Suasana jalanan sudah ramai dengan lalu
lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang mengejar bus,
sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada senyum,
sedih, bahagia dan ada pula tawa. Pagi selalu memberikan lembaran baru untuk
diukir sampai malam tiba.
Aku ikut larut di dalam keramaian halte
pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami biasa berangkat bersama
menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di jalan. Kegiatan pagi
yang rutin kami jalani adalah saling menunggu.
“Woy, ngelamun aja.” Morin dan Roni
menepuk pundakku.
“Ah, kalian, mengagetkan saja.
Tumben lama banget, sih? Kering nih, nunggu kalian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit di rumah sama nyokap.
Maaf ya, Tur kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas.
“Kalau aku tadi bantuin bapak beres-beres
berkas dulu. Besok, beliau akan pergi ke Hongkong, ada kerjaan disana. Sorry, bro,
hehe” Roni melanjutkan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti biasa,
cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti kita bisa
telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua naik ke bus
yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan cukup sebentar
bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat di depan
gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya. Mungkin
karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya pukul
06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru
sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana,
nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.” Morin panic,
wajahnya sedikit pucat.
“Santai saja, ah, gak usah panik. Kita
lewat tembok belakang aja.” Tidak lagi menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni
langsung berlari ke tembok belakang sekolah.
Tak ada toleransi dalam lingkungan
sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun itu guru.
Semua akan mendapatkan poin kesalahan. Pada dasarnya kami bertiga adalah anak
yang baik. Roni yang cengengesan ini termasuk anak yang pintar di kelas. Roni
anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya banyak,
baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah salah satu murid
yang paling pintar di antara anak-anak di kelas kami. Selain itu dia sangat
ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik tersendiri di
dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa yang tak
kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di sekolah
kami.
Sedangkan aku, biar dibilang tak sepintar
Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut teman-teman dan
guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan,
tapi kita harus pintar melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu
aku pegang sampai sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah
dan ibuku. Untuk soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
“Ah, aku gak berani memanjat tembok
ini. Rok aku panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, aku bantuin.” Roni meyakinkan.
“Nah, itu ada bangku.” Aku bergegas
mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya
naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah berhasil terjun dari
atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan merasakan sakit, tergambar dari
nada suaranya.
“Morin, kamu gak kenapa-kenapa, kan?” Aku
dan Roni panik.
“Enggak apa-apa kok aman, deh, hanya sakit
sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku dan Roni
menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling sudah sepi,
tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar, pepohonan yang
daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas yang tidak
terisi.
Kami melangkahkan kaki, meninggalkan
tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan semak-semak yang
cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah di titik
terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan di
sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang
paling ditakutkan anak-anak seantero sekolah.
“Yes, Bu Indah ga ada
di bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat tenaga, tiba-tiba
Morin terjatuh.
“Guntur, Morin, Roni….” ujar sebuah suara,
“Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat kami
kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh itu. Suara yang selalu membuat
hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh mungkin meninggalkannya. Suara
yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi ketika suara itu mulai
berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu juga.
“Diam di situ!” Perintah Bu Indah kepada
kami.
“Kalian ingat peraturan di sekolah ini?
Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan kayu besar,
jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam seperti anak ayam
yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani menoleh ke
belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah jam,
membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi sekolah.
Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti kelas hingga jam
istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk mengikuti ulangan
susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah kami mimpi
apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang sering jadi
musuhUltraman di setiap pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami
langsung dihadapkan pada kenyataan yang cukup melelahkan untuk hari ini.
Bruuk! Aku terjatuh di lantai depan pintu kelas.
Roni memukulku keras sekali. Aku memegang
bibir kiri bawah, kulihat di tanganku mengalir darah segar. Aku tidak tahu
kenapa Roni melakukan ini.
“Kenapa kamu mukul aku, Ron? Salahku apa?”
Luka bekas pukulan Roni barusan cukup membuat nyeri di gusi dalam.
