Liburan
semester lima sudah tiba, namun rasa malas justru rajin menghinggapi. Semester
kemarin sangat menguras fisik dan pikiranku. Makan dan tidur tak teratur, badan
jadi tidak terurus. Aku melihat ke sekeliling kamarku. Segala benda berserakan
tidak pada tempatnya. Buku-buku, kertas, CD
musik, serta sampah bekas makanan dan minuman bertebaran hampir di setiap
bagian di kamar ini.
Aku
menghela napas berat sambil bangkit dari posisi ‘nempel’ di kasur. Satu persatu
barang kubereskan. Buku dan CD musik
kutata di raknya masing-masing. Sampah kukumpulkan dalam satu plastik berukuran
sedang untuk segera kupindahkan ke tempat sampah di samping pintu kamar.
Saat
membereskan buku-buku itulah aku menemukan benda bersampul coklat ini, rapih di
sudut bagian dalam rak buku. Aku menyentuh buku itu pelan-pelan dan melirik
tulisan “Perjalanan Kita” di sampulnya. Aku buka halaman pertama. Seketika
duniaku terasa berhenti tiga detik. Wajah seseorang tiba-tiba muncul.
Deby Morenita dan Fadly Sefian. Tercetak rapi oleh
tulisan tangan di situ. Deby…. Gadis yang pernah mengisi perjalananku. Gadis
yang pernah jadi alasanku untuk tak menyerah. Gadis yang banyak memberiku
pelajaran hidup. Deby… yang pernah ada di perjalananku.
Aku
meraih buku itu menuju kasurku yang sudah rapi. Aku menjatuhkan tubuh dan
menghembuskan penat sehabis membereskan ‘kamar kapal pecah’ku. Mataku kembali
fokus pada buku yang kembali mengingatkanku pada dia. Pada Deby-ku….
Aku
membolak balik isinya. Ada banyak foto, sajak, serta cerita yang kami tulis
bersama. Rekaman perjalanan saat kami pacaran, agar kami tak pernah lupa. Aku
ingat, buku ini tidak sendiri. Pasangannya—buku bersampul sama—juga ada pada
Deby. Aku menerka sendiri, apa mungkin Deby masih menyimpan buku itu?
Pada
lembar kedua aku temukan awal kisah kami. Saat pertama kalinya, di taman
sekolah saat kami kelas dua SMA, aku dan Deby jadian… Dari hari ke hari semua
terasa indah, semua terlewati dengan penuh kebahagiaan.
Seudah
lama sekali sejak terakhir kami bertemu. Sudah sekitar tiga tahun sejak kami
memutuskan untuk berpisah….
***
Rasa
kantuk dan kamar ber-AC membuatku betah berlama-lama di kamarku ini. Salah satu
tempat favoritku. Tapi, pesan singkat dari Andre, salah satu temanku di
Komunitas Pecinta Buku membuatku harus segera bergegas. Andre dan teman-teman
lainnya ternyata sedang menuju taman dekat rumahku. Aku baru ingat, kami akan
mengadakan pertemuan mingguan untuk membahas buku-buku yang sudah dibaca dalam
seminggu ini.
Aku
lalu bergegas mandi dan berpakaian. Setengah jam kemudian aku sudah siap dengan
kaos oblong dan celana pendek di badan. Aku lalu pamit dan berjalan menuju
taman kompleks yang hanya ditempuh lima menit dengan berjalan kaki.
Mereka
sudah tiba duluan dan berkumpul di bawah pohon besar di tengah taman. Aku
berjalan mendekat dan menyapa mereka satu persatu. Salah satu aktivitas yang
aku suka adalah berkumpul dengan mereka para pecinta buku. Kami bisa
membicarakan hal-hal positif yang sedang berkembang di kalangan remaja dan anak
muda. Banyak hal-hal yang berguna bisa kami lakukan. Mengembangkan kreativitas
dan hobi agar selalu terhindar dari hal negatif.
“Ada event apa lagi, nih?” tanyaku pada Panji.
“Bulan
depan kita ada bedah buku dengan salah satu penulis buku, skenario, sekaligus
pengusaha muda.”
Aku
mengangguk menyetujui kegiatan akan datang itu. Setelah itu kami lanjut
berdiskusi tentang persiapan dan lain-lainnya.
“Hai
semua…,” sebuah suara kecil dan halus mengangetkan kami.
