Teruntuk kamu yang tidak begitu dekat.
Jika saya menanyakan kabarmu, menanyakan
hasil UASmu dan menanyakan banyak hal
tentangmu. Sudah pasti ini basi untukmu. Tapi tenang, saya tidak akan menanyakan hal itu. Malam itu, satu persatu mahasiswa maju kedapan memamerkan hasil
karya animasinya. Ada yang membuat
rangkaian bingkai foto, keadaan dalam laut, pantai, pegunungan, jalanan dan lain sebagainya, semua bisa
bergerak. Dosen itu bilang kalau multi media sangat diperlukan saat ini.
Satu persatu mahasiswa selesai, dosen itu sibuk dengan kertas penilaiannya. Dia tak awas melihat secara detail apa yang mahasiswa pamerkan. Hampir semua mahasiswa sudah maju, kamu pun sudah, hanya tinggal beberapa orang lagi dan tiba saatnya saya maju.
Satu persatu mahasiswa selesai, dosen itu sibuk dengan kertas penilaiannya. Dia tak awas melihat secara detail apa yang mahasiswa pamerkan. Hampir semua mahasiswa sudah maju, kamu pun sudah, hanya tinggal beberapa orang lagi dan tiba saatnya saya maju.
"Iyak, mana kertas nama dan NIMnya?" Kata dosen itu.
"Ini pak." Jawab saya.
"Silakan dijalankan." kata dia mengakhiri basa-basi.
Tak perlu waktu lama, hanya butuh beberapa detik animasi itu sudah jalan. Lalu tiba-tiba dia bertanya kembali."Foto kamunya mana? kan saya bilang pakai foto di animasinya!!!"
"Gak ada pak, saya lupa."
"Ya sudah gagal"
"Tapi pak..."
"Udah ga ada tapi-tapian..."
"Tadi banyak kok yang gak pakai foto dan bapak gak menggagalkan mereka?!"
"Mana siapa? Tunjuk orangnya."
Saya melihat jelas dari banyaknya karya yang tampil, banyak sekali yang tidak ada fotonya dan dosen itu hanya berkata "next" "next" dan "next". Tapi mengapa pas karya saya diprotes? Ini Bapak dosen yang teledor atau saya yang sial? Mungkin benar saya yang sial. Ada pasal asal yang sering saya dengar, kira-kira seperti ini bunyinya "1. Guru tidak pernah salah. 2. Jika guru salah maka balik lagi ke pasal pertama.” Ini adalah sebuah ketidakadilan yang nyata buat saya. Dengan kata lain, saya harus menanggung kesalahan dia yang tidak awas melihat hasil karya anak didiknya.
Saat itu saya refleks, iya saya refleks menyebut namamu. Saya belum sempat
menyebut nama yang lain. Sebelum kamu tampil ke depan, saya sudah melihat
karyamu tidak ada fotonya juga, sama dengan saya. Sesaat setelah menyebut namamu,
saya menyesal. Kenapa menyesal? Iya saya sudah kenal dengan beberapa hal yang
ada di kamu. Bagaimana kamu dan bagaimana tingkah lakumu. Kamu di panggil dosen
maju ke depan untuk memperlihatkan hasil karyamu. Kamu juga gagal kata dosen
itu.
“Siapa lagi yang terlewat tidak ada
fotonya?” Dosen itu bertanya ke penghuni kelas. Ya itu pertanyaan yang paling
tidak bermutu menurut saya. Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Mana
ada maling yang mau ngaku? Jika semua maling mengaku sudahlah pasti penjara
akan penuh.
“Oke kalau tidak ada yang mau ngaku
lagi kalian berdua tidak dapat nilai UTS dan UAS sampai kalian membuat video.” Kata
dosen itu menegaskan.
“Tapi pak, udah saya ubah nih sekarang
sudah ada fotonya.” Kata kamu.
“Gak bisa.” Balas dosen itu.
Ini bukan pertama kalinya ada kejadian
seperti ini. Dulu di mata kuliah dan kasus yang berbeda dengan dosen yang sama.
