Selasa, 08 April 2014

#BGANia : Menyebalkan

Ketika hari Minggu datang, aku tak ingin pergi ke pesta, apalagi membuat sensasi di social media . Aku hanya ingin istirahat—tidur sepuas yang aku mau. Tapi semua itu hanya jadi mimpi belaka. Jangankan tidur nyenyak, duduk dan bersantai-santai pun tak bisa. Semua dimulai katika bunyi nada telepon membangunkanku.
 “Nadiera… Segeralah ke sekolah.”
“Tapi, Bu… ini kan hari minggu?” tanyaku, menahan jengkel dalam hati.
“Sudahlah.. Ada urusan yang lebih penting dari pada sekadar memikirkan hari minggumu!”
“Apa tidak bisa besok, Bu?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, seusai berbicara ia langsung menutup telepon itu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya, apa liburan tak lebih menarik perhatiannya? Dari pada sekadar pergi ke sekolah di hari libur dan menyuruhku datang pula. Tapi apa boleh buat, jika aku tak memenuhi permintaannya. Aku tak tahu besok masih bisa kerja atau tidak.
Dengan malas-malasan aku bangkit dari kasur yang begitu menggoda, belum lagi guling dan bantal yang terlihat memanggil-manggilku.
***

“Selamat pagi, Bu.”
“Pagi. Apa kamu sudah tahu kenapa saya memanggilmu?”
Aku diam saja, tak tahu harus menjawab apa.
“Lihat ini, mengapa laporan keuangan kita berantakan seperti ini?”
“Coba saya lihat, Bu.”
“Dari mana rumusnya, 1 juta ditambah 800 ribu bisa jadi 1.900.000?! dan tak hanya itu lihat ini!” jelasnya sedikit membentak. “Yasudah, kamu selesaikan hari ini juga, esok pagi orang yayasan akan datang dan meminta laporan keuangan itu.”  
Kupandangi dengan seksama kertas itu, ternyata benar yang bu Iska bilang, semua perhitunganku salah. Mau tak mau hari ini aku harus lembur lagi mana banyak sekali yang salah. Hingga di luar matahari sudah tak terlihat dan berganti bulan. Pekerjaanku baru saja selesai karena saking banyaknya. Sungguh melelahkan. Badanku pegal semua.
Ponselku berdering, kulihat jam menunjukan pukul 18.00, ada SMS masuk di sana. Ternyata dari Nia, ia menyuruhku main ke apartemennya. Aku mengiakan karena kebetulan dekat dengan sekolah. Lagi pula aku malas pulang kalau sudah begini. Aku sering menginap di sana jika sudah terlewat lelah.
Sesampainya di apartemen  aku langsung naik lift menuju lantai 8. Apatemen ini memang belum begitu ramai, yang menetap di blok A pun masih bisa dihitung jari.
Aku mengetuk pintu nomer 8.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” seorang perempuan menyapaku, ramah.
“Ini apatemen Nia, kan?”
“Oh bukan ini apatemen saya.”
“Lho, ini kan nomer delapan, kan?”
“Bukan.” Perempuan itu tersenyum. “Ini nomer sembilan, Mbak. Nomer delapan ada di sebelah.”
“Oh, maaf kalau begitu.” aku membalas senyumnya dan berlalu ke pintu sebelah.
Kuketuk pintu nomer tujuh, dan aku salah lagi. Pemilik apartemen itu bilang itu nomer tujuh. Ia memberitahuku kalau nomer tujuh ada di samping kirinya. Aku bingung. Keduanya tak mengaku kalau itu nomer delapan. Ini aneh, jelas-jelas pintu pertama yang kuketuk tadi itu nomer delapan. Akhirnya kuketuk pintu nomer sembilan, ia bilang aku salah lagi, itu nomer sembilan.
“Tapi benarkan ini lantai delapan?”
“Hehe, salah, Mbak. Ini lantai sembilan.”
Sungguh ini sangat memalukan. Kubalikkan badan menuju ke lift. Di dalam aku menekan tombol nomer delapan. Lift itu tak membawaku ke mana-mana, tetap di lantai yang sama, orang yang kutemui pun dia lagi, dia lagi. Aku masuk ke dalam lift untuk kesekian kalinya, ada laki-laki yang ingin menuju lantai 21. Aku memintanya menekan tombol lantai delapan.
“Ini kan lantai delapan, Mbak?”
“Tapi orang tadi bilang ini lantai sembilan?”
Tanpa mengucapkan apa-apa aku berlalu pergi. Aku tak tahu pintu nomer delapan di lantai delapan itu ada di mana. Lelah mencari dan malu karena salah melulu. Aku putuskan untuk pulang, karena waktu sudah hampir tengah malam. Tapi lagi-lagi gagal. Ternyata lift mati. Terlalu lelah jika harus lewat tangga darurat, kakiku sudah terlanjur pegal. Kududuk di samping lift, melempengkan urat-urat yang tegang. Kututup mata dengan kedua tangan. “Sial! Niat ingin istirahat, malah dibuat lelah mencari.”  
Ini aneh, berkali-kali aku ke sini tak pernah begini. Aku selalu sampai dengan cepat. Tapi, kenapa kali ini tidak? Hari ini seolah angka delapan hilang dariku. Dari nomer delapan di laporan keuangan hingga lantai dan pintu nomer delapan, mereka seolah menjauhiku.
Aku tertidur di situ. Kerena terlalu lelah.
***
“Nadiera…”
Ada seseorang yang memegang tanganku.
“Siapa kamu?!”
“Kamu mencari angka delapan?”
Orang itu mengenakan jubah serba hitam—dari kaki hingga kepala, aku tak berani menatap wajahnya yang tak terlihat itu.
“Nadiera… Angka delapan ada di kepalamu. Mengapa kamu terus mencarinya?”
“Entahlah… Aku lelah…”
“Hahaha. Baiklah aku kembalikan angka delapan padamu.”
Ia memberiku kotak kecil. Kubuka, ternyata isinya lilin angka delapan. Saat aku menoleh orang itu telah tiada.
Hari sudah tengah malam, dan aku masih terjebak di apatemen. Karena terburu-buru sebelum pulang, ponselku tertinggal di sekolah. Dan tak ada satu orang pun di sini. “Hari ini benar-benar sial!”
“Selamat ulang tahun, selamat hari ulang tahun, selamat ulang tahun.”
Dari arah jarum jam 3, kulihat Nia, bu Iska, keluarga serta temanku datang membawa kue dan kado.
“Ahhhhh. Aku benci kalian!”

Aku baru ingat ini adalah hari ulang tahunku. Delapan adalah angka kesukaanku yang kuambil dari bulan lahirku yaitu Agustus. Aku benci kejutan seperti ini, tapi aku bahagia bahwa orang-orang yang aku cintai masih ingat hari ulang tahunku terlebih angka kesukaanku.

***

*Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba #BGANia yang diadakan di sini
**Tanggal postingan jangan dihiraukan hanya untuk merapikan blog saya. Karena kemalasan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)