Aku
dan kawan-kawan menoleh dan terkejut menemukan sesosok gadis berkerudung yang
sangat kami kenal dan rindukan beridiri dengan senyum manisnya di depan kami.
“Deby!”
seru Astrid, salah satu anggota komunitas sambil merangkul Deby erat. Semua
perempuan bergantian merangkul dan menyalaminya. Kami para lelaki hanya
dilempari senyum tipis gadis ini.
Tak
dapat dipungkiri, kami semua rindu sosok Deby. Sudah tiga tahun dia menghilang
dari komunitas ini. Ya, aku dan Deby dulu sama-sama anggota di komunitas ini.
Tapi sejak tiga tahun lalu ia memutuskan kuliah di Jogja, otomatis kontak kami
dengannya perlahan hilang.
Menatap matanya, melihat di sosoknya, ya
penampilannya sungguh sangat-sangat berubah dari dulu yang aku kenal. Aku tahu
tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini semua sudah ada jalan ceritanya. Dan mungkin ini jalan cerita yang Tuhan
berikan untukku.
Teman-teman mendorong-dorongku dari
belakang untuk menghampiri deby, semua agenda diskusi terhenti sejenak semua
terbawa suasana rindu. Deby adalah anak yang baik, ramah, dan santun. Maka dari
itu, dia sangat dicintai banyak teman-teman karna sifatnya tadi.
“Hi Deby Morenita, apa kabar? Sudah lama
kita tidak berjumpa, ya.” Aku melempar senyum dan menjulurkn tangan kepadanya.
“Hei Fadly Sefian. Iya nih, udah lama
ya. Bahkan komunikasi pun terputus begitu saja antara kita.” Dia membalas
senyuman. Dia menundukan kepalanya dan merapatkan kedua tangannya, ya salaman khas
wanita kepada yang bukan muhrimnya.
Deby kini mengenakan jilbab,
mahkotanya yang dulu terurai indah kini
tertutup rapat. Tidak lagi memakai celana jeans tapi rok panjang. Tidak lagi
memakai kaos oblong kesukaannya dulu tapi memakai baju lengan panjang dan
longgar tidak menunjukan lekuk tubuhnya. Kepergiannya membawanya menjadi sosok
yang berbeda dari yang dulu. Perubahan total yang membuat aku jadi semakin
kagum.
Saat kami berkumpul, waktu tak akan
terasa lama. Cepat dan tak ingin berpisah. Tiga jam berlalu begitu cepat
diskusi untuk event bedah buku
seorang penulis terkenal ditutup dengan hasil yang bagus. Sponsor sudah dapat,
tempat pun sudah ada. Tinggal tunggu hari ‘H’ untuk merealisasikannya,
Satu-persatu teman-temanku berpamitan.
“Maaf, aku gak bisa bareng kamu, Deb. Aku
ada urusan lagi. Kamu pulang sendiri gak apa-apa, ya?” Retno berpamitan. Deby
mengangguk Retno berlalu pergi dan taman ini tinggalah hanya aku, Ical, Fera
dan Deby.
“Kita juga duluan ya Fad, Deb. Mau ke
toko buku.” Mereka pun ikut berlalu di bawa senja sore ini.
“Kamu
mau langsung pulang? Main ke rumah dulu, yuk. Ibu dan adikku pasti senang kalau
kamu berkunjung walau sebentar.” ajakku melepas kesunyian. Entahlah kita seolah
seperti saat baru kenal dahulu, malu-malu.
“Boleh, kebetulan aku nggak ada acara
lagi. Oya, gimana kabar Wiwin? Udah lama aku gak ketemu dia, kangen….” Wajahnya
terlihat senang.
Deby dulu sering sekali main ke rumah
bukan hanya untuk menemuiku tapi untuk bermain dengan Wiwin, adikku yang baru
berumur tiga tahun. Kalau mereka sudah main berdua aku sering dilupakan.
Obrolan kami lanjutkan sambil jalan
menuju rumahku. Jika dulu setiap kegiatan yang aku atau dia lakukan selalu kita
bagi bersama lewat komunikasi yang cukup sering. Setelah berpisah semua berubah
menjadi tidak pernah sama sekali. Sama seperti yang dialami kebanyakan orang,
mantan seolah-olah menjadi musuh yang harus dihindari, karena cinta atau benci
mudah sekali tumbuh di antara laki-laki dan perempuan yang dulu sangat dekat.
“Sejak
kapan kamu berjilbab?” tanyaku mencairkan kesunyian.
