Senin, 09 September 2013

Aku, Kalian dan Waktu

Suasana jalanan sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa. Pagi selalu memberikan lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku ikut larut di dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami biasa berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di jalan. Kegiatan pagi yang rutin kami jalani adalah saling menunggu.
“Woy, ngelamun aja.” Morin dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, kalian, mengagetkan saja. Tumben lama banget, sih? Kering nih, nunggu kalian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas.
“Kalau aku tadi bantuin bapak beres-beres berkas dulu. Besok, beliau akan pergi ke Hongkong, ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni melanjutkan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti biasa, cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya. Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.” Morin panic, wajahnya sedikit pucat.
“Santai saja, ah, gak usah panik. Kita lewat tembok belakang aja.” Tidak lagi menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang sekolah.
Tak ada toleransi dalam lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun itu guru. Semua akan mendapatkan poin kesalahan. Pada dasarnya kami bertiga adalah anak yang baik. Roni yang cengengesan ini termasuk anak yang pintar di kelas. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak di kelas kami. Selain itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
***

 “Ah, aku gak berani memanjat tembok ini. Rok aku panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, aku bantuin.” Roni meyakinkan.
“Nah, itu ada bangku.” Aku bergegas mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah berhasil terjun dari atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan merasakan sakit, tergambar dari nada suaranya.
“Morin, kamu gak kenapa-kenapa, kan?” Aku dan Roni panik.
“Enggak apa-apa kok aman, deh, hanya sakit sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku dan Roni menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling sudah sepi, tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar, pepohonan yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas yang tidak terisi.
Kami melangkahkan kaki, meninggalkan tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan semak-semak yang cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah di titik terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan di sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang paling ditakutkan anak-anak seantero sekolah.
Yes, Bu Indah ga ada di bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat tenaga, tiba-tiba Morin terjatuh.
“Guntur, Morin, Roni….” ujar sebuah suara, “Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat kami kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh itu. Suara yang selalu membuat hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh mungkin meninggalkannya. Suara yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi ketika suara itu mulai berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu juga. 
“Diam di situ!” Perintah Bu Indah kepada kami.
“Kalian ingat peraturan di sekolah ini? Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan kayu besar, jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam seperti anak ayam yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani menoleh ke belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah jam, membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi sekolah. Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti kelas hingga jam istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk mengikuti ulangan susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah kami mimpi apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang sering jadi musuhUltraman di setiap pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami langsung dihadapkan pada kenyataan yang cukup melelahkan untuk hari ini.
***
Bruuk! Aku terjatuh di lantai depan pintu kelas.
Roni memukulku keras sekali. Aku memegang bibir kiri bawah, kulihat di tanganku mengalir darah segar. Aku tidak tahu kenapa Roni melakukan ini.
“Kenapa kamu mukul aku, Ron? Salahku apa?” Luka bekas pukulan Roni barusan cukup membuat nyeri di gusi dalam.
“Heh, aku enggak pernah nyangka sahabat yang selama ini sudah aku anggap seperti saudara bisa melakukan hal ini,” Nampak sekali dari raut wajahnya, Roni sangat kesal padaku.
“Maksudmu apa, sih, Ron? Sumpah aku enggak ngerti apa yang kamukatakan,” Aku berdiri mencoba menghampiri Roni yang masih dibawa oleh emosi.
Heh, sudahlah Tur enggak usah sok baik di depanku. Kamu itu mateng luarnya tapi busuk dalemnya!” Emosi Roni terus memuncak.
Bruuk! Untuk kedua kalinya aku terjatuh, kali ini lebih keras.
Roni terus memukuli wajahku. Aku masih mencoba bertahan untuk tidak melawan, bukan aku takut, tapi aku tak mau menyakiti dia sedikit pun. Roni sahabat yang selalu ada di sampingku setiap hari saat di sekolah. Bukan sekedar teman tapi Roni sudah seperti kakakku sendiri. Dia yang paling dewasa dalam menentukan tindakan. Tapi, kenapa sikapnya yang sekarang seperti anak kecil?
Bukannya melerai, teman-teman yang melihat kami malah asyik menonton. Mereka bersorak-sorai kesenangan seolah mendapatkan hiburan gratis. “Ayo, ayo, ayo!”. Beberapa mencoba memisahkan kami, namun mereka tak mampu melawan amarah Roni yang sedang meluap-luap. Ada yang terkena pukulannya, sikutannya atau tendangannya.
Wajahku sudah tidak berbentuk, penuh dengan memar-memar biru bekas pukulan. Roni nampaknya marah besar, bahkan mungkin ia tak berniat sedikitpun untuk menghentikan pukulannya. Masih dan terus ia terjunkan pukulan demi pukulan di wajahku. Aku tak menyangka Roni yang cengengesan bisa sesangar ini.
