Ray melambatkan laju sepeda motornya. Hujan deras dan angin
kencang menggangu keseimbangannya. Tubuh yang ia tutupi dengan jas hujan
lengkap tidak membantunya mengalahkan serangan hujan. Ia memutuskan untuk
bergabung dengan banyak pengendara lain, berlindung di bawah flyover.
Hujan turun semakin lebat. Ray ikut hanyut di
antara banyaknya orang yang kedinginan. Di sudut tiang besar seorang lelaki
paruh baya berdiri mematung menatap hujan yang jatuh di atap halte yang berada
di seberangnya. Sementara beberapa orang perempuan yang nampaknya pekerja di
sebuah hotel, sibuk memandangi rintik hujan. Beberapa mahasiswi dengan buku dan
kertas di pelukannya tampak bercanda sesamanya seakan tak peduli dengan curahan
air yang jatuh. Begitu pula dengan segerombolan anak-anak yang membawa gitar
kecil di ujung sana. Semua membaur dalam irama hujan.
Hiruk-pikuk ibukota berhenti sejenak, lalu
lalang kendaraan tidak seramai biasanya, suara klakson pun tidak terdengar.
Kebisingan jalan kalah oleh denting langit yang memainkan hujan. Ketenangan
paling damai datang untuk sekian menit.
Hujannya masih lebat begini. Sampai toko buku
jam berapa, ini! Ray menunduk
sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Ray berencana membeli buku-buku
yang berhubungan dengan skripsinya yang sedang dalam tahap penyusunan.
Ray mengangkat wajahnya dan menoleh 45 derajat
dari tempatnya berdiri. Ada pemandangan berbeda. Ray menangkap sesosok gadis
berambut panjang yang nampak biasa namun terlihat menarik, sedang berteduh di
samping bapak-bapak berkumis tebal yang wajahnya tampak tak bersahabat.
Sepertinya gadis itu menyadari kalau dia sedang
diperhatikan, sebab sesaat setelahnya dia menoleh ke arah Ray lalu tersenyum
tipis. Mendapat tanggapan ‘manis’ seperti itu, Ray mendadak salah tingkah.
Segera ia membenarkan posisi berdirinya guna menghindari kegugupannya dipandang
seperti itu.
Sungguh indah ciptaanMu itu, Tuhan. Oh senyumnya …. Ray membatin. Sesekali ia melirik pada
gadis cantik itu, tapi sedikit hati-hati karena takut ketahuan seperti tadi.
Waktu telah bergeser lima belas menit lebih saat
hujan sudah mulai reda. Satu persatu orang meninggalkan tempat mereka berdiri.
Ray menyapu matanya ke sekeliling, berniat mencari gadis pemilik senyum tadi.
Sia-sia. Gadis itu ternyata sudah lenyap dari pandangannya hanya dalam hitungan
menit. Ray mengutuk ketaksigapan matanya menangkap sosok gadis yang kini hilang
entah ke mana.
***
Hari itu toko buku tak terlalu ramai. Segera Ray mengayunkan
kakinya menuju lantai dua. Seperti biasa, tak ada yang bisa menahan Ray
berlama-lama di suatu tempat kecuali ada buku. Sayangnya, toko buku ini tak
dilengkapi fasilitas café untuk memanjakan pengunjungnya. Ray sampai di lantai
dua, tepatnya koridor bagian buku-buku tentang komputer.
Brukk!!! Dari arah lorong sebelah tempat Ray berdiri
terdengar suara buku-buku jatuh. Segera Ray berjalan ke sebelah untuk melihat
yang terjadi.
Di lorong itu hanya ada seseorang gadis yang
sedang berjongkok sambil memunguti buku-buku yang jatuh. Rambutnya panjang dan
hitam. Ray menunduk di samping orang itu sambil memunguti beberapa buku yang
berserakan.
“Mari saya bantu—” kata Ray tanpa menoleh.
Gadis itu menoleh ke arah Ray.
Ray kaget melihat sosok yang ada di hadapannya.
Ray tersenyum gugup. Dia lalu berdiri dan menata buku-buku tadi di raknya
diikuti gadis itu.
“Terima kasih, ya, Mas. Enggak tau kenapa
tiba-tiba bukunya jatuh semua.” Gadis itu tertawa kecil.
Deg! Dari aku melihatnya di halte tadi
dia sudah memesonaku dengan senyumnya. Sekarang dengan jarak yang begitu dekat
aku bisa melihat senyum itu lagi. Ya Tuhan, ampuni aku terpikat pada pesona
hawa-Mu ini ….
