Minggu, 01 Desember 2013

Pertemuan

Meta melangkahkan kakinya ke dalam rumah kontrakan. Ia melirik jam tangannya, di sana terlihat jam menunjukan pukul 21.00 WIB. Jika saja saat jam pulang kantor tadi ia tidak ditahan bosnya, jam segitu ia pasti sudah terlelap dalam tidurnya. Bos menyuruh ia untuk ikut meeting dengan klien di luar. Mau tidak mau ia harus menurutinya—padahal sejak jam empat sore ia sudah ambil ancang-ancang untuk kabur dari kantor, ternyata bos sudah mengetahui apa yang ia rencanakan, sehingga batallah sudah semua.
Dengan lesu ia membuka pintu kontrakan. Di kontrakan itu Meta tinggal bersama dua sahabatnya, yaitu Ray—meski nama namanya terkesan cowok  macho, percayalah kalau dia cewek tulen—dan Dhila. Ray senang bertualang menjelajahi keindahan alam, sedangkan Dhila senang pulang—karena sering nyasar, ia lebih tertarik tinggal di rumah ketimbang jalan-jalan.
“Lesu amat kak. Abis kencan ya, sama bos? Ha ha ha.” Dhila yang sedang asyik membaca buku menegur Meta yang ingin langsung masuk ke kamar.
“Iye Jo—Pijo adalah panggilan yang diberikan Meta buat Dhila, yang artinya Pisang Ijo, karena dulu dia sering pamer pisang ijo—ngeselin banget dah tuh orang. Yang lain kan banyak, kenapa aku terus yang di suruh!!! Hiks hiks.”
“Yang sabar kak. Nunggu jodoh aja kamu bisa sabar, masa cuma suruh nungguin bos gitu aja udah ngeluh, ha ha ha.”
“Iihh Pijo!!!” Meta cemberut. “Udah ah aku mau tidur. Huh. Babay kalong, inget kesehatan jangan begadang terus!!!”
Tak lama setelah pintu kamar Meta tertutup, pintu depan terbuka lagi. Ray baru pulang dari nge-gym. “Eh Emak—Dhila biasa memanggil Ray dengan sebutan emak, alias emak-emak rempong—baru pulang.”
“Eh, ada makanan kagak? Laper nih gue.”
“Ada noh.”
“Mana?”
“Di perempatan ada tukang sate, ketoprak, mie ayam, bakso, nasi padang. Tinggal pilih dah kau mau yang mana?”
“Yeeee itu si gue juga tahu! Maksudnya lo masak kagak?”
“Ya kagak lah, emang situ anak saya. Ha ha”
Ray tidak melanjutkan percakapannya dengan Dhila, ia langsung masuk ke kamarnya. Malam yang sepi telah membawa Meta dan Ray terlelap dalam tidur yang nyenyak. Sedangkan Dhila, ia masih terjaga. Ia sudah berhenti membaca buku, sekarang ia sedang asyik mengobrol dengan lelaki di ujung telepon sana. Kadang ia cemberut, senyum-senyum sendiri, sesekali tertawa. Seseorang ujung telepon sana telah membuat dunianya berbeda. Ya, Dhila jadi lebih ceria menjalani harinya.
***
Malam yang panjang menjadi begitu singkat bagi mereka yang menikmatinya. Tanpa terasa waktu menjadi begitu cepat berlalu, tahu-tahu sudah pagi. Sejak subuh mereka sudah bangun—cuma Dhila yang belum tidur dari semalam. Setelah bergantian mandi, mereka sarapan bersama.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Mereka menengok ke arah pintu.
“Oh, Joko. Masuk sini, sarapan bareng.” Sapa Meta basa-basi.
“Ojek mah di luar aja, mas. Nggak usah masuk-masuk.” Dhila nyeletuk.
“Makasih Kak Meta.” Jawab Joko. “Hahaha … mana ada tukang ojek setampan gue, Dhil!”
“Dih Pede… kalian kok jadian diem-diem aja si?” sahut Dhila.
“Ya kali kudu laporan sama kamu, Jo. Hahaha.” Meta tertawa lepas.
Mereka hanyut dalam obrolan yang mengundang tawa. Joko terus menerus mengaitkan tiap obrolan mereka menjadi bahasan hati. Apapun bahasannya, tetap ‘hati’ yang jadi topik utama. Setelah usai sarapan dan mengobrol sebentar, Meta pamit pergi ke kantor, lalu di susul Ray yang diantar Joko dengan motornya. Sedangkan Dhila mungkin akan tidur sampai siang nanti.
Hujan rintik-rintik turun membasahi jalanan, seolah ingin ikut mengisi keramaian Ibu Kota. Jalanan masih tetap ramai, semua terburu-buru ingin cepat sampai tujuan. Meta berlari ke halaman kantor, ia berdiri sebentar di depan teras kantor, lalu mengambil ponselnya dan membuka twitter, sambil menatap hujan yang romantis, ia mengabadikannya lewat kata-kata.
Tweet From Meta Uri
Allahumma shayyiban nafi'an *cium hujan, cium kamu*
Setelah puas menatap hujan, ia masuk ke dalam kantor dan langsung menuju meja kerjanya. Satu persatu karyawan yang sudah datang ia sapa. Seolah-olah membagikan semangat pada mereka yang lesu di Hari Selasa—karena weekend masih lama. Meta duduk di kursinya, tiba-tiba ponselnya berbunyi, ada pemberitahuan dari twitter.
Tweet From Puthut Akur
@MetaUri Kok gw miris ya bacanya :| 

