Sabtu, 21 Desember 2013

Memori Hujan



Ray melambatkan laju sepeda motornya. Hujan deras dan angin kencang menggangu keseimbangannya. Tubuh yang ia tutupi dengan jas hujan lengkap tidak membantunya mengalahkan serangan hujan. Ia memutuskan untuk bergabung dengan banyak pengendara lain, berlindung di bawah flyover.
Hujan turun semakin lebat. Ray ikut hanyut di antara banyaknya orang yang kedinginan. Di sudut tiang besar seorang lelaki paruh baya berdiri mematung menatap hujan yang jatuh di atap halte yang berada di seberangnya. Sementara beberapa orang perempuan yang nampaknya pekerja di sebuah hotel, sibuk memandangi rintik hujan. Beberapa mahasiswi dengan buku dan kertas di pelukannya tampak bercanda sesamanya seakan tak peduli dengan curahan air yang jatuh. Begitu pula dengan segerombolan anak-anak yang membawa gitar kecil di ujung sana. Semua membaur dalam irama hujan.
Hiruk-pikuk ibukota berhenti sejenak, lalu lalang kendaraan tidak seramai biasanya, suara klakson pun tidak terdengar. Kebisingan jalan kalah oleh denting langit yang memainkan hujan. Ketenangan paling damai datang untuk sekian menit.
Hujannya masih lebat begini. Sampai toko buku jam berapa, ini! Ray menunduk sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Ray berencana membeli buku-buku yang berhubungan dengan skripsinya yang sedang dalam tahap penyusunan.
Ray mengangkat wajahnya dan menoleh 45 derajat dari tempatnya berdiri. Ada pemandangan berbeda. Ray menangkap sesosok gadis berambut panjang yang nampak biasa namun terlihat menarik, sedang berteduh di samping bapak-bapak berkumis tebal yang wajahnya tampak tak bersahabat.
Sepertinya gadis itu menyadari kalau dia sedang diperhatikan, sebab sesaat setelahnya dia menoleh ke arah Ray lalu tersenyum tipis. Mendapat tanggapan ‘manis’ seperti itu, Ray mendadak salah tingkah. Segera ia membenarkan posisi berdirinya guna menghindari kegugupannya dipandang seperti itu.
Sungguh indah ciptaanMu itu, Tuhan. Oh senyumnya …. Ray membatin. Sesekali ia melirik pada gadis cantik itu, tapi sedikit hati-hati karena takut ketahuan seperti tadi.
Waktu telah bergeser lima belas menit lebih saat hujan sudah mulai reda. Satu persatu orang meninggalkan tempat mereka berdiri. Ray menyapu matanya ke sekeliling, berniat mencari gadis pemilik senyum tadi. Sia-sia. Gadis itu ternyata sudah lenyap dari pandangannya hanya dalam hitungan menit. Ray mengutuk ketaksigapan matanya menangkap sosok gadis yang kini hilang entah ke mana.
***
Hari itu toko buku tak terlalu ramai. Segera Ray mengayunkan kakinya menuju lantai dua. Seperti biasa, tak ada yang bisa menahan Ray berlama-lama di suatu tempat kecuali ada buku. Sayangnya, toko buku ini tak dilengkapi fasilitas café untuk memanjakan pengunjungnya. Ray sampai di lantai dua, tepatnya koridor bagian buku-buku tentang komputer.
Brukk!!! Dari arah lorong sebelah tempat Ray berdiri terdengar suara buku-buku jatuh. Segera Ray berjalan ke sebelah untuk melihat yang terjadi.
Di lorong itu hanya ada seseorang gadis yang sedang berjongkok sambil memunguti buku-buku yang jatuh. Rambutnya panjang dan hitam. Ray menunduk di samping orang itu sambil memunguti beberapa buku yang berserakan.
“Mari saya bantu—” kata Ray tanpa menoleh.
Gadis itu menoleh ke arah Ray.
Ray kaget melihat sosok yang ada di hadapannya. Ray tersenyum gugup. Dia lalu berdiri dan menata buku-buku tadi di raknya diikuti gadis itu.
“Terima kasih, ya, Mas. Enggak tau kenapa tiba-tiba bukunya jatuh semua.” Gadis itu tertawa kecil.
Deg! Dari aku melihatnya di halte tadi dia sudah memesonaku dengan senyumnya. Sekarang dengan jarak yang begitu dekat aku bisa melihat senyum itu lagi. Ya Tuhan, ampuni aku terpikat pada pesona hawa-Mu ini ….
