Di sebuah kandang, seekor ayam sedang berbahagia.
Telur-telur yang ia kerami selama berminggu-minggu kini sudah berubah menjadi
anak-anak ayam seutuhnya. Dari sepuluh butir telur hanya delapan telur yang
berhasil hadir ke dunia, menghirup udara segar pagi hari. Sedangkan dua saudara
mereka, pergi meninggalkan mereka sebelum berhasil melihat dunia.
Satu dari delapan anak
ayam yang menetas itu terlahir tidak sempurna, anak ayam itu terlahir dengan kaki
kanan yang kecil, sehingga ia tidak mampu menopang kuat tubuhnya. Jika
berlama-lama berdiri ia akan tumbang, dan jatuh—tapi ia mampu berjalan walau
tertatih-tatih dengan menyeret kaki kanannya.
Hari demi hari mereka
lalui bersama, mereka tumbuh dengan kasih sayang yang sempurna. Ibu ayam tak
pernah membeda-bedakan mereka. Satu makan semua harus ikut makan. Ketika satu
tertinggal semua ia akan menungguin sampai semua berkumpul.
“Mama, kenapa aku
terlahir berbeda dari saudara-saudaraku?” Anak ayam itu bertanya.
“Sayangku, kata siapa
kamu berbeda?” Ibunya tersenyum.
“Kakiku tidak sama
dengan mereka, Ma?”
“Jangan pernah takut
jadi berbeda, Nak. Yuk kita balik ke kandang, senja sudah datang.”
Ketika pagi datang,
gadis kecil itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya dari kamar. Selagi ibunya
tertidur pulas ia memberanikan diri keluar. Ia takut ketahuan ibunya kalau ia
ke luar dari rumah. Ayahnya dari semalam belum pulang.
Ia langsung menghampiri
kandang ayam, “ayam, kamu belum makan ya? Pasti kamu lapar. Maafin aku ya,
sudah dua minggu aku tidak boleh keluar sama ibu. Ini saja aku diam-diam
membuka pintu dan menemui kamu, aku ingin tahu kabarmu, cuma kamu dan boneka
panda ini temanku. Aku kesepian.” Gadis itu duduk di dekat kandang ayam.
“Kamu apa kabar? Badanmu
makin kurus, ya.”
“Piiiek… pieeek…
pieeek…” anak-anak ayam muncul dari belakang tubuhnya.
“Siapa mereka?
Telur-telur yang dulu sering kamu duduki? Wah mereka sudah berubah sekarang. Temanku
makin banyak dong. Asyikkkk .”
Gadis kecil itu
bersorak-sorai kegirangan. Seperti menemukan jarum di tumpukan jerami, ia
merasa senang punya dunia baru. Hidup tanpa mengenal dunia luar dan kasih
sayang, membuatnya tidak tahu bagaimana caranya bergembira, tidak mengerti
bagaimana merasakan kebersamaan, dan juga tidak mengerti bagaimana melepas rasa
senang. Yang ia tahu, kesedihan adalah teman akrabnya.
Setiap hari ia dikurung
sepi, diikat kegelapan, dengan air mata yang mengalir deras. Tubuhnya kurus tak
terurus, dia hanya dapat jatah makan sehari sekali dari ibunya. Jika ada ayahnya,
baru ia dapat makan lebih—bisa dua atau tiga kali. Tapi, jika tidak ada ayahnya,
ia tidak makan satu kali pun dalam sehari.
Rambutnya ikal
bergelombang, matanya bulat bersinar, bibirnya tipis, hidung mancung. Ya, itu
dia, bidadari kecil yang merindukan senyuman banyak orang.
“Kamu lucu sekali,
siapa namamu? Boleh aku berkenalan denganmu?”
“Piyeeek piyeeek…”
“Kakimu kenapa? Ibu ayam
mengapa kakinya seperti itu? Sama denganku ya, tidak dapat berjalan dengan
benar.”