Tweet From Meta Uri
@PuthutAkur Sabar ya tut!

Tweet From Puthut Akur
@MetaUri lah, mirisnya kan buat elu met -___-

Tweet From Meta Uri
@PuthutAkur Subhanallah! Jadi lo mikirin gw? Perhatian sekali. gw terharu *elap air mata*
Mereka berdua sering sekali berantem, Meta kadang kesal dengan kejahilan Puthut. Kadang pula ia senyum-senyum sendiri, seolah dapatkan hiburan gratis tanpa perlu menonton pertunjukan lawak. Kerjaan yang menumpuk dan ocehan bos yang membuat kesal, seolah memudar, ketika bisa tertawa lepas. Mereka berdua makin akrab dengan cara yang berbeda.
Tweet From Dhila May
Mak @RayFasor liat deh mereka mesra sekali ya. #uhuk RT @MetaUri: @PuthutAkur Subhanallah! Jadi lo mikirin gw? Perhatian sekali. gw terharu *elap air mata*

Tweet From Ray Fasor
@DhilaMay @MetaUri @PuthutAkur ya elah, Dhil. Masih kaku aja kaya kanebo. Biarkan saja sih! Kita tinggal tunggu undangan. Hahaha.

Tweet From Meta Uri
@RayFasor @DhilaMay @PuthutAjah WOY! KALIAN NGOMONGIN APA SI! GA SOPAN!!! IISSSHHH (ˇ▼ˇ)__c<ˇ_ˇ")
Puthut adalah teman mereka yang tinggal di tegal, mereka dipertemukan lewat sebuah grup para pecinta buku . Ray, Meta dan Dhila pun, awalnya teman satu grup. Namun waktu menyatukan mereka tidak hanya di grup tapi di satu rumah tinggal. Tak ketinggalan Joko, dan Mas Eko yang sering di telepon Dhila, juga penghuni grup itu.
Sama halnya seperti di kontrakan, di twitter maupun di grup mereka selalu ramai. Berbagi banyak hal—tentang buku, jalan-jalan sampai ke jodoh jadi bahasan mereka. Tanpa disadari, karena kedekatan itu bunga-bunga cinta berkembang pada beberapa hati yang kosong. Namun, karena lama tak disiram akhirnya bunga itu layu begitu saja. Kebersamaan sering kali menimbulkan berbagai macam rasa—bahagia, kecewa, terluka atau rasa suka.
***
Ray turun dari motor, ia dan Joko sudah sampai di depan kantor Ray. Ia melepaskan helm di kepalanya, dan memberikannya ke Joko. Ray tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Joko. Selama tiga bulan ini mereka sering jalan berdua. Kemanapun Ray pergi, Joko siap mengantar. Kemanapun Ray melangkah, Joko bersedia mendampingi. Ke kantor, tempat gym, ke gunung dan banyak tempat telah mereka jelajahi bersama. Hanya tidur dan mandi, yang tidak Joko ikuti. Ya, Joko mendampingi dalam batas kewajaran.
“Ray gue mau ngomong sesuatu sama lo—“
Ray menatap wajah Joko, “Ya?”
“Gue sayang sama lo, Ray...”
Belum sempat melanjutkan, Ray langsung menjawab “Sama dong—”  Ray tersenyum.
Joko terlihat bahagia mendengar kata-kata itu. Sudah lama ia menantikan saat-saat seperti ini. Saat di mana ia bisa mengungkapkan isi hatinya yang terdalam.
“Itu doang? Udah yah, gue mau masuk.”
“Bentar ... bentar...”
“Apa lagi?”
“Hmmm …” Joko berdehem. “Mau nggak lo jadi pacar gue?”
Ray tersenyum pada Joko, lalu ia melihat jam tangannya. Bingung harus berkata apa, ia diam sejenak. Joko terlihat berharap banyak padanya. Ia tahu, hari-harinya selama tiga bulan ini banyak di isi oleh joko, tapi buat pacaran belum waktunya. Banyak hal yang belum ia capai, banyak hal yang belum ia lakukan.
“Gimana?”