“Alhamdulillah
sejak semester satu aku sudah mengenakannya, Fad.” Dia tersenyum. Dan entah
mengapa senyuman selalu membuat hati ini tenang.
Sampailah kami di rumahku.
“Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan
saat memasuki pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam.” Ibu menghampiri kami.
“Ini Deby, kan? Ya ampun, ibu sampai pangling. Kamu cantik sekali, Sayang.
Sudah lama tidak main ke rumah, sudah lupa ya sama ibu dan wiwin?”
“Masih
inget dong, sama ibu yang cantik dan baik. Deby kalau di sana suka kangen sama
ibu dan Wiwin tau, tapi apa boleh buat kuliah masih padat-padatnya, Bu.”
Ibu menyilakan Deby masuk. Aku pamit ke
kamar sebentar. Aku mengambil sebuah benda yang kemarin sempat aku temukan
lagi. Aku hampiri Deby dan memberikan buku yang sama-sama kita punyai. “Masih
ingat ini?” Aku berikan bukunya.
Deby
mengambilnya. Melihat isi luarnya dan tersenyum lebar. Dia buka buku itu, dia
balik dan terus di balik. Setiap lembar yang ia buka sepertinya mengembalikan
memori kenangan masa lalunya yang dulu pergi. Ruang kenangan yang lama
tersimpan rapi kini terbuka kembali. Sedih, senang, suka cita kembali hadir
walau bukan dalam bentuk nyata. Hanya kenangan.
Masa
lalu adalah pelajaran berharga untuk hidup agar yang buruk tidak terulang
kembali dan yang baik menjadi semakin baik. Sayangnya tak semua bisa melakukan
itu dengan baik. Terlepas dari kata-kata manis itu aku sendiri belum
benar-benar bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Aku beberapa kali jatuh
pada lubang kesalahan yang sama, termasuk sekarang aku jatuh cinta (lagi) pada
senyum yang sama untuk kedua kalinya.
Saat
rasa cinta datang duniaku seolah berhenti untuk hal-hal lain. Semua seakan
tiada. Hanya ada dia dan senyumnya yang membuat aku tak sanggup
berkata-kata. Dia mahkluk Tuhan yang
sering membuat banyak mata terkagum. Dia juga telah menumbuhkan banyak benih
rasa senang pada setiap makhluk yang dia temui. Terlepas berapa banyak makhluk
yang mungkin sudah terlukai olehnya, yang pasti populasi makhluk yang
mencintainya jauh lebih banyak.
“Aku
masih ingat isi di tiap lembar buku ini, semua masih tersimpan rapi dalam
ingatanku. Semua tentangmu membekas di hati dan perasaan. Kalau saja kamu tahu,
tahun pertama aku di Jogja bayanganmu masih melekat erat dalam pikiran, hati
ini susah tenang. Namamu tak lupa aku sebut dalam setiap doaku. Bahkan sampai
saat ini masih. Yang lalu telah berlalu. Aku tahu semua salahku yang mengajak
kamu putus, tanpa ada alasan yang jelas dan kamu malah mengiyakan saja.”
Jarak
kami cukup jauh untuk sebuah obrolan. Dari dulu pun tak pernah kita duduk
berdekatan karena aku dan Deby sudah berkomitmen untuk tidak melakukan hal-hal
di luar batas agama.
“Kamu
menghilang sekian minggu, tidak ada kabar yang masuk lewat jalur manapun.
Padahal aku cuman mau bilang kalau aku ingin kita balik lagi. Nggak begini
adanya. Tapi apa daya aku sudah putus asa dan untuk terakhir kalinya kita
bertemu di kopdar tiga tahun lalu aku berpamitan pada semua teman-teman. Pergi membawa
semua kenangan kita bersama.”
Kami
mengobrol hal-hal lain. Tentang dulu, tentang sekarang, dan tentang masa depan.
Cukup lama sampai tak terasa hari makin malam. Aku menoleh ke jam dinding.
Sudah pukul 8 malam.
“Deb,
sudah malam, nih. Nanti dicariin orang tuamu.”
Deby
mengangguk lalu berjalan menuju dapur untuk menemui ibuku dan berpamitan.
Aku
mengantar deby sampai depan rumahnya dan disambut oleh ibunya. Beliau
membukakan pintu untuk kami. Aku terpaksa menolak dengan halus ajakannya untuk
mampir, sebab mengingat waktu yang semakin larut.