“Heh, aku enggak pernah nyangka sahabat
yang selama ini sudah aku anggap seperti saudara bisa melakukan hal ini,”
Nampak sekali dari raut wajahnya, Roni sangat kesal padaku.
“Maksudmu apa, sih, Ron? Sumpah aku enggak
ngerti apa yang kamukatakan,” Aku berdiri mencoba menghampiri Roni yang masih
dibawa oleh emosi.
“Heh, sudahlah Tur enggak usah
sok baik di depanku. Kamu itu mateng luarnya tapi busuk dalemnya!”
Emosi Roni terus memuncak.
Bruuk! Untuk kedua kalinya aku terjatuh, kali ini lebih
keras.
Roni terus memukuli wajahku. Aku masih
mencoba bertahan untuk tidak melawan, bukan aku takut, tapi aku tak mau
menyakiti dia sedikit pun. Roni sahabat yang selalu ada di sampingku setiap
hari saat di sekolah. Bukan sekedar teman tapi Roni sudah seperti kakakku
sendiri. Dia yang paling dewasa dalam menentukan tindakan. Tapi, kenapa
sikapnya yang sekarang seperti anak kecil?
Bukannya melerai, teman-teman yang melihat
kami malah asyik menonton. Mereka bersorak-sorai kesenangan seolah mendapatkan
hiburan gratis. “Ayo, ayo, ayo!”. Beberapa mencoba memisahkan kami, namun
mereka tak mampu melawan amarah Roni yang sedang meluap-luap. Ada yang terkena
pukulannya, sikutannya atau tendangannya.
Wajahku sudah tidak berbentuk, penuh
dengan memar-memar biru bekas pukulan. Roni nampaknya marah besar, bahkan
mungkin ia tak berniat sedikitpun untuk menghentikan pukulannya. Masih dan
terus ia terjunkan pukulan demi pukulan di wajahku. Aku tak menyangka Roni yang
cengengesan bisa sesangar ini.
“Permisi, permisi… Ada apaan ini?” Morin
datang menerobos masuk ke tengah keramaian penonton.
“Roni!! Apa-apaan, sih, kamu? Kenapa kamu
pukul Guntur hingga babak-belur begitu? Hah?” Morin melerai dan menarik Roni
berdiri.
“Kalian juga! Guntur dipukulin seperti
ini, kalian hanya menonton saja? Dimana pikiran kalian? Kalian, tuh,
sudah pada dewasa harusnya tahu apa yang seharusnya kalian lakukan!” Penonton
kesiangan alias teman-teman kami yang menonton langsung membubarkan diri.
“Kenapa, sih, Ron? Kenapa? Ini ada apa?
Coba jelaskan!” Morin kesal sekali melihat dua sahabatnya berkelahi.
“Tanya aja sama Dia tuh!” Roni menunjuk
padaku.
“Kenapa Tur?” Tanya morin.
“Aku ga tau apa-apa bener deh, tahu-tahu
roni udah mukul aja.” Jawabku.
“Ah ga usah pura-pura gak tahu deh. Aku
sudah dua hari mengikutimu Tur,” telunjuknya mengarah ke mukaku. “Dan asal kamu
tahu Rin, dia sudah beberapa kali ini jalan sama Kalista! Kamu tahu kan, Rin,
Kalista itu cewek yang aku suka sejak kelas satu. Sahabat macam apa yang
tega-teganya menikung sahabat sendiri?”
“Hanya gara-gara itu, kamu memukul
Guntur? Iya? Kamu sudah tanya ke Guntur kenapa dia selama beberapa hari ini
jalan sama Kalista? sudah?Hah?”
“Kenapa kamu hanya diem saja
Tur dipukulin? Kamu enggak tanya apa masalahnya?” Morin larut dalam
ketegangan.
“Tanya sendiri, deh,
sama Roni! aku sudah tanya baik-baik sama dia, tapi dia malah terus
memukul.”
