Minggu, 28 April 2013

Yang Lalu Datang Lagi



      Liburan semester lima sudah tiba, namun rasa malas justru rajin menghinggapi. Semester kemarin sangat menguras fisik dan pikiranku. Makan dan tidur tak teratur, badan jadi tidak terurus. Aku melihat ke sekeliling kamarku. Segala benda berserakan tidak pada tempatnya. Buku-buku, kertas, CD musik, serta sampah bekas makanan dan minuman bertebaran hampir di setiap bagian di kamar ini.

Aku menghela napas berat sambil bangkit dari posisi ‘nempel’ di kasur. Satu persatu barang kubereskan. Buku dan CD musik kutata di raknya masing-masing. Sampah kukumpulkan dalam satu plastik berukuran sedang untuk segera kupindahkan ke tempat sampah di samping pintu kamar.


Saat membereskan buku-buku itulah aku menemukan benda bersampul coklat ini, rapih di sudut bagian dalam rak buku. Aku menyentuh buku itu pelan-pelan dan melirik tulisan “Perjalanan Kita” di sampulnya. Aku buka halaman pertama. Seketika duniaku terasa berhenti tiga detik. Wajah seseorang tiba-tiba muncul.

Deby Morenita dan Fadly Sefian. Tercetak rapi oleh tulisan tangan di situ. Deby…. Gadis yang pernah mengisi perjalananku. Gadis yang pernah jadi alasanku untuk tak menyerah. Gadis yang banyak memberiku pelajaran hidup. Deby… yang pernah ada di perjalananku.

Aku meraih buku itu menuju kasurku yang sudah rapi. Aku menjatuhkan tubuh dan menghembuskan penat sehabis membereskan ‘kamar kapal pecah’ku. Mataku kembali fokus pada buku yang kembali mengingatkanku pada dia. Pada Deby-ku….

Aku membolak balik isinya. Ada banyak foto, sajak, serta cerita yang kami tulis bersama. Rekaman perjalanan saat kami pacaran, agar kami tak pernah lupa. Aku ingat, buku ini tidak sendiri. Pasangannya—buku bersampul sama—juga ada pada Deby. Aku menerka sendiri, apa mungkin Deby masih menyimpan buku itu?

Pada lembar kedua aku temukan awal kisah kami. Saat pertama kalinya, di taman sekolah saat kami kelas dua SMA, aku dan Deby jadian… Dari hari ke hari semua terasa indah, semua terlewati dengan penuh kebahagiaan.

Seudah lama sekali sejak terakhir kami bertemu. Sudah sekitar tiga tahun sejak kami memutuskan untuk berpisah….
***

          Rasa kantuk dan kamar ber-AC membuatku betah berlama-lama di kamarku ini. Salah satu tempat favoritku. Tapi, pesan singkat dari Andre, salah satu temanku di Komunitas Pecinta Buku membuatku harus segera bergegas. Andre dan teman-teman lainnya ternyata sedang menuju taman dekat rumahku. Aku baru ingat, kami akan mengadakan pertemuan mingguan untuk membahas buku-buku yang sudah dibaca dalam seminggu ini.

Aku lalu bergegas mandi dan berpakaian. Setengah jam kemudian aku sudah siap dengan kaos oblong dan celana pendek di badan. Aku lalu pamit dan berjalan menuju taman kompleks yang hanya ditempuh lima menit dengan berjalan kaki.

Mereka sudah tiba duluan dan berkumpul di bawah pohon besar di tengah taman. Aku berjalan mendekat dan menyapa mereka satu persatu. Salah satu aktivitas yang aku suka adalah berkumpul dengan mereka para pecinta buku. Kami bisa membicarakan hal-hal positif yang sedang berkembang di kalangan remaja dan anak muda. Banyak hal-hal yang berguna bisa kami lakukan. Mengembangkan kreativitas dan hobi agar selalu terhindar dari hal negatif.

“Ada event apa lagi, nih?” tanyaku pada Panji.

“Bulan depan kita ada bedah buku dengan salah satu penulis buku, skenario, sekaligus pengusaha muda.”

Aku mengangguk menyetujui kegiatan akan datang itu. Setelah itu kami lanjut berdiskusi tentang persiapan dan lain-lainnya.

“Hai semua…,” sebuah suara kecil dan halus mengangetkan kami.