“Gue juga sayang sama lo, gue juga cinta sama lo. Tapi itu sebatas kakak dan adik saja, Jok. Nggak lebih,”
Hati Joko saat itu seperti dihantam batu keras. Sakit dan kaget.
Ray melanjutkan, “buat gue lo itu udah kaya adik gue sendiri. Maaf ya, Jok, bukan gue nggak mau, tapi gue nggak bisa. Gue percaya, masih banyak kok cewek yang lebih baik dari pada gue. Semoga lo bisa ngerti.”  Tegas Ray. “Gue masuk ya.”
***
Menunggu adalah hal yang membosankan. Bukan hanya soal menunggu datangnya cinta, menunggu kepastian juga membosankan. Kita seolah-olah dibawa menelusuri kenangan, lalu kembali ke masa kini untuk dapatkan sebuah harapan indah yang tak kunjung datang juga. Sebulan yang lalu Dhila sudah interview di sebuah penerbit besar yang ada di Jakarta, mereka bilang akan menghubunginya untuk mengurusi keperluan yang lain lain. Tapi sampai detik ini, ia tak kunjung dapatkan kabar.
Tak banyak hal yang Dhila lakukan jika di kontrakan. Kalau tidak membaca buku, ia mengedit naskah. Jika tidak menulis, dan pikirannya sedang benar, kadang ia memasak buat mereka bertiga. Tapi akhir-akhir ini ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berbagi kata, gagasan, serta cerita pada Mas Eko yang kini tinggal di seberang pulau sana—kalimantan. Berinteraksi dengan Mas Eko bisa membuatnya merasa nyaman. Mas Eko jadi teman yang ramah, serta kakak yang baik—mungkinkah juga jadi pasangan yang baik?
“Om—Dhila biasa memanggil Mas Eko dengan sebutan Om Miko, lagi sibukkah?” Dhila mengirimkan pesan Whatsapp. Setelah saling berbalas pesan mereka memutuskan untuk bertukar suara, mengobrol ngalor-ngidul tentang ini dan itu. “Kapan ya kita bisa berjumpa?” kata Dhila.
“Hmmm. Kenapa? Pada suatu hari nanti. Insya Allah.”
“Gapapa, memang nggak kepengin ketemu aku?” tanya Dhila, “Sekalian aku mau rampok koleksi bukumu yang banyak dan bagus-bagus itu. Ha ha ha.”
“Ada saatnya kita harus bersabar, karena waktu tak selalu berikan kepastian. Tidak selalu menunggu itu membosankan, ada saatnya menunggu akan menyenangkan. Jika kita melaluinya dengan sabar, semua akan indah pada waktunya.”
“Tapi aku benci menunggu!!!”
“Apa yang kau benci secara berlebihan akan menjadi apa yang kau cintai secara berlebihan pula. Aku percaya kita pasti akan berjumpa, bersilaturahmi tidak hanya lewat barisan kata dan ucapan belaka, tapi bertatap muka dan berjabat tangan.” Di ujung telepon Mas Eko tersenyum.
Dhila tersenyum. Ada sebutir harapan di depan matanya.
***
“Eh Met tingal di Jakarta enak nggak si?”
            “Eh tumben amat ini bocah Whatsapp gw.” Gumam Meta ketika melihat sebuah pesan masuk di ponselnya. “Ya, enak, nggak enak. Tergantung cara kita menikmatinya—“
“Pengin sih sekali-kali ke Jakarta, tapi mendengar cerita dari teman-teman soal Jakarta, jadi agak takut.” Balas Puthut.
“Jadi cowok kok penakut! Bahahaha.”
“Yeee bukan gitu. Apa ya …” Puthut kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Ternyata untuk sulit baginya untuk berbicara serius pada Meta, biasanya mereka lebih sering becanda atau berantem.
“Bukan apa? Penakut mah penakut aja weeeek…” Obrolan terhenti sampai di situ, Puthut melamun mencoba merangkai kata yang pas untuk ia katakan pada Meta. Sedangkan Meta melanjutkan bekerja.
