternyata bahagia itu memang sederhana.
Sebenarnya, aku tidak populer di sekolah, tampangku saja biasa – tidak jelek-jelek banget, masih enak
dipandang— Hanya saja, keadaan
fisikku yang sedikit berbeda dari siswa-siswa lainnya membuatku jadi pemalu. Aku terlahir dengan tangan dan kaki
yang tidak sempurna. Jari-jari tangan kananku sedikit terlipat, juga dengan jari
kaki kiriku. Dulu –waktu aku kecil— aku tak dapat berjalan. Sakit, jika
melangkah. Sedangkan tangan kananku sering keram. Itu yang membuatku lebih
sering menghabiskan masa kecilku di rumah.
Waktu
umur enam tahun, kaki dan tanganku dioperasi untuk kesekian kalinya. Rasa nyeri
dan keram sering menjelma menjadi monster yang kejam, mereka seolah-olah
menggerogoti tubuhku. Ketika mereka datang aku hanya bisa berbaring di kasur,
merasakan sakit yang luar biasa. Air mataku sering jatuh, karena tak mampu menahannya. Terlalu
berat, untuk dijalani anak seumuranku waktu itu. Aku sempat berfikir, betapa
kejamnya Tuhan berikan aku dunia yang seperti ini. Tapi ibu dan bapakku selalu
berikan semangat dan menjelaskan padaku, bahwa Tuhan selalu berikan yang
terindah untuk hamba-hambanya yang pandai bersyukur.
Operasi
terakhir berjalan lancar dan membuahkan hasil yang menenangkan. Rasa nyeri dan
sakit yang sering menyerang, tak lagi pernah mampir. Ia hanya datang sesekali. Terakhir
aku mengalaminya saat duduk di bangku SMP, kini aku sudah SMA kelas dua jarang
merasakannya lagi. Aku bisa berjalan, meski tak sesempurna orang-orang. Aku tak
mampu mengenakan sepatu, jadi kemanapun kakiku melangkah aku hanya mengenakan
sandal sebagai pelindungnya. Aku tumbuh jadi anak yang minder dan pemalu, tak
punya banyak teman –baik di sekolah maupun di rumah. Aku lebih senang
menyendiri, ditemani buku-buku. Ya, mereka teman yang paling setia, tak pernah
bawel dan tidak pernah mengejekku.
Di sekolah
aku tak banyak kenal orang, yang aku kenal hanya guru-guru dan penjaga sekolah yang merangkap
jadi satpam
dan membersihkan sekolah, penjual di kantin, kepala sekolah, dan teman sekelasku. Selebihnya? Aku tak
kenal mereka.
***
Semenjak
menjuarai karya tulis tersebut. Aku berhasil menunjukkan bahwa kesempurnaan tak hanya datang
lewat fisik. Secara
perlahan, tapi
pasti. Aku
mulai menunjukkan siapa aku sebenarnya. Teman-teman di sekolah, tidak lagi
memandangku sambil memicingkan sebelah mata.
Nggg...ngg... Perekam suara
sekolah mulai menggema, menandakan akan ada pengumuman yang bisa didengar seantero
sekolah.
“Assalammu’alaikum
warohmatullahi wabarakatuh. Pengumuman ditunjukan kepada Gata Purnama siswa kelas XI.IA 3 dan Nadiera
Primana siswi kelas X.3 ditunggu di ruang kepala sekolah sekarang juga.”
“Sekali lagi panggilan untuk Gata Purtama kelas XI.IA 3 dan Nadiera Primana
kelas X.3 untuk menghadap kepala sekolah sekarang juga, Terima kasih.
Wasalammualai’kum warohmatullahhi wabarokatuh."
Aku yang saat itu tengah konsen mengerjakan soal
matematika tentang persamaan trigonometri, mendadak kaget. Ada apa, ya?
"Permisi, Pak." Aku masuk sebelum diperintah terlebih dahulu.