Aku dan kawan-kawan menoleh dan terkejut menemukan sesosok gadis berkerudung yang sangat kami kenal dan rindukan beridiri dengan senyum manisnya di depan kami.

“Deby!” seru Astrid, salah satu anggota komunitas sambil merangkul Deby erat. Semua perempuan bergantian merangkul dan menyalaminya. Kami para lelaki hanya dilempari senyum tipis gadis ini.

Tak dapat dipungkiri, kami semua rindu sosok Deby. Sudah tiga tahun dia menghilang dari komunitas ini. Ya, aku dan Deby dulu sama-sama anggota di komunitas ini. Tapi sejak tiga tahun lalu ia memutuskan kuliah di Jogja, otomatis kontak kami dengannya perlahan hilang.

Menatap matanya, melihat di sosoknya, ya penampilannya sungguh sangat-sangat berubah dari dulu yang aku kenal. Aku tahu tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini semua sudah ada jalan ceritanya.  Dan mungkin ini jalan cerita yang Tuhan berikan untukku.

Teman-teman mendorong-dorongku dari belakang untuk menghampiri deby, semua agenda diskusi terhenti sejenak semua terbawa suasana rindu. Deby adalah anak yang baik, ramah, dan santun. Maka dari itu, dia sangat dicintai banyak teman-teman karna sifatnya tadi.

“Hi Deby Morenita, apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa, ya.” Aku melempar senyum dan menjulurkn tangan kepadanya.

“Hei Fadly Sefian. Iya nih, udah lama ya. Bahkan komunikasi pun terputus begitu saja antara kita.” Dia membalas senyuman. Dia menundukan kepalanya dan merapatkan kedua tangannya, ya salaman khas wanita kepada yang bukan muhrimnya.

Deby kini mengenakan jilbab, mahkotanya  yang dulu terurai indah kini tertutup rapat. Tidak lagi memakai celana jeans tapi rok panjang. Tidak lagi memakai kaos oblong kesukaannya dulu tapi memakai baju lengan panjang dan longgar tidak menunjukan lekuk tubuhnya. Kepergiannya membawanya menjadi sosok yang berbeda dari yang dulu. Perubahan total yang membuat aku jadi semakin kagum.

Saat kami berkumpul, waktu tak akan terasa lama. Cepat dan tak ingin berpisah. Tiga jam berlalu begitu cepat diskusi untuk event bedah buku seorang penulis terkenal ditutup dengan hasil yang bagus. Sponsor sudah dapat, tempat pun sudah ada. Tinggal tunggu hari ‘H’ untuk merealisasikannya,

Satu-persatu teman-temanku berpamitan.

“Maaf, aku gak bisa bareng kamu, Deb. Aku ada urusan lagi. Kamu pulang sendiri gak apa-apa, ya?” Retno berpamitan. Deby mengangguk Retno berlalu pergi dan taman ini tinggalah hanya aku, Ical, Fera dan Deby.

“Kita juga duluan ya Fad, Deb. Mau ke toko buku.” Mereka pun ikut berlalu di bawa senja sore ini.

 “Kamu mau langsung pulang? Main ke rumah dulu, yuk. Ibu dan adikku pasti senang kalau kamu berkunjung walau sebentar.” ajakku melepas kesunyian. Entahlah kita seolah seperti saat baru kenal dahulu, malu-malu.

“Boleh, kebetulan aku nggak ada acara lagi. Oya, gimana kabar Wiwin? Udah lama aku gak ketemu dia, kangen….” Wajahnya terlihat senang.

Deby dulu sering sekali main ke rumah bukan hanya untuk menemuiku tapi untuk bermain dengan Wiwin, adikku yang baru berumur tiga tahun. Kalau mereka sudah main berdua aku sering dilupakan.

Obrolan kami lanjutkan sambil jalan menuju rumahku. Jika dulu setiap kegiatan yang aku atau dia lakukan selalu kita bagi bersama lewat komunikasi yang cukup sering. Setelah berpisah semua berubah menjadi tidak pernah sama sekali. Sama seperti yang dialami kebanyakan orang, mantan seolah-olah menjadi musuh yang harus dihindari, karena cinta atau benci mudah sekali tumbuh di antara laki-laki dan perempuan yang dulu sangat dekat.

