Kamis, 13 Maret 2014

Tak Boleh Menonton TV

Mama selalu berkata, kalau aku tak boleh merebut hak orang. Mamaku sangat juara untuk urusan ceramah padaku. Banyak hal yang mama ajarkan padaku, termasuk tentang kejujuran. Mama guru yang sangat cerdas yang pernah aku punya.

Namun, semenjak ayah wafat. Mama terlalu senang dengan pekerjaannya. Sudah beberapa bulan aku jarang bersamanya, mama selalu berangkat sebelum aku bangun dan pulang saat aku sudah terlelap. Mama tak pernah pula mendongeng untukku, bertanya tentang keadaanku, memelukku pun sudah tak pernah. Padahal dulu mama sangat sayang padaku. Aku kangen sama mama yang dulu.

Saat aku beranjak bangun, mama baru keluar kamar.  Mama menuju ke arahku, tanpa omongan apapun, mama  langsung marah-marah, membentak-bentakku yang sedang menonton TV. “Andro mengapa kau menonton TV? Mama tak suka kamu menonton TV. Tak ada acara yang mengajarkan hal-hal bagus!”

“Ma…” jawabku.


“Sudah jangan membantah.  Semua untuk masa depanmu!”

Mama berubah, padahal dulu tak pernah melarangku menonton TV, aku senang menonton mama dan papa, mereka dulu selalu nampak mesra. Namun sekarang mama sudah berbeda, aku tak tahu apa yang membuatnya berubah. Yang aku tahu, sekarang opa yang selalu bersamaku, yang selalu nampak sehat walau umurnya sudah tak muda, dan uban pun sudah penuh.

Opa mendekat dan mendekap erat tubuhku. “Kamu nggak boleh cengeng!”

Napasku sesak, tersengut-sengut. Buatku, butuh waktu untuk tenang dan melupakan bentakan mama. Opa terus mencoba menenangkanku. Mengelus-elus kepalaku dan mengecup rambutku.

“Mau Es nggak?” tanya Opa.

Aku tak menjawab.

“Opa punya uang,  bakal dapat Es banyak kalau kamu mau.” Bujuk Opa.

“Mau Opa, Mau.” Aku langsung tersenyum.

Opa mengeluarkan dompet. Opa sangat tahu kesukaanku. Es bonbon yang letaknya dekat pos komplek memang makanan kesukaanku. Tanpa  banyak omongan aku langsung melangkah ke sana.

Komplek tampak lengang, hanya ada tukang sayur yang sedang berjualan dan perempuan-perempuan yang sedang berbelanja. Saat aku berjalan lewat dekat mereka, samar-samar terdengar mereka menyebut, “Dasar anak koruptor!”

Aku tak mendengarkan lanjutannya, dan terus berjalan menuju warung. “Bu, Es-nya sepuluh.” Kataku.

“Kamu anak koruptor, kan?” tanyanya. “Mamamu perampok uang rakyat. Hah, menjauh sana. Uangmu haram!”

Aku begong sesaat dan langsung menjauh. Aku tak paham apa maksudnya. Mengapa tak boleh? Aku berjalan ke rumah. Namun, saat aku mau pulang ada tujuh orang abang-abang. “Wah ada anak koruptor.” Kata salah seorang.

“Benar juga,” Salah seorang juga menjawab.

“Macam mana kalau angkat dan arak bersama ke seluruh penjuru komplek, lalu lempar ke sumur belakang?”

“SETUJU!!!” semua berseru kompak.

Aku langsung kabur, seluruh kekuatan aku kerahkan. Sungguh aku tak mau angan-angan mereka terwujud hanya karena aku anak koruptor. 


Sejak tuduhan bahwa aku anak koruptor, aku tak pernah mau keluar rumah, TV lenyap entah ke mana, dan mama tak pernah pulang.

***


*Tulisan ini diikut sertakan dalam 'Lelang Buku Bayar Karya' Love Books A Lot ID dengan teknik lipogram tanpa huruf vocal "i" dari judul sampai ending.
**Jangan hiraukan tanggal penerbitan, saya menerbitkannya di tanggal 10 Juni 2014, namun di tanggal ini tertera 13 Maret 2014 itu semata-mata hanya untuk merapikan postingan saja. Hehe. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)