“Fadly….” Deby memanggil dan coba mengejarku.
Aku
menghentikan motorku dan menoleh ke belakang. “Ada apa, Deb?”
“Aku
liburan di Jakarta sudah seminggu dan besok aku balik ke Jogja. Pukul tujuh
pagi jadwal keberangkat kereta dari Gambir. Aku senang dapat mengulang kembali
memori tiga tahun lalu. Terima kasih untuk hari ini ya, Fadly.” Deby tersenyum
tipis padaku.
“Sama-sama,
Deby. Aku juga senang bisa membagi dan mengulang semua ini. Besok aku antar ya,
ke Gambir?”
Kemudian
aku pamit pulang.
***
Usai
shalat subuh aku memacu sepeda motorku menuju rumah Deby. Sampai di sana dia
sudah terlihat dengan pakaian rapi dan kerudung yang menghiasi kepalanya,
menambah cantik penampilannya hari ini.
“Masuk
dulu Fad, kita sarapan bareng.”
Aku
kenal dengan semua penghuni rumah ini. Tiga tahun yang lalu aku sering
berkunjung kesini membagi dan dibagi kisah bersama keluarga kecil Deby. Suasana
keluaraga yang harmonis, kasih sayang bertebaran di rumah ini. Dan ini yang membuat
aku rindu berada di sini kembali.
Usai
sarapan kami bergegas. Deby pamit kepada kedua orang tua dan abangnya. Setelah
diberi wejangan dan acara peluk-pelukan melepas anak, kami pun berangkat.
Kami sampai di stasiun setengah jam sebelum
waktu keberangkatan. Kami duduk di kursi yang disediakan stasiun untuk menanti
kereta. Hening beberapa saat sampai Deby bersuara.
“Fad,
kita berpisah disini, ya. Aku sebenarnya belum mau pulang. Pertemuan dengan
kamu, teman-teman, juga ibumu membuat aku betah di sini. Tapi apa boleh buat,
tugas-tuga ku di Jogja sudah menungguku.”
Nada suara Deby terdengar sedih dan berat. Matanya berkaca.
“Deb,
kamu tahu kenapa pas kamu bilang minta putus dulu, aku menghilang dari duniamu?
Semua aku lakukan untuk kebaikan kita berdua. Aku ingin fokus sama kuliahku dan
aku pun ingin kamu fokus dengan kuliahmu.
“Sebenarnya
aku takut bertemu kamu kembali...,” kataku meliriknya.
Deby
mengangkatt kepalanya yang sedari tadi menunduk karena menangis. “Kenapa
takut?” tanyanya penasaran
“Seperti
yang sering aku ucapkan dalam hati dan terekam oleh memori kepalaku. Aku takut
jatuh lagi pada senyum yang sama. Ya, senyum itu ada di kamu…, dan sekarang aku
jatuh cinta lagi padamu.”
Suara
pengumuman sudah terdengar, mengabarkan bahwa kereta sudah datang. Orang-orang
yang duduk di seberang kami sudah berjalan masuk kereta.
“Sejujurnya aku masih cinta sama kamu, Fad—” kata
Deby pelan tapi menyejukkan di telingaku. “Tapi, aku gak bisa menjalin hubungan
pacaran seperti dulu. Sejak aku berjilbab, aku sudah janji pada diri ku sendiri
bahwa aku tak mau pacaran sampai halal.” Deby menatapku dengan wajah sendu.
“Deby Aqmarina, coba lihat mataku.”
Deby
menatap mataku. Tatapan yang hangat.
“Jika Allah takdirkan kita berjodoh, kita akan
jalan bersama. Kamu harus percaya itu. Tapi jika tidak, berarti Allah punya
jalan yang lebih indah untuk kita berdua…. Umur kita masih muda, lebih baik
kita fokus untuk mengejar semua cita-cita yang belum tercapai. Terlalu cepat
untuk mengakhiri semua hanya sampai di sini dan terlalu dini untuk kita
menghalalkan hubungan ini.
“Aku
janji, pada saatnya nanti aku akan menemui orang tuamu dan mempertemukan kedua
orang tua kita untuk duduk bersama membicarakan hari baik pernikahan kita… Kita
gak akan pacaran, kita tetap berteman sama seperti dengan teman-teman yang lain.”
Deby
tersenyum dan mengangguk.
“Tetap
jaga hatimu….”
Gambar: Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)