“Nadiera… Segeralah ke sekolah.”
“Tapi, Bu… ini
kan hari minggu?” tanyaku, menahan jengkel dalam hati.
“Sudahlah.. Ada
urusan yang lebih penting dari pada sekadar memikirkan hari minggumu!”
“Apa tidak
bisa besok, Bu?”
Ia tak
menjawab pertanyaanku, seusai berbicara ia langsung menutup telepon itu. Aku
tak tahu apa yang ada dalam pikirannya, apa liburan tak lebih menarik
perhatiannya? Dari pada sekadar pergi ke sekolah di hari libur dan menyuruhku
datang pula. Tapi apa boleh buat, jika aku tak memenuhi permintaannya. Aku tak
tahu besok masih bisa kerja atau tidak.
Dengan
malas-malasan aku bangkit dari kasur yang begitu menggoda, belum lagi guling
dan bantal yang terlihat memanggil-manggilku.
***
“Selamat pagi,
Bu.”
“Pagi. Apa
kamu sudah tahu kenapa saya memanggilmu?”
Aku diam saja,
tak tahu harus menjawab apa.
“Lihat ini,
mengapa laporan keuangan kita berantakan seperti ini?”
“Coba saya
lihat, Bu.”
“Dari mana
rumusnya, 1 juta ditambah 800 ribu bisa jadi 1.900.000?! dan tak hanya itu
lihat ini!” jelasnya sedikit membentak. “Yasudah, kamu selesaikan hari ini juga,
esok pagi orang yayasan akan datang dan meminta laporan keuangan itu.”
Kupandangi
dengan seksama kertas itu, ternyata benar yang bu Iska bilang, semua
perhitunganku salah. Mau tak mau hari ini aku harus lembur lagi mana banyak
sekali yang salah. Hingga di luar matahari sudah tak terlihat dan berganti
bulan. Pekerjaanku baru saja selesai karena saking banyaknya. Sungguh melelahkan.
Badanku pegal semua.
Ponselku berdering,
kulihat jam menunjukan pukul 18.00, ada SMS masuk di sana. Ternyata dari Nia,
ia menyuruhku main ke apartemennya. Aku mengiakan karena kebetulan dekat dengan
sekolah. Lagi pula aku malas pulang kalau sudah begini. Aku sering menginap di
sana jika sudah terlewat lelah.
Sesampainya di
apartemen aku langsung naik lift menuju
lantai 8. Apatemen ini memang belum begitu ramai, yang menetap di blok A pun
masih bisa dihitung jari.
Aku mengetuk
pintu nomer 8.
“Maaf, ada
yang bisa saya bantu?” seorang perempuan menyapaku, ramah.
“Ini apatemen
Nia, kan?”
“Oh bukan ini
apatemen saya.”
“Lho, ini kan nomer
delapan, kan?”
“Bukan.”
Perempuan itu tersenyum. “Ini nomer sembilan, Mbak. Nomer delapan ada di
sebelah.”
“Oh, maaf
kalau begitu.” aku membalas senyumnya dan berlalu ke pintu sebelah.
Kuketuk pintu
nomer tujuh, dan aku salah lagi. Pemilik apartemen itu bilang itu nomer tujuh. Ia
memberitahuku kalau nomer tujuh ada di samping kirinya. Aku bingung. Keduanya tak
mengaku kalau itu nomer delapan. Ini aneh, jelas-jelas pintu pertama yang
kuketuk tadi itu nomer delapan. Akhirnya kuketuk pintu nomer sembilan, ia
bilang aku salah lagi, itu nomer sembilan.
“Tapi benarkan
ini lantai delapan?”
“Hehe, salah,
Mbak. Ini lantai sembilan.”
Sungguh ini
sangat memalukan. Kubalikkan badan menuju ke lift. Di dalam aku menekan tombol
nomer delapan. Lift itu tak membawaku ke mana-mana, tetap di lantai yang sama,
orang yang kutemui pun dia lagi, dia lagi. Aku masuk ke dalam lift untuk
kesekian kalinya, ada laki-laki yang ingin menuju lantai 21. Aku memintanya
menekan tombol lantai delapan.
“Ini kan
lantai delapan, Mbak?”
“Tapi orang
tadi bilang ini lantai sembilan?”
Tanpa
mengucapkan apa-apa aku berlalu pergi. Aku tak tahu pintu nomer delapan di lantai
delapan itu ada di mana. Lelah mencari dan malu karena salah melulu. Aku
putuskan untuk pulang, karena waktu sudah hampir tengah malam. Tapi lagi-lagi
gagal. Ternyata lift mati. Terlalu lelah jika harus lewat tangga darurat, kakiku
sudah terlanjur pegal. Kududuk di samping lift, melempengkan urat-urat yang
tegang. Kututup mata dengan kedua tangan. “Sial! Niat ingin istirahat, malah dibuat
lelah mencari.”
Ini aneh,
berkali-kali aku ke sini tak pernah begini. Aku selalu sampai dengan cepat. Tapi,
kenapa kali ini tidak? Hari ini seolah angka delapan hilang dariku. Dari nomer
delapan di laporan keuangan hingga lantai dan pintu nomer delapan, mereka seolah
menjauhiku.
Aku tertidur
di situ. Kerena terlalu lelah.
***
“Nadiera…”
Ada seseorang
yang memegang tanganku.
“Siapa kamu?!”
“Kamu mencari
angka delapan?”
Orang itu
mengenakan jubah serba hitam—dari kaki hingga kepala, aku tak berani menatap
wajahnya yang tak terlihat itu.
“Nadiera… Angka
delapan ada di kepalamu. Mengapa kamu terus mencarinya?”
“Entahlah… Aku
lelah…”
“Hahaha.
Baiklah aku kembalikan angka delapan padamu.”
Ia memberiku
kotak kecil. Kubuka, ternyata isinya lilin angka delapan. Saat aku menoleh
orang itu telah tiada.
Hari sudah
tengah malam, dan aku masih terjebak di apatemen. Karena terburu-buru sebelum
pulang, ponselku tertinggal di sekolah. Dan tak ada satu orang pun di sini. “Hari
ini benar-benar sial!”
“Selamat ulang
tahun, selamat hari ulang tahun, selamat ulang tahun.”
Dari arah
jarum jam 3, kulihat Nia, bu Iska, keluarga serta temanku datang membawa kue
dan kado.
“Ahhhhh. Aku
benci kalian!”
Aku baru ingat
ini adalah hari ulang tahunku. Delapan adalah angka kesukaanku yang kuambil
dari bulan lahirku yaitu Agustus. Aku benci kejutan seperti ini, tapi aku
bahagia bahwa orang-orang yang aku cintai masih ingat hari ulang tahunku
terlebih angka kesukaanku.
***
*Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba #BGANia yang diadakan di sini
**Tanggal postingan jangan dihiraukan hanya untuk merapikan blog saya. Karena kemalasan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)