Ray memaksakan senyumnya yang justru tampak gugup. “Panggil Ray saja.” Sedetik setelah mengucapkan kalimat perkenalan itu, Ray justru mengutuk dirinya yang terlalu lancang. Dia juga kaget mengapa mulutnya bisa mengucapkan kalimat itu. Ray bukan tipe orang yang mau memulai perkenalan terlebih dahulu dengan orang baru, apalagi seorang wanita.
“Aku Nadia,” balas wanita itu.
Setelah selesai mengatur buku-buku yang tak sengaja dijatuhkan Nadia tadi, mereka malah bercakap sebentar. Tentang buku bisnis dan buku-buku penunjnag skripsi yang sedang dicari Ray dan buku-buku tentang tanaman yang sangat diminati Nadia.
Sebelum mereka berpisah, entah siapa yang memulai, mereka telah bertukar nomor ponsel. Ray sendiri merasa takjub. Hari ini banyak yang ‘bergerak’ maju dalam hidupnya.
***
Beberapa minggu setelah perkenalannya dengan Nadia, Ray lebih sering bepergian bersama Nadia ketimbang nongkrong dengan teman-temannya atau mengurung diri di kamar mengerjakan skripsinya. Mereka mengarungi waktu hampir selalu bersama. Ke café baca favorit mereka, ke taman kota, ke bioskop atau ke angkringan pinggir jalan pun mereka selalu jalani saat ada waktu senggang. Semua berlangsung hingga enam bulan lamanya.
Berbagai rasa telah hadir melingkupi hati mereka. Ada perasaan hangat yang menjalar saat mereka bersama meskipun hanya sekadar duduk berhadapan sambil membaca buku masing-masing. Sayang, suka, bahagia, senang, sedih, kecewa—semua sudah mereka bagi bersama.
***
Jalan Jakarta masih sama, macet disertai nyaringnya suara klakson yang bersahutan. Semua berebut ingin cepat beranjak dari ramainya kendaraan yang berbaris. Langit sudah mulai gelap mengundang rintik gerimis. Pejalan kaki yang lalu lalang sudah menempati sudut-sudut halte, trotoar, dan tertutup tempat-tempat yang jauh dari jangkauan air yang jatuh menetes. Pengendara sepeda motor sibuk mencari celah untuk keluar dari jebakan yang menjerat. Sedangkan pengendara mobil tersenyum puas mereka tak harus merasakan air hujan jatuh ke tubuh mereka. Keadaan terjepit kadang harus memaksa untuk memilih; tetap diam atau bergerak mencari jalan.
Jaket yang Ray kenakan setengah basah, hujan mampu menyerang lebih cepat daripada gerakannya. Ray melepas jaketnya lalu melipatnya untuk dimasukan ke dalam tas.  Di dalam Nadia ternyata telah duduk manis di tempat mereka biasa bercengkrama, di pojok café dekat dinding kaca besar. Dari sana siapapun dapat melihat sebagian aktivitas di luar cafe.
“Halo, Nad. Udah lama?” Tanya Ray. “Maaf, macet.” Ray tersenyum kecil sambil menarik kursi di depan Nadia.
“Enggak, kok. Aku juga baru sampai.” Nadia balas tersenyum. Dia lalu mengeluarkan sapu tangan putih dari tasnya lalu menyodorkannya ke Ray. “Nih, lap wajah dan rambutmu itu.”
Nadia melirik bangku-bangku di sekitar mereka yang hanya beberapa yang terisi. Mungkin karena hari sedang hujan, jadi pengunjung tak terlalu banyak yang datang. Pelayan datang dan mencatat pesanan keduanya yang sama: coklat panas.
Ray masih sibuk menghilangkan sisa-sisa hujan dari badannya. Sementara Nadia, diam dan sedang bermain dengan khayalannya.
Aku mengenal Ray sudah cukup lama. Hubunganku dengannya bisa dikatakan dekat. Namun, aku bingung dengan hubungan kami ini. Aku sayang pada Ray, mungkin juga telah jatuh cinta. Kami sama-sama tahu, tak ada yang benar-benar sempurna di antara kami. Aku sadar, aku tak pernah menuntut banyak untuk membuatnya menjadi seperti yang aku inginkan. Aku tahu, laki-laki sempurna hanya akan kutemui di FTV-FTV yang sering kutonton.
