Judul Buku: Mata Ketiga Cinta
Penulis: Helvy Tiana Rosa
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Cetakan: 2, April 2012
Ketika mendengarkan puisi yang dibacakan seseorang. kita bisa mentafsirkan isinya sesuka hati. Penulis bisa membicarakan tentang A, sedangkan pembaca bisa saja menangkapnya Z, sah-sah saja. Semua berhak memberi gambaran dari apa yang ditangkap. Sama halnya soal cinta, tiap orang pasti mengalami yang berbeda-beda, meski kadang ada yang sama.
Membaca puisi-puisi Helvy Tiana Rosa di buku ini membuat saya membayangkan sedang menjadi diri saya sendiri dan sedang berperan dalam puisi, mencoba mendengarkan apa yang wanita bicarakan dalam puisi. Merasakan betapa perihnya hati seorang ibu ketika membaca Puisi Untuk Seorang Ibu Yang Mendobrak Pulazi.
Saya terbawa dalam buaian kata indah yang tak berlebihan. Beberapa puisi terasa sendu dan mendekat pada sang pencipta. Beberapa lainnya berbicara lantang tentang kejadian yang membuat air mata turun begitu saja, kekejaman sang penguasa menghancurkan sebuah kota, menghabisi nyawa begitu mudahnya. Seperti yang digambarkan di puisi Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi?
Helvy menghadirkan cinta dalam sudut pandang yang berbeda-beda, tak hanya tampil dan berbicara sebagai perempuan, ia kadang tampil dan berbicara dari sudut pandang sebagai laki-laki yang menggambarkan cinta pada seorang wanita. Sajak-sajaknya beragam, dari yang sangat pendek seperti 1987:
Cinta adalah
Seberapa pandai kau menghapus
air mata.
Hingga yang panjang seperti Sajak Febuari dan Kepada Tuan Teroris. Ada satu yang membuat saya teringat pada ibu saya, sajaknya tak berbicara tentang ibu, namun tentang perempuan. Sajak berbahasa Aceh membuat saya tak ingin membacanya tapi saya langsung bergegas menghampiri ibu dan memberitahu. Ia bilang artinya ini dan itu. saya tidak tahu ternyata di baliknya ada terjemahannnya. Tapi saya senang melakukannya. Saya jadi ingat kalau punya mimpi untuk mengunjungi Aceh sekeluarga menengok uak dan keluarga yang masih ada di sana. Ini di luar konteks buku tapi saya ingin menuliskannya sebagai pengingat bahwa saya punya mimpi tersebut.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menyentil hati nurani saya, puisi-puisi dalam buku ini menggugah dan tak terkesan menggurui, meski pesan moral hadir di beberapa puisi. Untuk keromantisan saya tak begitu mendapatkan. Seperti yang saya bilang di awal, setiap orang akan berbeda-beda dalam hal melihat atau merasakan dikala membaca atau mendengarkan sebuah puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)