“Permisi, permisi… Ada apaan ini?” Morin datang menerobos masuk ke tengah keramaian penonton.
“Roni!! Apa-apaan, sih, kamu? Kenapa kamu pukul Guntur hingga babak-belur begitu? Hah?” Morin melerai dan menarik Roni berdiri.
“Kalian juga! Guntur dipukulin seperti ini, kalian hanya menonton saja? Dimana pikiran kalian? Kalian, tuh, sudah pada dewasa harusnya tahu apa yang seharusnya kalian lakukan!” Penonton kesiangan alias teman-teman kami yang menonton langsung membubarkan diri.
“Kenapa, sih, Ron? Kenapa? Ini ada apa? Coba jelaskan!” Morin kesal sekali melihat dua sahabatnya berkelahi.
“Tanya aja sama Dia tuh!” Roni menunjuk padaku.
“Kenapa Tur?” Tanya morin.
“Aku ga tau apa-apa bener deh, tahu-tahu roni udah mukul aja.” Jawabku.
“Ah ga usah pura-pura gak tahu deh. Aku sudah dua hari mengikutimu Tur,” telunjuknya mengarah ke mukaku. “Dan asal kamu tahu Rin, dia sudah beberapa kali ini jalan sama Kalista! Kamu tahu kan, Rin, Kalista itu cewek yang aku suka sejak kelas satu. Sahabat macam apa yang tega-teganya menikung sahabat sendiri?”
“Hanya gara-gara itu, kamu memukul Guntur? Iya? Kamu sudah tanya ke Guntur kenapa dia selama beberapa hari ini jalan sama Kalista?  sudah?Hah?”
“Kenapa kamu hanya diem saja Tur dipukulin? Kamu enggak tanya apa masalahnya?” Morin larut dalam ketegangan.
 “Tanya sendiri, deh, sama Roni! aku sudah tanya baik-baik sama dia, tapi dia malah terus memukul.”
“Memang benar beberapa hari ini aku jalan sama Kalista, tapi sumpah, enggak ada sedikit pun dalam benak untuk nikung, atau apapun. Asal kamu tau, Kalista itu minta aku buat mengajarkan dia bikin puisi. Dia bilang susah untuk mengeluarkan kata-kata menjadi indah. Dan perlu kamu tahu puisi itu bakal dia bacakan khusus buat kamu saat acara kelulusan nanti! Sebagai tanda kalau dia menerimamu! Kalau gak percaya, silakan tanya sendiri sama Kalista,” Aku mencoba menjelaskan semua kesalahpahaman yang ada.
“Kenapa, luenggak bilang dari awal, Tur?” Nada bicara Roni lemah lembut sekali beda dengan yang tadi.
“Hehe, lucu kamu, Ron. Mana ada kejutan yang dibilangin? Dimana-mana kejutan ya enggak dikasih tahu ke orang yang bakal diberikan kejutan!” Jawabku sambil menahan rasa sakit.
“Sudah jelas kan semuanya? Kali lain kalau mau bertindak dipikir dulu Ron, jangan langsung main kasar. Sudah sana minta maaf sama Guntur. Aku,tuh, enggak suka lihat sahabatku berantem hanya karena seorang wanita.”
Roni menjulurkan tangannya padaku, aku yang masih terduduk di lantai menyambutnya dan bangun. “Maafin aku ya, Tur. Sumpah aku menyesal sudah melakukan ini,” Roni memelukku erat.
Cinta dan persahabatan dua elemen yang tak bisa terpisahkan namun seringkali ketika mendapatkan salah satu, satu lainnya dilupakan.
***
Enam bulan kemudian.
“Anak-anak, minggu depan adalah pengumuman Ujian Nasional,” Pesan terakhir Bu Diana sebelum meninggalkan kelas tadi. Kebetulan sekolah memang sudah libur tapi hari ini semua disuruh masuk untuk mendapatkan info-info seputar pengumuman UN.
Enggak kerasa, ya, minggu depan sudah pengumuman. Bagaimana cerita kita nanti setelah lulus, ya?” tanya Morin padaku. Sekelebat Morin memutar balik tubuhnya seraya tak ingin kehilangan sedikit pun obrolan aku dan Roni. Posisi duduknya berada tepat di depanku. Dia duduk bersama Nita.
Di kelas banyak sekali teman wanita Morin tapi entah kenapa dia lebih senang bermain bersama aku dan Roni yang laki-laki. Bahkan Nita pernah bilang “Kalian bertiga, tuh, kaya bayi kembar siam, dempet terus.”
“Eh, iya, kita bakal sering kumpul, kan, seperti biasa jika nanti sudah lulus? Kalian enggak bakal lupa, kan, sama persahabatan kita? Aku selalu sedih kalau membayangkan harus berpisah sama kalian… Aaaa…” Mulutnya manyun, cemberut nyebelin khas cewe yang lagi ngambek tapi bercanda.
