Minggu, 27 Oktober 2013

Cinta Minoritas

Djamall & Putri Fathia

“Permisi… Permisi... Permisi...” Aku mencoba membuka jalan, orang-orang yang berdiri di depanku cukup menghalangi pandangan. Dengan tenaga lebih, aku berhasil membongkar pertahanan mereka.  Di mading ada selebaran info pengumuman lomba menulis cerpen, yang diikuti seluruh siswa se-Jabodetabek. Semua berebut ingin melihat siapa pemenang lomba menulis tersebut.
Ketika sampai di depan mading. Tanpa ba-bi-bu aku langsung membaca satu persatu nama yang terpampang di mading, melihat dengan seksama, siapa tahu namaku muncul di sana, “Yesss, Alhamdulillah. Wuuh!aku mengepal tangan kananku. Usahaku tidak sia-sia. Aku langsung bersyukur, air mata bahagia jatuh menetes di tebing pipiku. Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, aku menjadi juara tiga lomba menulis cerpen se-Jabodetabek. Aku berhasil mengalahkan enam ratus tiga puluh lima siswa yang mengikuti lomba itu. Bukankah cukup membanggakan?
Sejak pengumuman kemenangan itu, ketenaranku di sekolah naik sepersekian persen. Tiap teman seangkatan atau adik kelas yang mengenalku memberikan selamat. “Oh, ini yang namanya Gata Purnama? Selamat ya...” seorang guru matematika menepuk-nepuk pundakku, saat aku sedang mengambil tumpukan buku pelajaran di meja Wali kelas. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Ya ternyata bahagia itu memang sederhana.

Sebenarnya, aku tidak populer di sekolah, tampangku saja biasa – tidak jelek-jelek banget, masih enak dipandang Hanya saja, keadaan fisikku yang sedikit berbeda dari siswa-siswa lainnya membuatku jadi pemalu. Aku terlahir dengan tangan dan kaki yang tidak sempurna. Jari-jari tangan kananku sedikit terlipat, juga dengan jari kaki kiriku. Dulu –waktu aku kecil— aku tak dapat berjalan. Sakit, jika melangkah. Sedangkan tangan kananku sering keram. Itu yang membuatku lebih sering menghabiskan masa kecilku di rumah.
Waktu umur enam tahun, kaki dan tanganku dioperasi untuk kesekian kalinya. Rasa nyeri dan keram sering menjelma menjadi monster yang kejam, mereka seolah-olah menggerogoti tubuhku. Ketika mereka datang aku hanya bisa berbaring di kasur, merasakan sakit yang luar biasa. Air mataku sering jatuh, karena tak mampu menahannya. Terlalu berat, untuk dijalani anak seumuranku waktu itu. Aku sempat berfikir, betapa kejamnya Tuhan berikan aku dunia yang seperti ini. Tapi ibu dan bapakku selalu berikan semangat dan menjelaskan padaku, bahwa Tuhan selalu berikan yang terindah untuk hamba-hambanya yang pandai bersyukur.
Operasi terakhir berjalan lancar dan membuahkan hasil yang menenangkan. Rasa nyeri dan sakit yang sering menyerang, tak lagi pernah mampir. Ia hanya datang sesekali. Terakhir aku mengalaminya saat duduk di bangku SMP, kini aku sudah SMA kelas dua jarang merasakannya lagi. Aku bisa berjalan, meski tak sesempurna orang-orang. Aku tak mampu mengenakan sepatu, jadi kemanapun kakiku melangkah aku hanya mengenakan sandal sebagai pelindungnya. Aku tumbuh jadi anak yang minder dan pemalu, tak punya banyak teman –baik di sekolah maupun di rumah. Aku lebih senang menyendiri, ditemani buku-buku. Ya, mereka teman yang paling setia, tak pernah bawel dan tidak pernah mengejekku.
Di sekolah aku tak banyak kenal orang, yang aku kenal hanya guru-guru dan penjaga sekolah yang merangkap jadi satpam dan membersihkan sekolah, penjual di kantin, kepala sekolah,  dan teman sekelasku. Selebihnya? Aku tak kenal mereka.
