Sabtu, 07 Desember 2013

Membuka Surga



Setelah pulang sekolah, Fima langsung masuk ke kamarnya. Ia mengambil celengan plastik miliknya, lalu membongkarnya. Ia mencongkel-congkel dengan gunting kecil. Kamarnya dikunci rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang sedang ia lakukan.

Celengan itu adalah pemberian ibunya dua bulan yang lalu.
“Asik, terima kasih, Bu. Fima janji akan rajin menabung.”

Kata-kata itu kini tinggal kenangan, janji itu Fima langgar. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima melangkah gontai melewati pekarangan rumah, ia takut ketahuan ibunya kalau siang-siang keluar. Fima membawa sepedanya. Ia kayuh sepedanya penuh senangat.

Sampailah Fima di depan toko kue. Ia terdiam sejenak kemudian menghitung kembali uangnya di depan toko kue tersebut. Ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu. Senyumnya mengembang, keceriaan menghiasi senyumnya. Tinggal beberapa langkah lagi niatnya akan terwujud.

Dari kejauhan ada tiga orang dewasa, berbadan tinggi, besar dan menyeramkan. Mereka dari tadi terus memperhatikan Fima. Menyadari kalau ia sedang diperhatikan, Fima langsung memutar balik sepedanya—pada saat itu juga ia membatalkan niatnya membeli kue. Ia menggoes lagi sepedanya. Kencang lebih kuat dari sebelumnya.


“Heiii bocah mau kemana kau?!!!” Tanpa pikir panjang tiga preman itu mengejar Fima—tidak kalah kencang dari laju sepeda Fima.

Fima terus mengayuh sepedanya semakin cepat. Ia kerahkan semua tenaganya. Kondisi pasar siang itu tidak begitu ramai, beberapa pedagang sedang asik melayani pembeli, sebagian lagi ada yang tidur dan ada toko-toko yang tutup.

Roda sepedanya berputar semakin cepat, tangan Fima memegang erat setang. Ia sesekali menoleh—memastikan keberadaan preman-preman yang mengejarnya. Berharap mereka sudah tertinggal jauh.

Tapi harapannya putus, begitu melihat mereka malah semakin dekat. Jaraknya sekitar  lima ratus meter di belakangnya. Keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuhnya, rasa takut dan was-was menghantui pikirannya. “Tuhan, tolong aku.” Gumam Fima.

“Hahaha, mau kemana lagi kau bocah. Sudahlah berikan uang itu pada kami.” Preman-preman itu berusaha menarik baju Fima. Tapi tangannya tak sampai. Konsentrasi Fima buyar, ketakutan menghantuinya, tenaganya mulai melemah. Preman itu tak pantang menyerah mereka masih terus mengejarnya.

BRAKKK!!! Tubuh Fima tergeletak di atas aspal, ia terpental jauh dari sepedanya. Ban sepedanya masih berputar. Fima menabrak tiang pondasi toko beras.

“Dasar bocah ngeyel. Hahaha.” Mereka mengambil uang dan sepeda Fima, lalu meninggalkannya begitu saja.

***
Fima membuka matanya, ia melihat ke sekelilingnya, samar-samar terlihat wajah ibunya. “Fima, kamu sudah sadar nak?” tanya ibunya.

“Sudah bu, Fima di mana ini?” Ia mencoba duduk.

“Kamu di klinik, Nak. Kamu nggak apa-apa, kan? Mana yang sakit? Kamu ke pasar ngapain?” Ibunya langsung memberondong pertanyaan pada Fima. Bang Arya menemukan Fima tergeletak di pasar dan dikerumuni banyak orang. Ia langsung membawanya ke klinik dan menelepon ibunya Fima.

“Fima… Fima… Fima… baik-baik saja bu. Tadi Fima ingin membelikan kue ulang tahun dan hadiah untuk ibu. Besok kan ulang tahun ibu, tapi di jalan Fima di kejar-kejar preman. Fima jatuh.”

“Ya ampun Fima. Ibu bahkan lupa hari ulang tahun ibu kapan.”  Fima di peluk erat ibunya. Tubuh anak yang dulu kecil, kini sudah tumbuh anak laki-laki yang berani dan sayang padanya. Air matanya tumpah dalam pelukan hangat penuh rasa bangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)