“Piyek Piyek…”
“Kita ternyata punya
kesamaan ya.” Gadis kecil itu memegang ayam yang pincang dan mengelus-elusnya.
Dari arah kanan, ibu
ayam memegarkan sayapnya, lalu dikepak-kepakan, dengan cepat menghampiri gadis
kecil itu. Tak perlu waktu lama, Ibu ayam sampai di hadapahnya. Ibu ayam
langsung mematuk tangan gadis kecil itu, ia tersentak kaget, dan jatuh ke
tanah. Ia menangis sambil menahan rasa sakit sesaat.
“Ibuuuuuuuuuu sakit…”
“Mengapa engkau
mematukku, Ibu ayam? Sakit tahuuuuuu…”
Tidak lama kemudian ia
terdiam, ibu ayam berdiri tegak di depannya, sedangkan anak-anak ayam itu
mengikuti di belakangnya.
“Sekarang aku tahu
mengapa kamu mematukku… tenang aku tidak akan menyakiti anakmu… andai ibuku
seperti kamu yang melindungi anaknya sepenuh hati… tapi aku yakin pasti
terjadi suatu saat nanti.” gadis kecil itu berharap penuh.
“Sudah ibu bilang jangan
keluar-keluar masih bandel juga!!! Masuk!!!” ibunya menyeret gadis kecil itu
masuk ke rumah
***
Suara saling membentak terdengar nyaring keluar,
di dalam rumah terjadi pertengkaran hebat. Dua anak manusia sedang berdebat. Mengadu
mulut dan tak ada satupun yang mau mengalah. Suasana ruangan sudah tidak
terlihat bentuknya, bangku-bangku yang berada di dekat tv sudah pindah ke dekat
pintu, kipas angin hancur karna di banding ke lantai, wajah-wajah yang dipenuhi
amarah memperkusut pemandangan di dalam rumah itu. Tak ada yang memisahkan,
tetangga hanya berbisik-bisik satu sama lain. Mereka membicarakan tapi tak
berani memisahkan.
Suara tangisan pecah di
sebuah kamar yang gelap, gadis kecil itu sudah tidak kuat lagi menahannya.
Suara di luar kamar masih ramai kini di sertai suara tangan yang saling
memukul, mulut yang saling beradu dan kemarahan yang tidak ada habisnya.
Gadis itu berteriak. “Ayah,
Ibu. Aku lelah dengan semua ini. Kupingku kini tuli tak dapat mendengar karna
terlalu sering di isi adu mulut kalian, mulutku bisu tak sanggung berkata
apa-apa, mataku mendadak buta karna terlalu banyak menangis.” Tapi suara di
luar kamar belum juga berhenti.
Gadis kecil itu
keluar dari kamarnya, membuka langkah dengan tertatih-tatih menuju ruang tamu
tempat di mana ayah dan ibunya bertengkar.
“Berhenti!!! Ayah, Ibu,
aku tahu semua ini gara-gara aku. Aku tidak dapat menjadi anak yang sempurna
seperti apa yang kalian harapkan. Aku hanya anak cacat yang mungkin tidak akan
berguna untuk kalian di masa depan, cuma akan merepotkan dan mengganggu
ketenangan kalian. Jika kalian tidak suka dengan keberadaanku, tidak apa.
Aku akan pergi dari rumah ini. Kalau perlu aku akan pergi selamanya dari
hidup kalian.” Gadis itu terduduk diam, ayahnya langsung memeluk erat tubuh yang
kurus karna kurang makan.
Sejak dulu Ibunya memang
tak pernah suka dengan lahirnya ia ke dunia, Ibunya menganggap gadis kecil itu
adalah pembawa sial yang tak pernah membuatnya senang.
Kini hening mengisi
rumah itu, hanya ada sedikit suara tangisan anak kecil yang menutupi wajahnya
dengan tangan, air mata menggenangi pelupuk mata ibunya, sedangkan ayahnya
terduduk menyesali semua. Di luar para tetangga ramai membicarakan mereka.