***
Semenjak menjuarai karya tulis tersebut. Aku berhasil menunjukkan bahwa kesempurnaan tak hanya datang lewat fisik. Secara perlahan, tapi pasti. Aku mulai menunjukkan siapa aku sebenarnya. Teman-teman di sekolah, tidak lagi memandangku sambil memicingkan sebelah mata.
Nggg...ngg... Perekam suara sekolah mulai menggema, menandakan akan ada pengumuman yang bisa didengar seantero sekolah.
“Assalammu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh. Pengumuman ditunjukan kepada Gata Purnama siswa kelas XI.IA 3 dan Nadiera Primana siswi kelas X.3 ditunggu di ruang kepala sekolah sekarang juga.
Sekali lagi panggilan untuk Gata Purtama kelas XI.IA 3 dan Nadiera Primana kelas X.3 untuk menghadap kepala sekolah sekarang juga, Terima kasih. Wasalammualai’kum warohmatullahhi wabarokatuh."
Aku yang saat itu tengah konsen mengerjakan soal matematika tentang persamaan trigonometri, mendadak kaget. Ada apa, ya?
"Permisi, Pak." Aku masuk sebelum diperintah terlebih dahulu. Ternyata kursi di depan kepala sekolah yang berkumis tebal itu sudah diisi seorang siswi.
"Mari. Silakan duduk, Gata. Sudah kenal Nadiera?" siswi yang ditunjuk Pak kepala sekolah disebelahku menoleh, dia tersenyum. Lumayan manis.
"Sudah Pak, anak kelas X.3, kan?" Jawabku kaku. Sebenarnya aku tidak tahu siapa dia, aku hanya pura-pura kenal. Nadiera kembali tersenyum. Jawaban yang bodoh bukan?
"Hmmya…ya... jadi begini." Pak kepala sekolah menyodorkan selembar kertas "ada lomba menulis cerpen tingkat nasional, tapi lomba ini mewajibkan duet antara perempuan dan laki-laki. Saya melihat prestasi kamu akhir-akhir ini bagus, dan Nadiera selaku Ketua ekskul Bahasa Indonesia di sekolah kita. Jadi pikir saya, akan lebih baik jika kalian berdua yang mewakili sekolah kita. Saya menaruh harapan besar pada kalian berdua."
Nadiera sedikit terkejut melihat keadaan tanganku. Aku bisa melihat reaksi kagetnya itu, namun aku cuek saja dan melanjutkan membaca selembaran yang diberikan kepala sekolah. "Hm... saya bisa Pak.” Aku tidak berpikir panjang. Kesempatan langka. "Nanti, bisa saya pikirkan idenya."
"Bagus. bagaimana dengan kamu Nadiera?"
"Saya hmmm… juga bisa Pak." Nadiera menjawab pertanyaan Pak kepala sekolah namun malah tersenyum padaku.
“Oke, saya akan memfasilitasi semua, selebihnya saya serahkan ke kalian berdua. Untuk diskusi, pakai saja lab bahasa."
"Baiklah, kalau begitu kami bisa permisi sekarang ya, Pak?" siswi itu beringsut mengundurkan diri. Aku hanya menirunya, kembali menyalami kepala sekolah.
"Nadiera?" sekarang kami sudah diluar ruangan.
"Saya kak, selamat ya sudah juara lomba cerpen tingkat jabodetabek kemarin."
"Terima kasih, kamu sudah kenal aku?”
“Iya aku kenal kakak, tapi mungkin kakak yang tidak kenal aku. Hehe.”
“Hehe, lalu kapan kita bisa diskusi?"
"Nanti sore sepulang sekolah saja… jam 3 di lab bahasa ya. Bisa?"
"Oh. Oke" 
***
            Kami membaca ulang kertas yang diberikan Bapak kepala sekolah, melihat dengan seksama. Tema yang diangkat dalam lomba kali ini adalah ‘merangkul keterbatasan’. Lima belas menit berlalu tanpa ada suara, tak ada interaksi. Aku terlalu pemalu untuk memulai pertanyaan, dan terlalu kaku untuk bertatapan. Waktuku habis hanya untuk memandanginya, jantungku berdetak lebih cepat saat melihatnya, nafasku sedikit sesak. Apakah ini penyakit baru?