Ray memaksakan senyumnya yang justru tampak
gugup. “Panggil Ray saja.” Sedetik setelah mengucapkan kalimat perkenalan itu,
Ray justru mengutuk dirinya yang terlalu lancang. Dia juga kaget mengapa
mulutnya bisa mengucapkan kalimat itu. Ray bukan tipe orang yang mau memulai
perkenalan terlebih dahulu dengan orang baru, apalagi seorang wanita.
“Aku Nadia,” balas wanita itu.
Setelah selesai mengatur buku-buku yang tak
sengaja dijatuhkan Nadia tadi, mereka malah bercakap sebentar. Tentang buku
bisnis dan buku-buku penunjnag skripsi yang sedang dicari Ray dan buku-buku
tentang tanaman yang sangat diminati Nadia.
Sebelum mereka berpisah, entah siapa yang
memulai, mereka telah bertukar nomor ponsel. Ray sendiri merasa
takjub. Hari ini banyak yang ‘bergerak’ maju dalam hidupnya.
***
Beberapa minggu setelah perkenalannya dengan Nadia, Ray lebih
sering bepergian bersama Nadia ketimbang nongkrong dengan
teman-temannya atau mengurung diri di kamar mengerjakan skripsinya. Mereka
mengarungi waktu hampir selalu bersama. Ke café baca favorit mereka, ke taman
kota, ke bioskop atau ke angkringan pinggir jalan pun mereka selalu jalani saat
ada waktu senggang. Semua berlangsung hingga enam bulan lamanya.
Berbagai rasa telah hadir melingkupi hati
mereka. Ada perasaan hangat yang menjalar saat mereka bersama meskipun hanya
sekadar duduk berhadapan sambil membaca buku masing-masing. Sayang, suka,
bahagia, senang, sedih, kecewa—semua sudah mereka bagi bersama.
***
Jalan Jakarta masih sama, macet disertai nyaringnya suara klakson
yang bersahutan. Semua berebut ingin cepat beranjak dari ramainya kendaraan
yang berbaris. Langit sudah mulai gelap mengundang rintik gerimis. Pejalan kaki
yang lalu lalang sudah menempati sudut-sudut halte, trotoar, dan tertutup
tempat-tempat yang jauh dari jangkauan air yang jatuh menetes. Pengendara
sepeda motor sibuk mencari celah untuk keluar dari jebakan yang menjerat.
Sedangkan pengendara mobil tersenyum puas mereka tak harus merasakan air hujan
jatuh ke tubuh mereka. Keadaan terjepit kadang harus memaksa untuk memilih;
tetap diam atau bergerak mencari jalan.
Jaket yang Ray kenakan setengah basah, hujan
mampu menyerang lebih cepat daripada gerakannya. Ray melepas jaketnya lalu
melipatnya untuk dimasukan ke dalam tas. Di dalam Nadia ternyata telah
duduk manis di tempat mereka biasa bercengkrama, di pojok café dekat dinding
kaca besar. Dari sana siapapun dapat melihat sebagian aktivitas di luar cafe.
“Halo, Nad. Udah lama?” Tanya Ray. “Maaf,
macet.” Ray tersenyum kecil sambil menarik kursi di depan Nadia.
“Enggak, kok. Aku juga baru sampai.” Nadia balas
tersenyum. Dia lalu mengeluarkan sapu tangan putih dari tasnya lalu
menyodorkannya ke Ray. “Nih, lap wajah dan rambutmu itu.”
Nadia melirik bangku-bangku di sekitar mereka
yang hanya beberapa yang terisi. Mungkin karena hari sedang hujan, jadi
pengunjung tak terlalu banyak yang datang. Pelayan datang dan mencatat pesanan
keduanya yang sama: coklat panas.
Ray masih sibuk menghilangkan sisa-sisa hujan
dari badannya. Sementara Nadia, diam dan sedang bermain dengan khayalannya.
Aku mengenal Ray sudah cukup lama. Hubunganku
dengannya bisa dikatakan dekat. Namun, aku bingung dengan hubungan kami ini.
Aku sayang pada Ray, mungkin juga telah jatuh cinta. Kami sama-sama tahu, tak
ada yang benar-benar sempurna di antara kami. Aku sadar, aku tak pernah
menuntut banyak untuk membuatnya menjadi seperti yang aku inginkan. Aku tahu,
laki-laki sempurna hanya akan kutemui di FTV-FTV yang sering kutonton.
Tapi mengapa tak ada hal spesial yang kudapatkan
dari perkenalan kami? Padahal, bagiku Ray sudah sangat bisa mengerti aku. Dia
paham apa yang aku inginkan. Tapi, mengapa masih ada yang menjanggal? Apa aku
mencintai orang yang salah? Rasa cinta tak pernah hadir dengan bentuk sempurna.