“Memang benar beberapa hari ini aku jalan
sama Kalista, tapi sumpah, enggak ada sedikit pun dalam benak untuk nikung,
atau apapun. Asal kamu tau, Kalista itu minta aku buat mengajarkan dia bikin
puisi. Dia bilang susah untuk mengeluarkan kata-kata menjadi indah. Dan perlu
kamu tahu puisi itu bakal dia bacakan khusus buat kamu saat acara
kelulusan nanti! Sebagai tanda kalau dia menerimamu! Kalau gak percaya, silakan
tanya sendiri sama Kalista,” Aku mencoba menjelaskan semua kesalahpahaman yang
ada.
“Kenapa, lu, enggak bilang
dari awal, Tur?” Nada bicara Roni lemah lembut sekali beda dengan yang tadi.
“Hehe, lucu kamu, Ron. Mana ada kejutan
yang dibilangin? Dimana-mana kejutan ya enggak dikasih tahu ke
orang yang bakal diberikan kejutan!” Jawabku sambil menahan rasa sakit.
“Sudah jelas kan semuanya? Kali lain kalau
mau bertindak dipikir dulu Ron, jangan langsung main kasar. Sudah sana minta
maaf sama Guntur. Aku,tuh, enggak suka lihat sahabatku berantem hanya
karena seorang wanita.”
Roni menjulurkan tangannya padaku, aku
yang masih terduduk di lantai menyambutnya dan bangun. “Maafin aku ya, Tur.
Sumpah aku menyesal sudah melakukan ini,” Roni memelukku erat.
Cinta dan persahabatan dua elemen yang tak
bisa terpisahkan namun seringkali ketika mendapatkan salah satu, satu lainnya
dilupakan.
***
Enam bulan kemudian.
“Anak-anak, minggu depan adalah pengumuman
Ujian Nasional,” Pesan terakhir Bu Diana sebelum meninggalkan kelas tadi.
Kebetulan sekolah memang sudah libur tapi hari ini semua disuruh masuk untuk
mendapatkan info-info seputar pengumuman UN.
“Enggak kerasa, ya, minggu
depan sudah pengumuman. Bagaimana cerita kita nanti setelah lulus, ya?” tanya
Morin padaku. Sekelebat Morin memutar balik tubuhnya seraya tak ingin
kehilangan sedikit pun obrolan aku dan Roni. Posisi duduknya berada tepat di
depanku. Dia duduk bersama Nita.
Di kelas banyak sekali teman wanita Morin
tapi entah kenapa dia lebih senang bermain bersama aku dan Roni yang laki-laki.
Bahkan Nita pernah bilang “Kalian bertiga, tuh, kaya bayi kembar
siam, dempet terus.”
“Eh, iya, kita bakal sering kumpul, kan,
seperti biasa jika nanti sudah lulus? Kalian enggak bakal
lupa, kan, sama persahabatan kita? Aku selalu sedih kalau membayangkan harus
berpisah sama kalian… Aaaa…” Mulutnya manyun, cemberut nyebelin khas cewe yang
lagi ngambek tapi bercanda.
“Lebay deh, kayak rumah kita jauh aja.
Tiap hari kumpul juga bisa kali,” celetuk Roni.
“Ya, kali. Kita, kan, masih disatukan oleh sekolah makanya gampang buat kumpul,
kalau sudah kerja atau kuliah apa gampang waktu kita buat kumpul? Kayaknya enggak segampang
yang kamu bilang, deh, Ron. Bener, enggak, Tur?” Morin
mengernyitkan dahinya.
“Ada benernya yang Morin bilang. Aktivitas
baru, teman baru, suasana baru pasti lebih menyenangkan dan membuat kita lupa
pada yang lama. Tapi aku percaya, kok, kalian enggak akan seperti
itu,” aku ikut bersuara.
“Janji?” Morin tersenyum. Tangannya maju
menunjukkan jari kelingkingnya di hadapanku dan juga Roni.
“Janji!” Kami sama-sama berteriak kecil,
mempersatukan ketiga jari kelingking menjadi satu di tengah. Senyum bertaburan
di masing-masing wajah kami.