“Jadi gimana enaknya, Kak?” Tanya Nadiera memecah kesunyian. Sekolah kini sudah benar-benar sepi, hanya tersisa kami berdua.
“Mmmm,”
“Kak, Kak Gata, halooooo?”
“Eh iya maaf.”
“Ngelamunin apa sih kak? Pacarnya ya? Hehe.”
“Hehe, enggak kok. Kamu punya ide?”
            Selama perjalanan pulang sekolah aku memikirkan ide lomba karya tulis. ‘Merangkul keterbatasan, merangkul keterbatasan... keterbatasaaaasaaannn… aku sempat mendengus kesal sambil menendang kecil batu yang menghalangi jalanku. "Haduuhh... apa ya, hmm..." aku terus menyusuri jalan setapak menuju rumah dan belum ada satu pun ide. Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar, melewati cermin kamar dan... langsung bercermin.
***
Seusai salat ashar kami bertemu kembali di tempat biasa, untuk membicarakan kelanjutan lomba. Ini adalah pertama kalinya aku berduet menulis. Aku sudah mempunyai satu ide dan Nadiera satu ide.
"Hai kak, sudah menunggu lama?"
"Ah, nggak kok." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Salah tingkah.
"Jadi, gimana idenya? sudah ketemu?" Nadiera melanjutkan bicaranya, duduk di dalam ruang menulis.
Drrett… ku tarik bangku lainnya tepat dihadapan Nadiera "Begini, lomba cerpen inikan temanya merangkul keterbatasan', gimana kalau kita buat tulisan, tentang aku saja. Walau dalam keterbatasan aku mampu berprestasi.” Aku mengangkat kedua tanganku. Tampak bodoh sekali.
"HAH?" Nadiera kaget mendengar ideku.
"Iya, kenapa? gak bagus ya?" aku mengernyitkan dahi.
"Bukan gitu" Nadiera mengeluarkan buku catatan dan kotak pensilnya. "Jujur saja, sebenarnya ide Nadiera juga gitu! Kita jadikin Kak Gata sebagai objeknya. hehehehe… jadi kita kan gak usah capek-capek riset. Tapi, Nadiera takut ngomongnya…" Nadiera menunduk malu, pura-pura menulis sesuatu di buku catatannya.
"Kok masih pakek acara takut gitu sih, Nad. Aku kan bukan monster. Masih berwujud manusia. hehe" Aku ikut-ikutan mengeluarkan buku catatan dan peralatan tulis.
"Hahahaa... lucu deh Kak Gata. Oke! Deal yah! Mulai dari mana nih? Coba deh Kak Gata cerita kehidupan Kak Gata gimana. Ntar Nadiera bantu bikin tulisannya." Kali ini tawanya terlihat lepas. Tidak ada kekakuan di antara kita.
Kami larut dalam obrolan yang saling membangun, entah bagaimana caranya aku jadi lancar berbicara, bercerita tentang banyak hal padanya. Dia sibuk menuliskan poin-poin yang akan kami tulis bersama. Satu jam berlalu kami sama-sama lupa waktu.
“Kalian tidak pulang? Sudah pukul lima loh…” aku menoleh ke arah suara yang itu datang. Ternyata suara Pak Karyo penjaga sekolah kami.
“Iya Pak, ini sudah selesai kok.” kami menjawab bersamaan
“Duh, sampe kompakan gitu jawabnya. Ya sudah bapak tunggu.”
“Hehehe, siap pak, kami bereskan dulu kertas-kertas ini.” Kata Nadiera.