“Hei, melamun aja?” Ray membuyarkan lamunan
Nadia.
***
Ray mengantar Nadia pulang, pertemuan mereka tak membuahkan hasil
apa-apa kecuali obrolan yang membuat senyum dan tawa melekat. Nadia mengajak
Ray untuk mampir ke rumahnya. Rumah Nadia minimalis dan asri. Halamannya
dipenuhi dengan pepohonan dan bunga-bunga. Kata Nadia, dia dan ibunya sangat
senang dengan tumbuhan.
Hari masih sore ketika Ray berkunjung ke rumah
Nadia. Mereka disambut oleh ayah Nadia yang sedang membaca koran di teras
rumah.
“Sore, Om.” Ray menyapa ayah Nadia.
“Sore, Ray. Nampaknya kalian senang sekali.”
Ayah Nadia melirik senyum yang mengembang di wajah mereka berdua.
Nadia dan Ray hanya membalas pertanyaan itu
dengan senyuman pula.
Mereka langsung masuk ke dalam sedangkan ayahnya
melanjutkan kegiatan baca korannya.
Ray duduk di sofa sambil menunggu Nadia yang
masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian karena bawah terkena hujan tadi.
Rumah Nadia selalu membawa kenyamanan dan kehangatan tersendiri buat Ray.
Beberapa saat kemudian Nadia datang dengan
nampan berisi dua gelas teh hangat untuk mereka. Obrolan pun terjadi lagi di
antara mereka.
“Nad, aku mau ngomong sesuatu yang serius sama
kamu—” Ray menatap mata Nadia dalam.
Deg! Jantung Nadia berdegup. Tatapan mata Ray
yang dalam membuatnya gugup. “Mau ngomong apa?” tanya Nadia pelan.
Ray tak sedetikpun melepaskan tatapannya pada
Nadia. “Nad, kita sudah lumayan lama kenal. Bagiku, enam bulan bukan waktu yang
singkat untuk dilalui intens tanpa ada ikatan sama sekali di antara kita.
Banyak kejadian yang tak pernah aku bayangkan dulu, kini terjadi padaku. Banyak
pelajaran yang bisa aku ambil dari berkenalan denganmu. Aku jadi mengenal
kehidupan yang selama ini belum pernah aku sentuh—” Ray tersenyum penuh arti. Perkenalan
dengan Nadia sungguh membawa dampak positif di hidupnya. Banyak perubahan yang
bukan hanya dirasakan oleh Ray, tapi juga dirasakan oleh orang-orang dekatnya.
Nadia pun merasakan perubahan itu. Ray yang
pertama kali ia kenal dulu kini menjadi Ray yang ramah dan acuh pada keadaan
sekitar. Nadia sadar, kekuatan cintalah yang mengubah pribadi tertutup Ray bisa
menjadi seperti sekarang.
Wanita yang ceria dan baik hati itu terpesona
dengan hal-hal kecil yang sering dilakukan Ray. Nadia yang sejak dulu memang
memiliki sifat periang itu kini makin semangat dan sering tersenyum dengan
hal-hal kecil yang ia temui. Padahal jadwalnya tiap hari sangat banyak, tapi
senyum tak pernah hilang dari gadis berambut panjang itu. Selalu saja ada
semangat yang bisa ia bagi buat Ray.
Mata Nadia mulai berembun.
“Nadia, mengenalmu adalah suatu kebahagiaan
buatku. Kamu punya andil penting dalam perjalanan hidupku. Terima kasih Nad
atas semua pelajaran yang telah kau berikan pada ku...”
Ada setitik air mata yang mulai jatuh dari mata
bening Nadia. Perasaannya campur aduk. Kata-kata Ray barusan membuatnya
berpikir lelaki itu akan pergi meninggalkannya. Nadia bingung. Nadia senang.
Nadia takut.
“Nadia, aku ingin pergi…”
Nadia tersentak. Pertahanannya jebol. Air mata
yang tadinya berusaha ia tahan akhirnya keluar. “Kenapa, Ray?” tanya Nadia
dengan air mata yang terus jatuh. “Kamu mau pergi ke mana?”
Ray menunduk. “Kita nggak cocok, Nad!” nada
suara Ray meninggi.