Tapi mengapa tak ada hal spesial yang kudapatkan dari perkenalan kami? Padahal, bagiku Ray sudah sangat bisa mengerti aku. Dia paham apa yang aku inginkan. Tapi, mengapa masih ada yang menjanggal? Apa aku mencintai orang yang salah? Rasa cinta tak pernah hadir dengan bentuk sempurna.
“Hei, melamun aja?” Ray membuyarkan lamunan Nadia.
***
Ray mengantar Nadia pulang, pertemuan mereka tak membuahkan hasil apa-apa kecuali obrolan yang membuat senyum dan tawa melekat. Nadia mengajak Ray untuk mampir ke rumahnya. Rumah Nadia minimalis dan asri. Halamannya dipenuhi dengan pepohonan dan bunga-bunga. Kata Nadia, dia dan ibunya sangat senang dengan tumbuhan.
Hari masih sore ketika Ray berkunjung ke rumah Nadia. Mereka disambut oleh ayah Nadia yang sedang membaca koran di teras rumah.
“Sore, Om.” Ray menyapa ayah Nadia.
“Sore, Ray. Nampaknya kalian senang sekali.” Ayah Nadia melirik senyum yang mengembang di wajah mereka berdua.
Nadia dan Ray hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman pula.
Mereka langsung masuk ke dalam sedangkan ayahnya melanjutkan kegiatan baca korannya.
Ray duduk di sofa sambil menunggu Nadia yang masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian karena bawah terkena hujan tadi. Rumah Nadia selalu membawa kenyamanan dan kehangatan tersendiri buat Ray.
Beberapa saat kemudian Nadia datang dengan nampan berisi dua gelas teh hangat untuk mereka. Obrolan pun terjadi lagi di antara mereka.
“Nad, aku mau ngomong sesuatu yang serius sama kamu—” Ray menatap mata Nadia dalam.
Deg! Jantung Nadia berdegup. Tatapan mata Ray yang dalam membuatnya gugup. “Mau ngomong apa?” tanya Nadia pelan.
Ray tak sedetikpun melepaskan tatapannya pada Nadia. “Nad, kita sudah lumayan lama kenal. Bagiku, enam bulan bukan waktu yang singkat untuk dilalui intens tanpa ada ikatan sama sekali di antara kita. Banyak kejadian yang tak pernah aku bayangkan dulu, kini terjadi padaku. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari berkenalan denganmu. Aku jadi mengenal kehidupan yang selama ini belum pernah aku sentuh—” Ray tersenyum penuh arti. Perkenalan dengan Nadia sungguh membawa dampak positif di hidupnya. Banyak perubahan yang bukan hanya dirasakan oleh Ray, tapi juga dirasakan oleh orang-orang dekatnya.
Nadia pun merasakan perubahan itu. Ray yang pertama kali ia kenal dulu kini menjadi Ray yang ramah dan acuh pada keadaan sekitar. Nadia sadar, kekuatan cintalah yang mengubah pribadi tertutup Ray bisa menjadi seperti sekarang.
Wanita yang ceria dan baik hati itu terpesona dengan hal-hal kecil yang sering dilakukan Ray. Nadia yang sejak dulu memang memiliki sifat periang itu kini makin semangat dan sering tersenyum dengan hal-hal kecil yang ia temui. Padahal jadwalnya tiap hari sangat banyak, tapi senyum tak pernah hilang dari gadis berambut panjang itu. Selalu saja ada semangat yang bisa ia bagi buat Ray.
Mata Nadia mulai berembun.
“Nadia, mengenalmu adalah suatu kebahagiaan buatku. Kamu punya andil penting dalam perjalanan hidupku. Terima kasih Nad atas semua pelajaran yang telah kau berikan pada ku...”
Ada setitik air mata yang mulai jatuh dari mata bening Nadia. Perasaannya campur aduk. Kata-kata Ray barusan membuatnya berpikir lelaki itu akan pergi meninggalkannya. Nadia bingung. Nadia senang. Nadia takut.
“Nadia, aku ingin pergi…”
Nadia tersentak. Pertahanannya jebol. Air mata yang tadinya berusaha ia tahan akhirnya keluar. “Kenapa, Ray?” tanya Nadia dengan air mata yang terus jatuh. “Kamu mau pergi ke mana?”
Ray menunduk. “Kita nggak cocok, Nad!” nada suara Ray meninggi.