Kami langsung membereskan semuanya, dan bergegas meninggalkan ruangan lab, tidak enak membuat Pak Karyo menunggu terlalu lama. Kami berpamitan dengan Pak Karyo, langkah kami mengisi lantai demi lantai dan meninggalkan jejak di sana. Meski jalanku lambat, Nadiera tak pernah lelah menungguku agar bisa jalan bersama. Mungkin dia kasihan atau memang sabar dengan kondisiku? tapi aku tak pernah mau dikasihani. Buat aku hidup adalah perjuangan bukan belas kasihan. Ah, aku buru-buru menampik perasaan itu.
“Sampai bertemu besok ya kak. Aku pamit dulu.” Nadiera melambaikan tangan dan menghilang dari pandanganku.
***
Ada yang aneh dengan hidupku beberapa hari ini. Tapi aku tak tahu ini apa? Yang jelas aku bisa merasakan perbedaan itu. Aku jadi suka memikirkan Nadiera. Membayangkan sendu wajahnya. Bahkan, diam-diam aku merekap suaranya saat dia berbicara, satu persatu rekaman itu aku putar berulang-ulang tanpa bosan. Aku senang mendengarkannya.
Apa ini yang orang-orang sebut cinta? Apa aku jatuh cinta? Semudah itu cinta bisa tumbuh? Sejak dulu, aku tidak percaya pada cinta. Aku tertutup padanya. Bahkan aku tak mau tahu soal itu. Cinta yang aku tahu hanya sebuah kesia-siaan. Hanya membuang-buang waktu untuk hal yang tak penting. Lihat saja teman-temanku yang setiap pulang sekolah bergandengan tangan dan tertawa bersama itu, perbuatan tak penting bukan? Berantam karena wanita. Menangis karena ditolak. Galau karena tak dapat kabar. Seolah dunia milik mereka berdua.
Tapi sekarang? Ah, apa aku sedang berada di posisi mereka? Merasakan yang dulu sering aku bilang sia-sia? Buang-buang waktu?
Hari-hari berikutnya aku lalui dengan mengamati gerak-gerik Nadiera, kami semakin akrab. tidak ada lagi hal-hal yg menjadi jarak. Sampai akhirnya cerpen kami serahkan ke Pak kepala sekolah, kami tinggal menunggu pengumumannya sebulan lagi. Kami berdua cemas. Namun, aku lebih cemas. Sangat. Aku takut setelah usai pengumuman, kami tidak bisa sedekat ini lagi.
Oke aku mengaku, iya aku mengaku kalah dengan apa yang tidak kusukai dulu. Iya, aku jatuh cinta, cinta yang membuatku berubah. Tapi, aku tak mau jadi manusia yang rumit seperti mereka-mereka yang biasa ku temui. Aku berharap semua tak seperti itu —walau kenyataannya aku jadi seperti mereka.
Sebulan telah berlalu, pengumuman tepat dua hari lagi. Aku semakin dekat dengan Nadiera. Kami sering berpapasan di gerbang sekolah, terkadang aku memberanikan diri mengirimkan pesan singkat. Beberapa ada yang  dibalas selebihnya tidak. Namun aku menghargainya.
            Kak Gata, jangan lupa hari ini pengumuman karya tulis ya! semoga kita juara. Amin, sampai jumpai di sekolah.
Kali ini, bukan aku yang memulai mengirimkan pesan singkat. Pagiku menjadi lebih ceria. Oke! Setelah pengumuman aku akan menembak Nadiera. Tapi apa dia mau menerima aku yang tak sempurna? bahkan dia lebih tinggi dari aku. Aku mulai menerka-nerka, namun, bukankah cinta tentang sebuah penerimaan? Aku akan coba, tak ada sukses jika tak mau mencoba.
Keceriaanku semakin menjadi. Saat upacara pagi kepala sekolah yang mengumumkan  bahwa kami berhasil menyambet juara kedua lomba menulis cerpen. Kami maju ke podium upacara. Kali ini, aku bersanding dengannya, dan ratusan pasang mata memperhatikan kami. Aku gugup setengah mati, ingin menggandeng tangannya. Sangat ingin, namun saat kuberanikan diri, tanganku yang lebih kecil darinya ini semakin gemetaran sampai akhirnya tak mampu menggandeng. Nadiera menyambut tanganku tiba-tiba lalu menyalaminya.