Ternyata kursi di
depan kepala sekolah yang berkumis tebal itu sudah diisi seorang siswi.
"Mari. Silakan duduk, Gata. Sudah kenal Nadiera?" siswi yang ditunjuk Pak kepala sekolah
disebelahku
menoleh, dia tersenyum. Lumayan manis.
"Sudah Pak, anak kelas X.3, kan?" Jawabku
kaku. Sebenarnya aku
tidak tahu siapa dia, aku
hanya pura-pura kenal. Nadiera kembali tersenyum. Jawaban yang bodoh bukan?
"Hmm… ya…ya... jadi begini." Pak
kepala sekolah menyodorkan selembar kertas "ada lomba menulis cerpen tingkat
nasional, tapi
lomba ini mewajibkan duet antara perempuan dan laki-laki. Saya melihat prestasi kamu
akhir-akhir ini bagus, dan
Nadiera selaku Ketua ekskul Bahasa Indonesia di sekolah kita. Jadi pikir saya, akan lebih baik
jika kalian berdua yang mewakili sekolah kita. Saya menaruh harapan besar pada kalian berdua."
Nadiera sedikit terkejut melihat keadaan tanganku. Aku bisa
melihat reaksi kagetnya itu, namun aku cuek saja dan melanjutkan membaca selembaran yang diberikan kepala
sekolah. "Hm... saya bisa Pak.” Aku tidak berpikir panjang. Kesempatan langka. "Nanti,
bisa saya pikirkan idenya."
"Bagus. bagaimana dengan kamu Nadiera?"
"Saya hmmm… juga bisa Pak." Nadiera menjawab pertanyaan Pak kepala sekolah namun malah
tersenyum padaku.
“Oke,
saya akan memfasilitasi semua, selebihnya saya serahkan ke kalian
berdua. Untuk diskusi, pakai saja lab bahasa."
"Baiklah, kalau begitu kami bisa permisi sekarang ya, Pak?" siswi itu
beringsut mengundurkan diri. Aku hanya menirunya, kembali menyalami kepala
sekolah.
"Nadiera?" sekarang kami sudah diluar ruangan.
"Saya kak, selamat ya sudah juara lomba cerpen tingkat jabodetabek kemarin."
"Terima kasih, kamu sudah kenal aku?”
“Iya aku
kenal kakak, tapi mungkin kakak yang tidak kenal aku. Hehe.”
“Hehe, lalu
kapan kita bisa diskusi?"
"Nanti sore sepulang sekolah saja… jam 3 di lab bahasa ya. Bisa?"
"Oh. Oke"
***
Kami membaca ulang kertas yang diberikan Bapak kepala
sekolah, melihat dengan seksama. Tema yang diangkat dalam lomba kali ini adalah
‘merangkul keterbatasan’. Lima belas menit berlalu tanpa ada suara, tak ada
interaksi. Aku terlalu pemalu untuk memulai pertanyaan, dan terlalu kaku untuk bertatapan.
Waktuku habis hanya untuk memandanginya, jantungku berdetak lebih cepat saat
melihatnya, nafasku sedikit sesak. Apakah ini penyakit baru?
“Jadi
gimana enaknya, Kak?” Tanya Nadiera memecah kesunyian. Sekolah kini sudah
benar-benar sepi, hanya tersisa kami berdua.
“Mmmm,”
“Kak,
Kak Gata, halooooo?”
“Eh iya
maaf.”
“Ngelamunin
apa sih kak? Pacarnya ya? Hehe.”
“Hehe,
enggak kok. Kamu punya ide?”
Selama
perjalanan pulang sekolah aku memikirkan ide lomba karya tulis. ‘Merangkul keterbatasan’, merangkul keterbatasan... keterbatasaaaasaaannn… aku sempat
mendengus kesal sambil
menendang kecil batu yang menghalangi jalanku. "Haduuhh... apa ya, hmm..." aku terus menyusuri jalan setapak menuju rumah dan belum ada satu pun ide. Sesampai di
rumah aku langsung masuk ke kamar, melewati cermin kamar dan... langsung bercermin.