“Cieeeeeee… Anak kembar kompakan amat,”
teriakan yang cukup keras terdengar di telinga kami, suara itu mengisi penuh
ruangan kelas bahkan mungkin terdengar sampai keluar.
Kami tidak sadar, ternyata seisi kelas
memperhatikan kami yang sedang bercengkerama bersama.
***
Hari yang kami tunggu-tunggu telah tiba.
Perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini, ditentukan oleh ujian selama
enam hari. Aku cemas, yang ada di pikiranku hanya satu; Bagaimana jika aku
tidak lulus? Roni dan Morin datang, wajah mereka pun sama denganku. Datar dan
keceriaannya tak nampak di sana.
Lihatlah kemana kegembiraan yang sering
diumbar kelas ini kepada kelas-kelas lain. Kemana perginya? Sepi, hanya ada
suara-suara kecil dari pojok, beberapa masih bisa berbincang namun lebih banyak
yang diam. Kami disuruh menunggu di kelas oleh para guru, tidak boleh
berkeliaran.
“Para siswa diharapkan berkumpul di
lapangan,” begitu kira-kira suara dari speaker.
Kami semua berlarian keluar kelas, berebut
ingin cepat sampai di lapangan. Semua kelas tiga tumpah jadi satu di lapangan,
berbaris rapi sekali. Kepala sekolah sudah berdiri di atas tempat biasa beliau
berpidato, guru-guru sudah berbaris rapi di samping kanan kirinya.
Beberapa menit status murid SMA akan kami
lepas, jika lulus. Dan akan tetap bergelar murid SMA jikalau kami tidak lulus.
Pengumuman ini menjadi penentu perjalanan yang sering kami sebut “sekolah”.
“Kalian LULUS 100%...” Suara lantang
kepala sekolah membangunkan wajah-wajah yang tertunduk lesu.
“Horeee…” Riuh sorak para murid bertebaran
di lapangan. Langit pagi yang biru terang disertai terik yang cukup panas,
tidak bisa mengalahkan kegembiraan kami.
Semua hanyut dalam semarak kelulusan,
termasuk Roni dan Morin. Sedangkan aku, entah mengapa malah menyendiri di bawah
pohon mangga depan ruang guru. Menatap masa depanku setelah ini akan seperti
apa.
Bisa sampai pada titik ini adalah hal yang
luar biasa buatku, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan seperti apa
yang sudah aku dapatkan sampai saat ini. Rasa syukurku tak pernah terhenti
untuk semua yang telah Allah berikan. Untuk kedua orang tuaku, entah dengan apa
aku bisa membalas semua doa-doa dan dukungan serta kerja keras mereka
membanting tulang untuk memberikan yang terbaik untuk hidup dan pendidikanku.
Tiba-tiba dari samping ada yang menepuk
pundakku. “Selamat, ya, Nak. Perjuanganmu belum berakhir, masa depanmu masih
panjang. Kejar semua itu dengan karya dan prestasi, jadikan caci maki sebagai
amunisi untuk melangkah menjadi yang terbaik.”
Aku menoleh, ingin tahu siapa yang
berbicara itu. Dan aku pun terkejut. Beliau adalah Ibu Indah, guru killer itu.
Seandainya semua murid melihat ini pasti mereka akan berubah pikiran dan merasa
bersalah menganggap Ibu Indah itu menyeramkan.
Senyum Ibu Indah jatuh di kedua bola
mataku dan merontokkan sendi-sendi pikiranku. Lihatlah betapa indahnya senyum
itu sama seperti nama pemiliknya dan terlihat jelas ketulusan hadir di sana.
“Apa ini mimpi?” gumamku dalam hati. Bahwasannya, selama ini kami telah salah menilai Ibu Indah. Beliau sebenarnya bukan galak tapi tegas.
“Apa ini mimpi?” gumamku dalam hati. Bahwasannya, selama ini kami telah salah menilai Ibu Indah. Beliau sebenarnya bukan galak tapi tegas.
Teman-teman
menghampiriku, kita berpelukan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)