“Kamu jahat, Ray! Kamu tuh sudah masuk dalam
hidup dan hati aku, dengan gampangnya mau berakhir seperti ini? Kamu nggak
pernah tau kalau aku tuh sayang sama kamu, Ray. Kamu yang udah bawa aku sejauh
ini. Aku belum pernah ngerasain perasaan seperti ini selain sama kamu!” Bahu
Nadia berguncang kecil. Kata-kata Ray menusuknya. Segala hal yang mereka lalui
mulai dari pertemuannya saat hujan dengan Ray mendadak muncul di ingatannya.
Ray justru tersenyum kecil melihat Nadia
tersedu. “Hapus air matamu, Nadia. Kamu tenang …. Aku ingin berbicara jujur
sama kamu—”
Nadia menghapus air matanya dengan punggung
tangannya.
“Kamu akan terlihat lebih manis saat tersenyum
daripada saat menangis.”
Nadia memaksakan sedikit senyumnya.
“Lho, kenapa kamu menangis, Nadia?” Tiba-tiba
ayah Nadia muncul dan sudah berdiri di dekat mereka. Wajahnya cemas sekaligus
heran dengan sikap Ray dan Nadia.
Ray mendadak gugup. Dia mencoba mengatur posisi
duduknya. “Jadi begini, Om—” Ucapan Ray menggantung. Kata-kata yang dari
kemarin coba ia susun mendadak hilang ditelan sunyi suasana.
Ayah Nadia terlihat menunggu kalimat Ray. Nadia
juga begitu. Kini, ia sesenggukan karena menahan air matanya.
“Hmm …. Saya ingin melamar anak Om untuk menjadi
pendamping saya. Jika direstui, setelah wisuda nanti saya akan ajak keluarga
saya untuk menemui keluarga ini.” Ray menarik napas lega.
Ayah Nadia terlihat sedikit kaget. Tapi kemudian
dia tersenyum. “Kamu serius mau menikahi anak saya?” tanya ayah Nadia serius.
Sebelumnya, ayah Nadia asal usul Ray, tentang keluarga, kuliah, hingga bisnis
online yang sudah ia rintis sejak duduk dibangku SMK, mereka sering bertukar
cerita.
“Sangat serius, Om.”
Ayah Nadia justru menggeleng. “Saya tidak
merestui hubungan kalian—” gantungnya.
Ray dan Nadia refleks kaget. “Kenapa, Om? Apa
saya tidak pantas untuk anak Om?”
Di luar, hujan sedang turun rintik-rintik. Satu
persatu butirannya berlomba menyentuh bumi. Nadia dan Ray diam menanti jawaban
ayah Nadia. Mereka terkungkung senyap. Beberapa detik yang menyiksa bagi Ray
dan Nadia.
“Om tidak merestui kamu dengan Nadia, jika kamu
tak benar-benar mengerti apa arti pernikahan yang sesungguhnya. Pernikahan
bukan mainan yang mudah dimulai dan diakhiri, Ray. Pernikahan bukan hobbi yang
bisa kamu tinggalkan ketika kamu bosan. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci
yang harus terikat erat sampai maut memisahkan kalian. Satu sampai akhir hayat
….”
Ray mengangguk kecil. “Saya mengerti, Om.”
“Ray, saya tunggu kedatangan orang tuamu nanti.”
Ayah Nadia berucap tegas. Setelah itu dia tersenyum ke arah anaknya dan juga
Ray.
Tangisan Nadia kembali pecah. Kali ini tangisan
haru dan bahagia. Impiannya untuk menikah muda dengan lelaki pilihan hatinya
sedikit lagi akan terwujud. Ray, lelaki yang ia temui saat hujan beberapa bulan
lalu itu, kini berniat melamarnya. Tak ada yang bisa menahan air matanya untuk
turun lagi, berlomba dengan hujan di luar sana.
Ray tersenyum dan menatap mata Nadia, lembut dan
haru.
“Dasar jahat, Ray!!! Ihhhh, ngerjain aku
yaaaa?!!” Nadia sesenggukan sambil menatap kesal pada Ray.
Ray terbahak menyaksikan ekspresi lucu Nadia.
Lalu mendadak dia diam, kembali menatap Nadia serius. “Nad, mungkin aku bukan
lelaki yang romantis yang bisa berikan bunga mawar untuk menghiasi pagimu
setiap hari. Tapi aku akan berusaha berikan yang terbaik untukmu dan masa depan
kita. Kau adalah peri hujan buatku. Kau jadi oase buat hidupku yang hampir
kering. Terima kasih, Nad ….”
Nadia dan Ray berpandangan lalu saling bertukar senyum.
Di luar, hujan masih gerimis, sedangkan hati mereka seolah tersirami hujan
cinta.
***
suka kak sama cerpennya. :)
BalasHapushujan itu gue banget :)
salam :3
Terima kasih mas :D
Hapus