Malam itu review buku berjalan lancar sampai waktu menunjukan pukul 20.30 wib. Puthut sudah menimbang kata-kata yang ia ingin ucapkan pada Meta. 
"Eh Met, gw mau ngomong sesuatu nih.”
“Ya tinggal ngomong aja.”
“Met, udah punya pacar belum?”
“Eh ada apa nih nanya-nanya begitu?”
“Ya gapapa.” Jawab Puthut singkat. “Gw suka sama lo Met, mau gak jadi pacar gue?” saat ingin menuliskan itu, Puthut sudah menghapus berkali-kali pesan yang ingin ia kirim, dihapus, ditulis lagi sampai akhirnya kata itulah yang keluar.
Meta yang membaca pesan itu langsung kaget, “eh gila dia nembak gw.” Dia coba menenangkan diri dan perlahan mengetik di ponselnya. Satu demi satu huruf terangkai, ia ingin memberi jawaban sekaligus penjelasan. “Kita temenan aja ya,” padahal yang ia di tulis sudah panjang. Tapi akhirnya yang ia kirim hanya itu saja.
“Alasannya?”
“Gpp.”
“Ah harus ada penjelasan dong, lo nolak gw kenapa, Met?”
“Hehe, gw gak mau pacaran Tut! Kalau serius datengin mama dan lamar. Lalu biarkan waktu yang berbicara.”
Dan tak lagi ada balasan…
***
Satu bulan berlalu …
Semua bejalan seperti apa adanya, mengalir dengan sendirinya. Ray kini mulai sibuk naik gunung dan jalan-jalan, sedangkan Joko sudah punya pacar. Joko sudah tak lagi pernah mengantar jemput Ray. Semua kembali seperti semula. Ray tak pernah mengambil pusing, ia tetap menikmati hidup dengan kesendirian di dunianya.
Tak ada yang berubah dari Dhila dan Mas Eko, mereka masih sering berbagi kata lewat pesan whatsapp atau SMS, dan bertukar suara lewat telepon—makin sering. Entah sudah berapa juta kata yang mereka tukar, dan sudah berapa artikel yang memuat kebersamaan mereka. Lagu-lagu yang menentramkan hati dan menghibur sepi, sering Mas Eko nyanyikan buat Dhila di telepon. Yang jelas kedekatan mereka bagai udara dan debu. Tak terlihat, namun satu.
Sedangkan Meta dan Puthut masih sering berantem di twitter maupun di grup, ungkapan rasa suka yang telah diucapkan Puthut seolah hilang begitu saja. Mereka tetap berteman, dan yang pasti Puthut telah merencanakan sesuatu untuk masa depannya. Di kepalanya sudah tergambar jelas gambaran tentang sosok wanita pendamping hidupnya. Sedangkan Meta tetap menikmati hidup dengan segala macam peristiwa yang membuatnya semakin dewasa, baik dalam berfikir maupun dalam bertindak.
***

*Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tokoh, tempat dan kejadian itu hanya rekayasa belaka. Jangan diambil hati mending ambil daging kita makan bersama.
**Tulisan ini diikutsertakan dalam Lelang Buku Bayar Karya di Grup Love Books A Lot ID

4 komentar:

  1. Gutlak jey.
    Betewe, apaan tuh lelang buku bayar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lelang buku bayar karya, bunei. jadi ada buku yang dilelang lalu dibayarnya lewat karya. yang terpilih akan mendapatkan buku tersebut. :D

      Hapus
  2. Hahahaa... Kenapa Meta gak sama Dije aja sih? =p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan persyaratannya, pengarang ga boleh masuk ke dalam cerita kak yut :p

      Hapus

Tinggalkan jejakmu di sini. :)