 “Sejak kapan kamu berjilbab?” tanyaku mencairkan kesunyian.

 “Alhamdulillah sejak semester satu aku sudah mengenakannya, Fad.” Dia tersenyum. Dan entah mengapa senyuman selalu membuat hati ini tenang.

Sampailah kami di rumahku.

“Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan saat memasuki pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam.” Ibu menghampiri kami. “Ini Deby, kan? Ya ampun, ibu sampai pangling. Kamu cantik sekali, Sayang. Sudah lama tidak main ke rumah, sudah lupa ya sama ibu dan wiwin?”

 “Masih inget dong, sama ibu yang cantik dan baik. Deby kalau di sana suka kangen sama ibu dan Wiwin tau, tapi apa boleh buat kuliah masih padat-padatnya, Bu.”

Ibu menyilakan Deby masuk. Aku pamit ke kamar sebentar. Aku mengambil sebuah benda yang kemarin sempat aku temukan lagi. Aku hampiri Deby dan memberikan buku yang sama-sama kita punyai. “Masih ingat ini?” Aku berikan bukunya.

Deby mengambilnya. Melihat isi luarnya dan tersenyum lebar. Dia buka buku itu, dia balik dan terus di balik. Setiap lembar yang ia buka sepertinya mengembalikan memori kenangan masa lalunya yang dulu pergi. Ruang kenangan yang lama tersimpan rapi kini terbuka kembali. Sedih, senang, suka cita kembali hadir walau bukan dalam bentuk nyata. Hanya kenangan.

Masa lalu adalah pelajaran berharga untuk hidup agar yang buruk tidak terulang kembali dan yang baik menjadi semakin baik. Sayangnya tak semua bisa melakukan itu dengan baik. Terlepas dari kata-kata manis itu aku sendiri belum benar-benar bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Aku beberapa kali jatuh pada lubang kesalahan yang sama, termasuk sekarang aku jatuh cinta (lagi) pada senyum yang sama untuk kedua kalinya.

Saat rasa cinta datang duniaku seolah berhenti untuk hal-hal lain. Semua seakan tiada. Hanya ada dia dan senyumnya yang membuat aku tak sanggup berkata-kata.  Dia mahkluk Tuhan yang sering membuat banyak mata terkagum. Dia juga telah menumbuhkan banyak benih rasa senang pada setiap makhluk yang dia temui. Terlepas berapa banyak makhluk yang mungkin sudah terlukai olehnya, yang pasti populasi makhluk yang mencintainya jauh lebih banyak.

“Aku masih ingat isi di tiap lembar buku ini, semua masih tersimpan rapi dalam ingatanku. Semua tentangmu membekas di hati dan perasaan. Kalau saja kamu tahu, tahun pertama aku di Jogja bayanganmu masih melekat erat dalam pikiran, hati ini susah tenang. Namamu tak lupa aku sebut dalam setiap doaku. Bahkan sampai saat ini masih. Yang lalu telah berlalu. Aku tahu semua salahku yang mengajak kamu putus, tanpa ada alasan yang jelas dan kamu malah mengiyakan saja.”

Jarak kami cukup jauh untuk sebuah obrolan. Dari dulu pun tak pernah kita duduk berdekatan karena aku dan Deby sudah berkomitmen untuk tidak melakukan hal-hal di luar batas agama.

“Kamu menghilang sekian minggu, tidak ada kabar yang masuk lewat jalur manapun. Padahal aku cuman mau bilang kalau aku ingin kita balik lagi. Nggak begini adanya. Tapi apa daya aku sudah putus asa dan untuk terakhir kalinya kita bertemu di kopdar tiga tahun lalu aku berpamitan pada semua teman-teman. Pergi membawa semua kenangan kita bersama.”

Kami mengobrol hal-hal lain. Tentang dulu, tentang sekarang, dan tentang masa depan. Cukup lama sampai tak terasa hari makin malam. Aku menoleh ke jam dinding. Sudah pukul 8 malam.

“Deb, sudah malam, nih. Nanti dicariin orang tuamu.”

Deby mengangguk lalu berjalan menuju dapur untuk menemui ibuku dan berpamitan.

Aku mengantar deby sampai depan rumahnya dan disambut oleh ibunya. Beliau membukakan pintu untuk kami. Aku terpaksa menolak dengan halus ajakannya untuk mampir, sebab mengingat waktu yang semakin larut.