***
Seusai
salat ashar kami bertemu kembali di tempat biasa, untuk membicarakan kelanjutan lomba. Ini
adalah pertama kalinya aku berduet menulis. Aku sudah mempunyai satu ide dan
Nadiera satu ide.
"Hai
kak, sudah menunggu lama?"
"Ah,
nggak kok." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Salah tingkah.
"Jadi,
gimana idenya? sudah ketemu?" Nadiera melanjutkan bicaranya, duduk
di dalam ruang menulis.
Drrett… ku tarik bangku lainnya tepat
dihadapan Nadiera "Begini, lomba cerpen inikan temanya ‘merangkul keterbatasan', gimana kalau
kita buat tulisan, tentang aku saja. Walau dalam keterbatasan aku mampu
berprestasi.” Aku
mengangkat kedua tanganku. Tampak bodoh sekali.
"HAH?"
Nadiera kaget mendengar
ideku.
"Iya,
kenapa? gak bagus ya?" aku mengernyitkan dahi.
"Bukan
gitu" Nadiera
mengeluarkan buku catatan dan kotak pensilnya. "Jujur saja, sebenarnya ide
Nadiera juga gitu! Kita
jadikin Kak
Gata sebagai
objeknya. hehehehe…
jadi kita kan gak usah capek-capek riset. Tapi, Nadiera takut ngomongnya…" Nadiera menunduk malu, pura-pura
menulis sesuatu di buku catatannya.
"Kok
masih pakek acara takut gitu sih, Nad. Aku kan bukan monster. Masih berwujud
manusia. hehe" Aku ikut-ikutan mengeluarkan buku catatan dan peralatan tulis.
"Hahahaa...
lucu deh Kak Gata. Oke! Deal yah! Mulai dari mana nih? Coba deh Kak Gata cerita kehidupan Kak Gata gimana. Ntar Nadiera bantu bikin tulisannya." Kali ini tawanya
terlihat lepas. Tidak
ada kekakuan di antara
kita.
Kami
larut dalam obrolan yang saling membangun, entah bagaimana caranya aku jadi
lancar berbicara, bercerita
tentang banyak hal padanya. Dia sibuk menuliskan poin-poin yang akan kami tulis
bersama. Satu jam berlalu kami sama-sama lupa waktu.
“Kalian
tidak pulang? Sudah pukul lima loh…” aku menoleh ke arah suara yang itu datang. Ternyata suara Pak Karyo penjaga sekolah kami.
“Iya Pak, ini sudah selesai kok.” kami
menjawab bersamaan
“Duh, sampe kompakan gitu jawabnya. Ya sudah
bapak tunggu.”
“Hehehe,
siap pak, kami bereskan dulu kertas-kertas ini.” Kata Nadiera.
Kami
langsung membereskan semuanya, dan bergegas meninggalkan ruangan lab, tidak
enak membuat Pak
Karyo menunggu
terlalu lama. Kami berpamitan dengan Pak Karyo, langkah kami mengisi lantai demi lantai dan
meninggalkan jejak di sana. Meski jalanku lambat, Nadiera tak pernah lelah
menungguku agar bisa jalan bersama. Mungkin dia kasihan atau memang sabar dengan kondisiku? tapi aku tak pernah mau dikasihani.
Buat aku hidup adalah perjuangan bukan belas kasihan. Ah, aku buru-buru menampik perasaan itu.
“Sampai
bertemu besok ya kak. Aku pamit dulu.” Nadiera melambaikan tangan dan
menghilang dari pandanganku.