Dalam ketidaktahuan dari A sampai Z mereka bagi informasi tentang kejadian di
dalam rumah itu.
Ayahnya kemudian membuka
pintu, meninggalkan istri dan anaknya. Matanya menerawang ke sekitar, para
tetangga lari membawa gosip menarik tentang pertunjukan di dalam rumah itu,
meski samar-samar. Ayahnya tidak menghiraukan mereka yang memperhatikan dirinya
dari tadi. Dia melangkah gontai meninggakan jejaknya di rumah itu, kini
tubuhnya hilang ditelan waktu.
***
Tengah malam ayahnya kembali ke rumah. Suasana
di sekitarnya sudah sangat sepi, hanya ada hansip dan beberapa orang di pos
ronda yang letaknya cukup jauh. Dia membuka pintu, menyalakan lampu dan
melangkah pelan melewati ruang tamu yang berantakan, masih sama seperti waktu ia
tinggal beberapa jam yang lalu. Tanpa suara dia terus melanjutkan langkahnya
menuju kamar tidur. Di sana istrinya nampak tertidur pulas dengan guling
melekat erat di pelukannya.
“Bu, bu, bu.” Dia
menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
Setelah beberapa kali
mencoba membangunkan, namun istrinya tak kunjung membuka mata, dia berlalu ke
dapur. Meski tadi terjadi pertengkaran hebat, dia tak pernah membawanya
berlarut-larut. Bagi dia, yang lalu biarlah berlalu, kesalahan tak perlu di
ungkit terus menerus.
Perutnya yang kosong
terus menimbulkan bebunyian, dari siang ia belum makan. Ia membuka lemari
makanan, tapi tidak ada apa-apa. Lalu ia membuka kulkas yang bahkan air minum
pun tak ada di sana. Hanya ada sebungkus mie instan yang langsung ia ambil dan
memasaknya.
Dari belakang ada yang
menepuk pundaknya. Ia menoleh, “aaaaaaaaaaa…”
Ia
memegang perutnya, sebuah pisau tajam menacap dalam di perut, darah mengucur
deras keluar dari sela-sela tangannya yang menutupi bekas ditikam.
“Apa yang kamu lakukan?
Aaaaa.” Dia menahan nyeri yang merasuk kedalam tubuhnya. Tusukan demi
tusukan kembali menghampiri tubuhnya. Dada, leher, dan lengan penuh dengan
lubang darah, membuat dia langsung terkulai lemas.
“Ayaaaahhhhhh.” Gadis
itu berlari dengan kaki satu, menghampiri dan memeluk tubuh yang perlahan
terduduk dan kaku. Sejak pertengkaran tadi sore, gadis itu belum mampu menutup
matanya sedikitpun, dia mengisi malamnya dengan berbincang pada bintang yang
terlihat dari jendelanya.
“Ayah, Ayah kenapa, Ayah
bangun Yah…” Ayahnya menutup mata selamanya, meninggalkan gadis itu dan juga
dunia. Kini tidak ada lagi yang akan membelanya, tidak ada lagi yang memberinya
makan lebih dari satu kali, dan tidak ada lagi kasih sayang yang utuh.
“Aaaaaa
Ibuuuuuuu.”
“Kenapa ibu lakukan ini?
Aku sayang Ibu dan Ayah!” Gadis itu ikut pergi menyusul ayahnya, menutup
mata untuk selamanya sambil tersenyum dalam tenang meninggalkan teman-temannya.
Sepi, sayup-sayup
terdengar suara anak ayam mengisi malam “Piyeeek, Piyeeek, Piyeeek…” Di rumah
sederhana yang tidak terlalu besar, yang letaknya paling ujung. Ada tiga mayat
yang mati di tangan perempuan yang mengalami gangguan jiwa sejak tiga tahun
yang lalu. Ia membunuh dirinya sendiri setelah menghabiskan nyawa suami dan
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)