 “Fadly….” Deby memanggil dan coba mengejarku.

Aku menghentikan motorku dan menoleh ke belakang. “Ada apa, Deb?”

“Aku liburan di Jakarta sudah seminggu dan besok aku balik ke Jogja. Pukul tujuh pagi jadwal keberangkat kereta dari Gambir. Aku senang dapat mengulang kembali memori tiga tahun lalu. Terima kasih untuk hari ini ya, Fadly.” Deby tersenyum tipis padaku.

“Sama-sama, Deby. Aku juga senang bisa membagi dan mengulang semua ini. Besok aku antar ya, ke Gambir?”

Kemudian aku pamit pulang.
***

         Usai shalat subuh aku memacu sepeda motorku menuju rumah Deby. Sampai di sana dia sudah terlihat dengan pakaian rapi dan kerudung yang menghiasi kepalanya, menambah cantik penampilannya hari ini.

“Masuk dulu Fad, kita sarapan bareng.”

Aku kenal dengan semua penghuni rumah ini. Tiga tahun yang lalu aku sering berkunjung kesini membagi dan dibagi kisah bersama keluarga kecil Deby. Suasana keluaraga yang harmonis, kasih sayang bertebaran di rumah ini. Dan ini yang membuat aku rindu berada di sini kembali.

 Usai sarapan kami bergegas. Deby pamit kepada kedua orang tua dan abangnya. Setelah diberi wejangan dan acara peluk-pelukan melepas anak, kami pun berangkat.

 Kami sampai di stasiun setengah jam sebelum waktu keberangkatan. Kami duduk di kursi yang disediakan stasiun untuk menanti kereta. Hening beberapa saat sampai Deby bersuara.

“Fad, kita berpisah disini, ya. Aku sebenarnya belum mau pulang. Pertemuan dengan kamu, teman-teman, juga ibumu membuat aku betah di sini. Tapi apa boleh buat, tugas-tuga ku di Jogja sudah menungguku.”  Nada suara Deby terdengar sedih dan berat. Matanya berkaca.

“Deb, kamu tahu kenapa pas kamu bilang minta putus dulu, aku menghilang dari duniamu? Semua aku lakukan untuk kebaikan kita berdua. Aku ingin fokus sama kuliahku dan aku pun ingin kamu fokus dengan kuliahmu.

“Sebenarnya aku takut bertemu kamu kembali...,” kataku meliriknya.

Deby mengangkatt kepalanya yang sedari tadi menunduk karena menangis. “Kenapa takut?” tanyanya penasaran

“Seperti yang sering aku ucapkan dalam hati dan terekam oleh memori kepalaku. Aku takut jatuh lagi pada senyum yang sama. Ya, senyum itu ada di kamu…, dan sekarang aku jatuh cinta lagi padamu.”

Suara pengumuman sudah terdengar, mengabarkan bahwa kereta sudah datang. Orang-orang yang duduk di seberang kami sudah berjalan masuk kereta.

 “Sejujurnya aku masih cinta sama kamu, Fad—” kata Deby pelan tapi menyejukkan di telingaku. “Tapi, aku gak bisa menjalin hubungan pacaran seperti dulu. Sejak aku berjilbab, aku sudah janji pada diri ku sendiri bahwa aku tak mau pacaran sampai halal.” Deby menatapku dengan wajah sendu.

 “Deby Aqmarina, coba lihat mataku.”

Deby menatap mataku. Tatapan yang hangat.

 “Jika Allah takdirkan kita berjodoh, kita akan jalan bersama. Kamu harus percaya itu. Tapi jika tidak, berarti Allah punya jalan yang lebih indah untuk kita berdua…. Umur kita masih muda, lebih baik kita fokus untuk mengejar semua cita-cita yang belum tercapai. Terlalu cepat untuk mengakhiri semua hanya sampai di sini dan terlalu dini untuk kita menghalalkan hubungan ini.

“Aku janji, pada saatnya nanti aku akan menemui orang tuamu dan mempertemukan kedua orang tua kita untuk duduk bersama membicarakan hari baik pernikahan kita… Kita gak akan pacaran, kita tetap berteman sama seperti dengan teman-teman yang lain.”

Deby tersenyum dan mengangguk.

“Tetap jaga hatimu….” 






Gambar: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)