Minggu, 05 Januari 2014

Punggung

“Ibu, kenapa ayah selalu pulang saat aku sudah tidur dan pergi saat aku masih tidur?” 

Setiap kali aku tanya begitu, ibu hanya tersenyum dan berlalu pergi meninggalkanku. Aku tak pernah dapatkan jawaban darinya. Aku sering mendesaknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tapi selalu saja sama. Selain tersenyum, paling ia menambahkannya dengan menggelengkan kepala, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. 

Sejak kecil, aku tak pernah ingat wajah ayah, apakah ia tampan? Jelek atau biasa saja? Kumisan? Berjengkot lebat? Atau berewokan? Aku tak tahu. Bahkan selembar fotonya pun tak ada di rumah kami. Yang aku ingat—meski samar-samar—hanya sebatas punggungnya saja, saat ia begitu sering menggendongku erat, setelah cukup lama biasanya ia mengembalikaku pada ibu. Selebihnya aku tak tahu. 


Seminggu yang lalu—tepatnya hari senin. Aku memutuskan untuk tidak tidur. Meski kantuk sudah mengunjungiku, aku tak peduli dan terus mengusirnya. Ibu terus memaksaku untuk tidur. Tapi semua rayunya aku tolak. “Pokoknya malam ini aku harus melihat ayah, Bu.” 

“Ba… ba… ba…” ibu menunjuk-nunjuk tempat kosong di sampingku. Ia duduk di sana, ingin menemaniku katanya. Sejak melahirkanku, ibu kehilangan suaranya. Ia sekarang bisu, dan akulah penyebabnya. 

Usapan tangannya di kepalaku perlahan menghilang dan berhenti. Ibu akhirnya tertidur juga, sedangkan aku masih melotot menatap jam yang terus berputar. Jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Tapi ayah tak kunjung datang juga. Aku terus menguap, rasa kantuk sudah benar-benar menyerangku. 

“Ba… Ba… Ba…” suara yang kukenal itu terdengar di telingaku. 

Tangannya mengusap-usap rambutku dan sesekali mencolek-colek tanganku. Aku langsung bergegas bangun, mataku langsung tertuju pada jam yang menempel di tembok. “Hah, Jam lima! Ibu apakah ayah datang?” 

“Ba… Ba… Ba…” ibu menujuk tangannya menuju pintu. 

Aku bangun dan segera berlari menuju pintu depan. Aku mendapati seorang lelaki yang berlari lebih kencang dariku, ia mebuka pintu dan menutupnya kembali. Aku terus berusaha mengejarnya, membuka pintu itu. Tapi sayang tak aku dapati lagi sosok itu. Entah ke mana perginya. Aku hanya melihat punggungnya saja, sama persis dengan ingatanku. 

“Ba… Ba… Ba…” seperti biasa ibu hanya tersenyum dan langsung menyuruhku mandi. 

“Aku benci sama ibu, kenapa ibu tak penah memberikan aku kesempatan bertemu ayah?” 

Tak ada jawaban. Aku memusuhi ibu sejak itu, tak mau berbicara padanya. Sampai di suatu malam aku mendengar suara pintu luar terbuka, ada suara laki-laki memanggil-manggil. “Bu, Ibu” aku langsung berlari dari kami menuju pintu depan. Di sana aku dapati ibu sedang berdiri dengan kondisi pintu sedikit terbuka. Aku langsung membuka lebar-lebar dan mengejar lelaki itu, meninggalkan ibu yang masih di pintu. 

“Ayaaaaaaaaaaaah.” 

Lelaki itu menoleh ke arahku, menatapku tajam. Aku langsung memeluknya erat. Erat sekali, meski aku hanya mampu memeluk pinggangnya saja. Aku senang sekali bisa bertemu ayah. 

“Ayah ke mana saja?” tanyaku, “mengapa tak pernah menemuiku, Ayah?” 

“Duh dek untung nggak tumpah.” Kata lelaki itu. 

Aku menatapnya penuh rasa harap. “Ayah…" 

“Abang mah tukang bakso, bukan ayahmu. Kamu mau bakso? Ya sudah abang buatkan ya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)