Senin, 23 September 2013

Gadis Kecil

Di sebuah kandang, seekor ayam sedang berbahagia. Telur-telur yang ia kerami selama berminggu-minggu kini sudah berubah menjadi anak-anak ayam seutuhnya. Dari sepuluh butir telur hanya delapan telur yang berhasil hadir ke dunia, menghirup udara segar pagi hari. Sedangkan dua saudara mereka, pergi meninggalkan mereka sebelum berhasil melihat dunia.
Satu dari delapan anak ayam yang menetas itu terlahir tidak sempurna, anak ayam itu terlahir dengan kaki kanan yang kecil, sehingga ia tidak mampu menopang kuat tubuhnya. Jika berlama-lama berdiri ia akan tumbang, dan jatuh—tapi ia mampu berjalan walau tertatih-tatih dengan menyeret kaki kanannya.
Hari demi hari mereka lalui bersama, mereka tumbuh dengan kasih sayang yang sempurna. Ibu ayam tak pernah membeda-bedakan mereka. Satu makan semua harus ikut makan. Ketika satu tertinggal semua ia akan menungguin sampai semua berkumpul.

“Mama, kenapa aku terlahir berbeda dari saudara-saudaraku?” Anak ayam itu bertanya.
“Sayangku, kata siapa kamu berbeda?” Ibunya tersenyum.
“Kakiku tidak sama dengan mereka, Ma?”
“Jangan pernah takut jadi berbeda, Nak. Yuk kita balik ke kandang, senja sudah datang.”

***

Ketika pagi datang, gadis kecil itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya dari kamar. Selagi ibunya tertidur pulas ia memberanikan diri keluar. Ia takut ketahuan ibunya kalau ia ke luar dari rumah. Ayahnya dari semalam belum pulang.
Ia langsung menghampiri kandang ayam, “ayam, kamu belum makan ya? Pasti kamu lapar. Maafin aku ya, sudah dua minggu aku tidak boleh keluar sama ibu. Ini saja aku diam-diam membuka pintu dan menemui kamu, aku ingin tahu kabarmu, cuma kamu dan boneka panda ini temanku. Aku kesepian.” Gadis itu duduk di dekat kandang ayam.
“Kamu apa kabar? Badanmu makin kurus, ya.”
“Piiiek… pieeek… pieeek…” anak-anak ayam muncul dari belakang tubuhnya.
“Siapa mereka? Telur-telur yang dulu sering kamu duduki? Wah mereka sudah berubah sekarang. Temanku makin banyak dong. Asyikkkk .”
Gadis kecil itu bersorak-sorai kegirangan. Seperti menemukan jarum di tumpukan jerami, ia merasa senang punya dunia baru. Hidup tanpa mengenal dunia luar dan kasih sayang, membuatnya tidak tahu bagaimana caranya bergembira, tidak mengerti bagaimana merasakan kebersamaan, dan juga tidak mengerti bagaimana melepas rasa senang. Yang ia tahu, kesedihan adalah teman akrabnya.
Setiap hari ia dikurung sepi, diikat kegelapan, dengan air mata yang mengalir deras. Tubuhnya kurus tak terurus, dia hanya dapat jatah makan sehari sekali dari ibunya. Jika ada ayahnya, baru ia dapat makan lebih—bisa dua atau tiga kali. Tapi, jika tidak ada ayahnya, ia tidak makan satu kali pun dalam sehari.
Rambutnya ikal bergelombang, matanya bulat bersinar, bibirnya tipis, hidung mancung. Ya, itu dia, bidadari kecil yang merindukan senyuman banyak orang.
 “Kamu lucu sekali, siapa namamu? Boleh aku berkenalan denganmu?”
“Piyeeek piyeeek…”
“Kakimu kenapa? Ibu ayam mengapa kakinya seperti itu? Sama denganku ya, tidak dapat berjalan dengan benar.”
“Piyek Piyek…”
“Kita ternyata punya kesamaan ya.” Gadis kecil itu memegang ayam yang pincang dan mengelus-elusnya.
Dari arah kanan, ibu ayam memegarkan sayapnya, lalu dikepak-kepakan, dengan cepat menghampiri gadis kecil itu. Tak perlu waktu lama, Ibu ayam sampai di hadapahnya. Ibu ayam langsung mematuk tangan gadis kecil itu, ia tersentak kaget, dan jatuh ke tanah. Ia menangis sambil menahan rasa sakit sesaat.
“Ibuuuuuuuuuu sakit…”
“Mengapa engkau mematukku, Ibu ayam? Sakit tahuuuuuu…”
Tidak lama kemudian ia terdiam, ibu ayam berdiri tegak di depannya, sedangkan anak-anak ayam itu mengikuti di belakangnya. 
“Sekarang aku tahu mengapa kamu mematukku… tenang aku tidak akan menyakiti anakmu… andai ibuku seperti kamu yang melindungi anaknya sepenuh hati…  tapi aku yakin pasti terjadi suatu saat nanti.” gadis kecil itu berharap penuh.
“Sudah ibu bilang jangan keluar-keluar masih bandel juga!!! Masuk!!!” ibunya menyeret gadis kecil itu masuk ke rumah

