Setelah pulang sekolah,
Fima langsung masuk ke kamarnya. Ia mengambil celengan plastik miliknya, lalu
membongkarnya. Ia mencongkel-congkel dengan gunting kecil. Kamarnya dikunci
rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang sedang ia lakukan.
Celengan itu adalah
pemberian ibunya dua bulan yang lalu.
“Asik, terima kasih, Bu.
Fima janji akan rajin menabung.”
Kata-kata itu kini tinggal
kenangan, janji itu Fima langgar. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima
melangkah gontai melewati pekarangan rumah, ia takut ketahuan ibunya kalau
siang-siang keluar. Fima membawa sepedanya. Ia kayuh sepedanya penuh senangat.
Sampailah Fima di depan
toko kue. Ia terdiam sejenak kemudian menghitung kembali uangnya di depan toko
kue tersebut. Ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu.
Senyumnya mengembang, keceriaan menghiasi senyumnya. Tinggal beberapa langkah
lagi niatnya akan terwujud.
Dari kejauhan ada tiga
orang dewasa, berbadan tinggi, besar dan menyeramkan. Mereka dari tadi terus
memperhatikan Fima. Menyadari kalau ia sedang diperhatikan, Fima langsung
memutar balik sepedanya—pada saat itu juga ia membatalkan niatnya membeli kue.
Ia menggoes lagi sepedanya. Kencang lebih kuat dari sebelumnya.
“Heiii bocah mau kemana kau?!!!”
Tanpa pikir panjang tiga preman itu mengejar Fima—tidak kalah kencang dari laju
sepeda Fima.
Fima terus mengayuh
sepedanya semakin cepat. Ia kerahkan semua tenaganya. Kondisi pasar siang itu
tidak begitu ramai, beberapa pedagang sedang asik melayani pembeli, sebagian
lagi ada yang tidur dan ada toko-toko yang tutup.
Roda sepedanya berputar
semakin cepat, tangan Fima memegang erat setang. Ia sesekali menoleh—memastikan
keberadaan preman-preman yang mengejarnya. Berharap mereka sudah tertinggal
jauh.
Tapi harapannya putus,
begitu melihat mereka malah semakin dekat. Jaraknya sekitar lima ratus
meter di belakangnya. Keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuhnya,
rasa takut dan was-was menghantui pikirannya. “Tuhan, tolong aku.” Gumam Fima.
“Hahaha, mau kemana lagi
kau bocah. Sudahlah berikan uang itu pada kami.” Preman-preman itu berusaha
menarik baju Fima. Tapi tangannya tak sampai. Konsentrasi Fima buyar, ketakutan menghantuinya, tenaganya mulai
melemah. Preman itu tak pantang menyerah mereka masih terus mengejarnya.
BRAKKK!!! Tubuh Fima
tergeletak di atas aspal, ia terpental jauh dari sepedanya. Ban sepedanya masih
berputar. Fima menabrak tiang pondasi toko beras.
“Dasar bocah ngeyel.
Hahaha.” Mereka mengambil uang dan sepeda Fima, lalu meninggalkannya begitu
saja.
***
“Sudah bu, Fima di mana
ini?” Ia mencoba duduk.
“Kamu di klinik, Nak. Kamu nggak
apa-apa, kan? Mana yang sakit? Kamu ke pasar ngapain?” Ibunya langsung
memberondong pertanyaan pada Fima. Bang Arya menemukan Fima tergeletak di pasar dan dikerumuni
banyak orang. Ia langsung membawanya ke klinik dan menelepon ibunya Fima.
“Fima… Fima… Fima… baik-baik
saja bu. Tadi Fima ingin membelikan kue ulang tahun dan hadiah untuk ibu. Besok
kan ulang tahun ibu, tapi di jalan Fima di kejar-kejar preman. Fima jatuh.”
“Ya ampun Fima. Ibu bahkan
lupa hari ulang tahun ibu kapan.” Fima di peluk erat ibunya. Tubuh anak
yang dulu kecil, kini sudah tumbuh anak laki-laki yang berani dan sayang
padanya. Air matanya tumpah dalam pelukan hangat penuh rasa bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)