***
Ada yang
aneh dengan hidupku beberapa hari ini. Tapi aku tak tahu ini apa? Yang jelas aku bisa
merasakan perbedaan itu. Aku jadi suka memikirkan Nadiera. Membayangkan sendu
wajahnya. Bahkan, diam-diam aku merekap suaranya saat dia berbicara, satu persatu
rekaman itu aku putar berulang-ulang tanpa bosan. Aku senang mendengarkannya.
Apa ini
yang orang-orang sebut cinta? Apa aku jatuh cinta? Semudah itu cinta bisa
tumbuh? Sejak dulu, aku tidak percaya pada cinta. Aku tertutup padanya. Bahkan
aku tak mau tahu soal itu. Cinta yang aku tahu hanya sebuah kesia-siaan. Hanya membuang-buang waktu untuk hal yang tak
penting. Lihat
saja teman-temanku yang setiap pulang sekolah bergandengan tangan dan tertawa
bersama itu, perbuatan tak penting bukan? Berantam karena wanita. Menangis karena ditolak. Galau karena tak dapat kabar. Seolah dunia
milik mereka berdua.
Tapi
sekarang? Ah,
apa aku sedang berada di posisi mereka? Merasakan yang dulu sering aku bilang
sia-sia? Buang-buang waktu?
Hari-hari
berikutnya aku lalui dengan mengamati gerak-gerik Nadiera, kami semakin akrab. tidak ada lagi
hal-hal yg menjadi jarak. Sampai akhirnya cerpen kami serahkan ke Pak kepala
sekolah, kami tinggal menunggu pengumumannya sebulan lagi. Kami berdua cemas.
Namun, aku lebih cemas. Sangat. Aku takut setelah usai pengumuman, kami tidak bisa
sedekat ini lagi.
Oke aku
mengaku, iya aku mengaku kalah dengan apa yang tidak kusukai dulu. Iya, aku jatuh cinta, cinta yang
membuatku berubah. Tapi, aku tak mau jadi manusia yang rumit seperti
mereka-mereka yang biasa ku temui. Aku berharap semua tak seperti itu —walau
kenyataannya aku jadi seperti mereka.
Sebulan
telah berlalu, pengumuman tepat dua hari lagi. Aku semakin dekat dengan Nadiera. Kami
sering berpapasan
di gerbang sekolah, terkadang aku memberanikan diri mengirimkan pesan singkat. Beberapa ada yang dibalas selebihnya tidak. Namun aku
menghargainya.
Kak Gata, jangan lupa hari ini pengumuman
karya tulis ya! semoga kita juara. Amin, sampai jumpai di sekolah.
Kali
ini, bukan aku yang memulai mengirimkan pesan singkat. Pagiku menjadi lebih
ceria. Oke! Setelah pengumuman aku akan menembak Nadiera. Tapi apa dia mau
menerima aku yang tak sempurna? bahkan dia lebih tinggi dari aku. Aku mulai
menerka-nerka, namun, bukankah cinta tentang sebuah penerimaan? Aku akan coba, tak ada sukses jika
tak mau mencoba.
Keceriaanku
semakin menjadi. Saat
upacara pagi kepala sekolah yang mengumumkan
bahwa kami berhasil menyambet juara kedua lomba menulis cerpen. Kami
maju ke podium upacara. Kali ini, aku bersanding dengannya, dan ratusan pasang mata
memperhatikan kami. Aku gugup setengah mati, ingin menggandeng tangannya. Sangat ingin, namun saat kuberanikan
diri, tanganku yang lebih kecil darinya ini semakin gemetaran sampai akhirnya
tak mampu menggandeng. Nadiera menyambut tanganku tiba-tiba lalu menyalaminya.
Senyumnya
merekah seperti bunga yang baru saja mekar. Dia tak terlalu cantik tapi sudah membuat
aku tertarik, dia tidak modis namun manis. Namanya sudah terekam baik di kepalaku.