“Kamu jahat, Ray! Kamu tuh sudah masuk dalam hidup dan hati aku, dengan gampangnya mau berakhir seperti ini? Kamu nggak pernah tau kalau aku tuh sayang sama kamu, Ray. Kamu yang udah bawa aku sejauh ini. Aku belum pernah ngerasain perasaan seperti ini selain sama kamu!” Bahu Nadia berguncang kecil. Kata-kata Ray menusuknya. Segala hal yang mereka lalui mulai dari pertemuannya saat hujan dengan Ray mendadak muncul di ingatannya.
Ray justru tersenyum kecil melihat Nadia tersedu. “Hapus air matamu, Nadia. Kamu tenang …. Aku ingin berbicara jujur sama kamu—”
Nadia menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Kamu akan terlihat lebih manis saat tersenyum daripada saat menangis.”
Nadia memaksakan sedikit senyumnya.
“Lho, kenapa kamu menangis, Nadia?” Tiba-tiba ayah Nadia muncul dan sudah berdiri di dekat mereka. Wajahnya cemas sekaligus heran dengan sikap Ray dan Nadia.
Ray mendadak gugup. Dia mencoba mengatur posisi duduknya. “Jadi begini, Om—” Ucapan Ray menggantung. Kata-kata yang dari kemarin coba ia susun mendadak hilang ditelan sunyi suasana.
Ayah Nadia terlihat menunggu kalimat Ray. Nadia juga begitu. Kini, ia sesenggukan karena menahan air matanya.
“Hmm …. Saya ingin melamar anak Om untuk menjadi pendamping saya. Jika direstui, setelah wisuda nanti saya akan ajak keluarga saya untuk menemui keluarga ini.” Ray menarik napas lega.
Ayah Nadia terlihat sedikit kaget. Tapi kemudian dia tersenyum. “Kamu serius mau menikahi anak saya?” tanya ayah Nadia serius. Sebelumnya, ayah Nadia asal usul Ray, tentang keluarga, kuliah, hingga bisnis online yang sudah ia rintis sejak duduk dibangku SMK, mereka sering bertukar cerita.
“Sangat serius, Om.”
Ayah Nadia justru menggeleng. “Saya tidak merestui hubungan kalian—” gantungnya.
Ray dan Nadia refleks kaget. “Kenapa, Om? Apa saya tidak pantas untuk anak Om?”
Di luar, hujan sedang turun rintik-rintik. Satu persatu butirannya berlomba menyentuh bumi. Nadia dan Ray diam menanti jawaban ayah Nadia. Mereka terkungkung senyap. Beberapa detik yang menyiksa bagi Ray dan Nadia.
“Om tidak merestui kamu dengan Nadia, jika kamu tak benar-benar mengerti apa arti pernikahan yang sesungguhnya. Pernikahan bukan mainan yang mudah dimulai dan diakhiri, Ray. Pernikahan bukan hobbi yang bisa kamu tinggalkan ketika kamu bosan. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang harus terikat erat sampai maut memisahkan kalian. Satu sampai akhir hayat ….”
Ray mengangguk kecil. “Saya mengerti, Om.”
“Ray, saya tunggu kedatangan orang tuamu nanti.” Ayah Nadia berucap tegas. Setelah itu dia tersenyum ke arah anaknya dan juga Ray.
Tangisan Nadia kembali pecah. Kali ini tangisan haru dan bahagia. Impiannya untuk menikah muda dengan lelaki pilihan hatinya sedikit lagi akan terwujud. Ray, lelaki yang ia temui saat hujan beberapa bulan lalu itu, kini berniat melamarnya. Tak ada yang bisa menahan air matanya untuk turun lagi, berlomba dengan hujan di luar sana.
Ray tersenyum dan menatap mata Nadia, lembut dan haru.
“Dasar jahat, Ray!!! Ihhhh, ngerjain aku yaaaa?!!” Nadia sesenggukan sambil menatap kesal pada Ray.
Ray terbahak menyaksikan ekspresi lucu Nadia. Lalu mendadak dia diam, kembali menatap Nadia serius. “Nad, mungkin aku bukan lelaki yang romantis yang bisa berikan bunga mawar untuk menghiasi pagimu setiap hari. Tapi aku akan berusaha berikan yang terbaik untukmu dan masa depan kita. Kau adalah peri hujan buatku. Kau jadi oase buat hidupku yang hampir kering. Terima kasih, Nad ….”

Nadia dan Ray berpandangan lalu saling bertukar senyum. Di luar, hujan masih gerimis, sedangkan hati mereka seolah tersirami hujan cinta.
***

Akan ada saat dimana Cinta bukan lagi sekadarkata-kata tapi tindakan nyata




Gambar: Google

2 komentar:

Tinggalkan jejakmu di sini. :)