Ada seorang teman yang sedang menerangkan hasil penelitiannya, lalu di belakang
terjadi kegaduhan, suara berisik mengisi ruang belakang. Dosen itu merasa risih
dan membentak.
“Siapa itu yang berisik?” Seisi
ruangngan terdiam membisu. Tak ada sapupun yang berani berbicara.
“Sekali lagi, siapa tadi yang
berisik?!!!”
Teman saya di depan melanjutkan
menjelaskan hingga lima belas menit berlalu, seusai dia menjelaskan, dosen itu
kembali bertanya. “Siapa tadi yang berisik? Jangan jadi orang pengecut yang
berisik ketika ramai tapi tak ada suara ketika ditanya. Sudah saya putuskan,
semua yang ada di ruangan ini nilainya C, kecuali dia yang maju. Tidak usah ada
yang protes!!!”
Ya, kami ikut terkena imbasnya, satu
orang yang berisik kami semua yang kena. Tapi saya tak mau membahas panjang lebar
tentang dosen yang itu, saya sudah tak ada rasa, bukan rasa cinta tapi rasa tak
suka. Walau sebagian orang bilang dia baik tapi tidak buat saya. Tapi percayalah
saya tak pernah menaruh rasa dendam atau apapun. Saya sudah cukup bahagia
dengan apa yang sudah terjadi.
Setelah kelas usai saya menghampiri
kamu, iya saya meminta maaf saat itu tapi kamu tolak mentah-mentah dengan
mengusir saya. Lalu saya kembali ke tempat duduk saya dan membereskan buku dan
laptop saya. Kamu lewat dan bilang “Awas ya, cukup tahu aja.” Wah saya diancam?
Sebegitu besarkah dosa yang telah saya perbuat? Ternyata benar adanya, membuat
semua orang senang itu sulit tapi membuat orang membenci tan marah itu mudah.
Oke iya saya salah menyebut namamu
waktu itu dan saya minta maaf. Apa salah jika saya mengungkap kebenaran? Iya kebenaran
yang saya lihat. Resiko mengungkap kebenaran memang selalu berakhir seperti
ini, akan selalu ada yang terluka dan ada yang berubah. Dan saya dapatkan
keduanya. Kamu langsung terluka dan berubah.
Jika yang saya lakukan adalah sebuah
kesalahan fatal. Saya ingin bertanya padamu, apa ada manusia yang lahir, tumbuh
dan berkembang tanpa kesalahan? Saya rasa tidak ada. Saya bukanlah nabi Muhammad
SAW yang bisa dengan tenang menghadapi masalah. Bukanlah malaikat yang terbebas
dari akal dan nafsu, juga bukanlah setan yang bisa dengan mudah tertawa ketika
melihat orang lain susah. Saya hanya manusia biasa yang masih punya hati,
pikiran, nafsu dan akal. Saya sedang mempelajari untuk mengendalikan itu, dan
saya belum bisa. Saya masih suka kepikiran ketika melakukan kesalahan, masih
suka sakit hati ketika dilukai dan masih suka melakukan sesuatu tanpa akal dan
pikiran yang tenang.
Jika saya ada di posisi kamu pasti saya
juga akan marah padamu, tapi setidaknya saya akan berusaha tidak membencimu. Karna
saya sedang belajar soal itu. Saya tidak akan mengungkit-ungkit soal kebaikan
yang telah saya berikan padamu. Tenang, tidak akan, dan tidak akan pernah. Ini adalah
ke salahan pertama saya padamu. Orang tua saya mengajarkan agar tidak mengungkit-ungkit
kebaikan yang pernah dilakukan jika sedang dalam kesalahan.
Saya mengaku salah dan saya meminta
maaf untuk yang kesekian kalinya padamu, jika kamu tidak mau memaafkan itu
urusanmu. yang terpenting aku sudah meminta maaf dan tak akan mengulanginya. Semoga
kamu sukses ke depan, doa terbaik selalu saya curahkan untukmu.
Salam hangat dari saya, Arinda Adisetya
yang mungkin tidak akan pernah jadi teman terbaik untukmu. Tapi percayalah
namamu terekam baik di kepala saya sampai kapanpun. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)