Semua
mengucapkan selamat kepada kami, ya ini pertama kalinya sekolah kami mendapatkan piala dalam bidang apapun. Dari sejak sekolah ini berdiri, tak ada satupun
penghargaan yang diterima sekolah ini. Sekolah kami sangat miskin prestasi, aku tahu dari cerita Pak kepala
sekolah seminggu sebelum pengumuman. Jadi, mereka menaruh harapan besar kepada kami. Syukur selalu terucap
dalam bibir, kami mampu memberikan yang terbaik meski tak mampu menjadi nomor satu.
***
Setelah pengumuman usai, mereka
membubarkan diri menuju kelas masing-masing. Tinggallah kami
berdua di lapangan. Ini
waktu yang pas untuk mengungkapkan perasaanku.
“Nad...”
“Iya, Kak ada apa?” dia menoleh ke arahku.
“Aku mau
ngomong sesuatu.”
“Ngomong
apa Kak?” dia mengecap bibirnya, ya seperti itu
memang kebiasaannya.
“Aku…
aku… aku…” Tanganku gemetar, mulutku tak mampu mengucapkan satu patah katapun.
Iya ini mirip seperti di sinetron-sinetron. Menyebalkan memang. Kenapa setiap kata yang mau terucap selalu
tak dapat tersampaikan dengan sempurna?
“Apa Kak? Ayo dong aku ada ulangan nanti
jam ke 3.” Dia tersenyum manja.
“Aku
suka sama kamu. Mau kah jadi pacarku?” ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan rasa. Semoga diterima.
Suara
angin semilir menggesek dedaunan. Menimbulkan bunyi yang membuat tenang, siang
itu tiang bendera dan pepohonan akan jadi saksi. “Jadi gimana, Nad?” kataku menanyakannya kembali. Dia masih diam seribu
bahasa, pipi bulatnya memerah, tapi lama-lama bibirnya terbuka dan senyum
manis. Iya manis sekali, kalau kau bisa melihatnya pasti kau juga akan bilang
hal yang sama.
“Kak,”
“Iya.”
“Aku
juga suka sama, kakak…”
“Wah.”
Aku melempar senyum pada semesta. Menatap ke atas, berlari kecil ke tengah
lapangan lalu terduduk di bawah. Semesta ikut bahagia mendengarnya. Aku membisikan salam terima kasih
pada sekelilingku karna telah menjadi saksi sejarah ini. dan aku kembali
menghampirinya.
“Aku
suka dengan semangat hidup kakak, senang dengan semua pencapaian yang sudah
kakak dapatkan…” Dia terdiam.
“Terus
?”
“Tapi
maaf sekali kak, aku nggak bisa jadi pacar kakak…”
“Kenapa?”
kaki dan tanganku lemas.
“...”
“Bukan karena aku minoritas kan?” entah kenapa dadaku
sesak seketika
“Bu.. bukan.” Nadiera menjawabnya dengan muka memerah.
Gup.. rasa-rasanya semesta sedang menghunuskan pedang Zeus ke
hatiku. Sakit.
“Hey Nad, kok masih
disini? Gak mau masuk?” seorang siswa berlari kecil menghampiri Nadiera.
“Eh.. iya bentar lagi.
Kak, aku ke kelas duluan ya...” Nadiera mulai membalikkan badan menjauhiku.
“Selamat ya Kak Gata.” Dia menjabat
tanganku. Aku tidak bergeming, menatap Nadiera lurus. “Aku duluan ya kak. Hey,
Nad! Tungguin!” setelah menyamakan jarak di sebelah Nadiera, siswa itu
mengacak-ngacak rambut Nadiera, sepertinya mereka terlihat akrab.
Dan aku hanya bengong
melihat mereka berdua. Apakah Nadiera berbohong?
Tuhan tidak selalu menghadirkan cinta dengan akhir yang bahagia tapi juga kesedihan. Aku
sendirian di lapangan upacara, enggan beranjak dari aspal yang kupijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)