“Lebay deh, kayak rumah kita jauh aja. Tiap hari kumpul juga bisa kali,” celetuk Roni.
“Ya, kali. Kita, kan, masih disatukan oleh sekolah makanya gampang buat kumpul, kalau sudah kerja atau kuliah apa gampang waktu kita buat kumpul? Kayaknya enggak segampang yang kamu bilang, deh, Ron. Bener, enggak, Tur?” Morin mengernyitkan dahinya.
“Ada benernya yang Morin bilang. Aktivitas baru, teman baru, suasana baru pasti lebih menyenangkan dan membuat kita lupa pada yang lama. Tapi aku percaya, kok, kalian enggak akan seperti itu,” aku ikut bersuara.
“Janji?” Morin tersenyum. Tangannya maju menunjukkan jari kelingkingnya di hadapanku dan juga Roni.
“Janji!” Kami sama-sama berteriak kecil, mempersatukan ketiga jari kelingking menjadi satu di tengah. Senyum bertaburan di masing-masing wajah kami.
“Cieeeeeee… Anak kembar kompakan amat,” teriakan yang cukup keras terdengar di telinga kami, suara itu mengisi penuh ruangan kelas bahkan mungkin terdengar sampai keluar.
Kami tidak sadar, ternyata seisi kelas memperhatikan kami yang sedang bercengkerama bersama.
***
Hari yang kami tunggu-tunggu telah tiba. Perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini, ditentukan oleh ujian selama enam hari. Aku cemas, yang ada di pikiranku hanya satu; Bagaimana jika aku tidak lulus? Roni dan Morin datang, wajah mereka pun sama denganku. Datar dan keceriaannya tak nampak di sana.
Lihatlah kemana kegembiraan yang sering diumbar kelas ini kepada kelas-kelas lain. Kemana perginya? Sepi, hanya ada suara-suara kecil dari pojok, beberapa masih bisa berbincang namun lebih banyak yang diam. Kami disuruh menunggu di kelas oleh para guru, tidak boleh berkeliaran.
“Para siswa diharapkan berkumpul di lapangan,” begitu kira-kira suara dari speaker.
Kami semua berlarian keluar kelas, berebut ingin cepat sampai di lapangan. Semua kelas tiga tumpah jadi satu di lapangan, berbaris rapi sekali. Kepala sekolah sudah berdiri di atas tempat biasa beliau berpidato, guru-guru sudah berbaris rapi di samping kanan kirinya.
Beberapa menit status murid SMA akan kami lepas, jika lulus. Dan akan tetap bergelar murid SMA jikalau kami tidak lulus. Pengumuman ini menjadi penentu perjalanan yang sering kami sebut “sekolah”.
“Kalian LULUS 100%...” Suara lantang kepala sekolah membangunkan wajah-wajah yang tertunduk lesu.
“Horeee…” Riuh sorak para murid bertebaran di lapangan. Langit pagi yang biru terang disertai terik yang cukup panas, tidak bisa mengalahkan kegembiraan kami.
Semua hanyut dalam semarak kelulusan, termasuk Roni dan Morin. Sedangkan aku, entah mengapa malah menyendiri di bawah pohon mangga depan ruang guru. Menatap masa depanku setelah ini akan seperti apa.
Bisa sampai pada titik ini adalah hal yang luar biasa buatku, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan seperti apa yang sudah aku dapatkan sampai saat ini. Rasa syukurku tak pernah terhenti untuk semua yang telah Allah berikan. Untuk kedua orang tuaku, entah dengan apa aku bisa membalas semua doa-doa dan dukungan serta kerja keras mereka membanting tulang untuk memberikan yang terbaik untuk hidup dan pendidikanku.
Tiba-tiba dari samping ada yang menepuk pundakku. “Selamat, ya, Nak. Perjuanganmu belum berakhir, masa depanmu masih panjang. Kejar semua itu dengan karya dan prestasi, jadikan caci maki sebagai amunisi untuk melangkah menjadi yang terbaik.”
Aku menoleh, ingin tahu siapa yang berbicara itu. Dan aku pun terkejut. Beliau adalah Ibu Indah, guru killer itu. Seandainya semua murid melihat ini pasti mereka akan berubah pikiran dan merasa bersalah menganggap Ibu Indah itu menyeramkan.
Senyum Ibu Indah jatuh di kedua bola mataku dan merontokkan sendi-sendi pikiranku. Lihatlah betapa indahnya senyum itu sama seperti nama pemiliknya dan terlihat jelas ketulusan hadir di sana. 
Apa ini mimpi?” gumamku dalam hati. Bahwasannya, selama ini kami telah salah menilai Ibu Indah. Beliau sebenarnya bukan galak tapi tegas.
Teman-teman menghampiriku, kita berpelukan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)