***

Suara saling membentak terdengar nyaring keluar, di dalam rumah terjadi pertengkaran hebat. Dua anak manusia sedang berdebat. Mengadu mulut dan tak ada satupun yang mau mengalah. Suasana ruangan sudah tidak terlihat bentuknya, bangku-bangku yang berada di dekat tv sudah pindah ke dekat pintu, kipas angin hancur karna di banding ke lantai, wajah-wajah yang dipenuhi amarah memperkusut pemandangan di dalam rumah itu. Tak ada yang memisahkan, tetangga hanya berbisik-bisik satu sama lain. Mereka membicarakan tapi tak berani memisahkan.
Suara tangisan pecah di sebuah kamar yang gelap, gadis kecil itu sudah tidak kuat lagi menahannya. Suara di luar kamar masih ramai kini di sertai suara tangan yang saling memukul, mulut yang saling beradu dan kemarahan yang tidak ada habisnya. 
Gadis itu berteriak. “Ayah, Ibu. Aku lelah dengan semua ini. Kupingku kini tuli tak dapat mendengar karna terlalu sering di isi adu mulut kalian, mulutku bisu tak sanggung berkata apa-apa, mataku mendadak buta karna terlalu banyak menangis.” Tapi suara di luar kamar belum juga berhenti.
 Gadis kecil itu keluar dari kamarnya, membuka langkah dengan tertatih-tatih menuju ruang tamu tempat di mana ayah dan ibunya bertengkar.
“Berhenti!!! Ayah, Ibu, aku tahu semua ini gara-gara aku. Aku tidak dapat menjadi anak yang sempurna seperti apa yang kalian harapkan. Aku hanya anak cacat yang mungkin tidak akan berguna untuk kalian di masa depan, cuma akan merepotkan dan mengganggu ketenangan kalian. Jika kalian tidak suka dengan keberadaanku, tidak apa.  Aku akan pergi dari rumah ini. Kalau perlu aku akan pergi selamanya dari hidup kalian.” Gadis itu terduduk diam, ayahnya langsung memeluk erat tubuh yang kurus karna kurang makan.
Sejak dulu Ibunya memang tak pernah suka dengan lahirnya ia ke dunia, Ibunya menganggap gadis kecil itu adalah pembawa sial yang tak pernah membuatnya senang.

Kini hening mengisi rumah itu, hanya ada sedikit suara tangisan anak kecil yang menutupi wajahnya dengan tangan, air mata menggenangi pelupuk mata ibunya, sedangkan ayahnya terduduk menyesali semua. Di luar para tetangga ramai membicarakan mereka. Dalam ketidaktahuan dari A sampai Z mereka bagi informasi tentang kejadian di dalam rumah itu.

Ayahnya kemudian membuka pintu, meninggalkan istri dan anaknya. Matanya menerawang ke sekitar, para tetangga lari membawa gosip menarik tentang pertunjukan di dalam rumah itu, meski samar-samar. Ayahnya tidak menghiraukan mereka yang memperhatikan dirinya dari tadi. Dia melangkah gontai meninggakan jejaknya di rumah itu, kini tubuhnya hilang ditelan waktu.

***

Tengah malam ayahnya kembali ke rumah. Suasana di sekitarnya sudah sangat sepi, hanya ada hansip dan beberapa orang di pos ronda yang letaknya cukup jauh. Dia membuka pintu, menyalakan lampu dan melangkah pelan melewati ruang tamu yang berantakan, masih sama seperti waktu ia tinggal beberapa jam yang lalu. Tanpa suara dia terus melanjutkan langkahnya menuju kamar tidur. Di sana istrinya nampak tertidur pulas dengan guling melekat erat di pelukannya.  
“Bu, bu, bu.” Dia menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
Setelah beberapa kali mencoba membangunkan, namun istrinya tak kunjung membuka mata, dia berlalu ke dapur. Meski tadi terjadi pertengkaran hebat, dia tak pernah membawanya berlarut-larut. Bagi dia, yang lalu biarlah berlalu, kesalahan tak perlu di ungkit terus menerus.
Perutnya yang kosong terus menimbulkan bebunyian, dari siang ia belum makan. Ia membuka lemari makanan, tapi tidak ada apa-apa. Lalu ia membuka kulkas yang bahkan air minum pun tak ada di sana. Hanya ada sebungkus mie instan yang langsung ia ambil dan memasaknya.
Dari belakang ada yang menepuk pundaknya. Ia menoleh, “aaaaaaaaaaa…”
            Ia memegang perutnya, sebuah pisau tajam menacap dalam di perut, darah mengucur deras keluar dari sela-sela tangannya  yang menutupi bekas ditikam.
“Apa yang kamu lakukan? Aaaaa.” Dia menahan nyeri  yang merasuk kedalam tubuhnya. Tusukan demi tusukan kembali menghampiri tubuhnya. Dada, leher, dan lengan penuh dengan lubang darah, membuat dia langsung terkulai lemas.
“Ayaaaahhhhhh.” Gadis itu berlari dengan kaki satu, menghampiri dan memeluk tubuh yang perlahan terduduk dan kaku. Sejak pertengkaran tadi sore, gadis itu belum mampu menutup matanya sedikitpun, dia mengisi malamnya dengan berbincang pada bintang yang terlihat dari jendelanya.
“Ayah, Ayah kenapa, Ayah bangun Yah…” Ayahnya menutup mata selamanya, meninggalkan gadis itu dan juga dunia. Kini tidak ada lagi yang akan membelanya, tidak ada lagi yang memberinya makan lebih dari satu kali, dan tidak ada lagi kasih sayang yang utuh.
 “Aaaaaa Ibuuuuuuu.”
“Kenapa ibu lakukan ini? Aku sayang Ibu dan Ayah!” Gadis itu ikut pergi menyusul ayahnya, menutup mata untuk selamanya sambil tersenyum dalam tenang meninggalkan teman-temannya.
Sepi, sayup-sayup terdengar suara anak ayam mengisi malam “Piyeeek, Piyeeek, Piyeeek…” Di rumah sederhana yang tidak terlalu besar, yang letaknya paling ujung. Ada tiga mayat yang mati di tangan perempuan yang mengalami gangguan jiwa sejak tiga tahun yang lalu. Ia membunuh dirinya sendiri setelah menghabiskan nyawa suami dan anaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)