Senyumnya merekah seperti bunga yang baru saja mekar. Dia tak terlalu cantik tapi sudah membuat aku tertarik, dia tidak modis namun manis. Namanya sudah terekam baik di kepalaku.
Semua mengucapkan selamat kepada kami, ya ini pertama kalinya sekolah kami mendapatkan piala dalam bidang apapun. Dari sejak sekolah ini berdiri, tak ada satupun penghargaan yang diterima sekolah ini. Sekolah kami sangat miskin prestasi, aku tahu dari cerita Pak kepala sekolah seminggu sebelum pengumuman. Jadi, mereka menaruh harapan besar kepada kami. Syukur selalu terucap dalam bibir, kami mampu memberikan yang terbaik meski tak mampu menjadi nomor satu.
***
Setelah pengumuman usai, mereka membubarkan diri menuju kelas masing-masing. Tinggallah kami berdua di lapangan. Ini waktu yang pas untuk mengungkapkan perasaanku.
“Nad...
“Iya, Kak ada apa?” dia menoleh ke arahku.
“Aku mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong apa Kak?” dia mengecap bibirnya, ya seperti itu memang kebiasaannya.
“Aku… aku… aku…” Tanganku gemetar, mulutku tak mampu mengucapkan satu patah katapun. Iya ini mirip seperti di sinetron-sinetron. Menyebalkan memang. Kenapa setiap kata yang mau terucap selalu tak dapat tersampaikan dengan sempurna?
“Apa Kak? Ayo dong aku ada ulangan nanti jam ke 3.” Dia tersenyum manja.
“Aku suka sama kamu. Mau kah jadi pacarku?” ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan rasa. Semoga diterima.
Suara angin semilir menggesek dedaunan. Menimbulkan bunyi yang membuat tenang, siang itu tiang bendera dan pepohonan akan jadi saksi. “Jadi gimana, Nad?” kataku menanyakannya kembali. Dia masih diam seribu bahasa, pipi bulatnya memerah, tapi lama-lama bibirnya terbuka dan senyum manis. Iya manis sekali, kalau kau bisa melihatnya pasti kau juga akan bilang hal yang sama.
“Kak,”
“Iya.”
“Aku juga suka sama, kakak…”
“Wah.” Aku melempar senyum pada semesta. Menatap ke atas, berlari kecil ke tengah lapangan lalu terduduk di bawah. Semesta ikut bahagia mendengarnya. Aku membisikan salam terima kasih pada sekelilingku karna telah menjadi saksi sejarah ini. dan aku kembali menghampirinya.
“Aku suka dengan semangat hidup kakak, senang dengan semua pencapaian yang sudah kakak dapatkan…” Dia terdiam.
“Terus ?”
“Tapi maaf sekali kak, aku nggak bisa jadi pacar kakak…”
“Kenapa?” kaki dan tanganku lemas.
“...”
“Bukan karena aku minoritas kan?” entah kenapa dadaku sesak seketika
“Bu.. bukan. Nadiera menjawabnya dengan muka memerah.
            Gup.. rasa-rasanya semesta sedang menghunuskan pedang Zeus ke hatiku. Sakit.
            “Hey Nad, kok masih disini? Gak mau masuk?” seorang siswa berlari kecil menghampiri Nadiera.
            “Eh.. iya bentar lagi. Kak, aku ke kelas duluan ya...” Nadiera mulai membalikkan badan menjauhiku.
            “Selamat ya Kak Gata.” Dia menjabat tanganku. Aku tidak bergeming, menatap Nadiera lurus. “Aku duluan ya kak. Hey, Nad! Tungguin!” setelah menyamakan jarak di sebelah Nadiera, siswa itu mengacak-ngacak rambut Nadiera, sepertinya mereka terlihat akrab.
            Dan aku hanya bengong melihat mereka berdua. Apakah Nadiera berbohong?

            Tuhan tidak selalu menghadirkan cinta dengan akhir yang bahagia tapi juga kesedihan. Aku sendirian di lapangan upacara, enggan beranjak dari aspal yang kupijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)