Selasa, 09 Juli 2013

How To Improve Your Novel Scene

Salah satu statement yang sering aku dengar dari teman penulis yang lagi mentok adalah: “Clueless beneran, Bang. Nggak kebayang deh gimana caranya menulis novel sampai berpuluh-puluh halaman begitu.”

Nah, semoga setelah ini kamu jadi nggak kayak teman penulis yang itu. Notes kali ini adalah mengenai cara untuk membuat novelmu terasa lebih seru dan (hehe) tebal.

Notes: elemen-elemen yang akan kamu pelajari ini ibaratnya seperti garam. Kalau terlalu sedikit rasanya hambar, terlalu banyak kamu, err, langsung dituduh bakal cepat kawin. :)
Pakai sesuai porsi ya, Dear.


Karena ini lebih ke latihan, gimana kalau kita sekalian praktekkan teorinya.
Contoh adegan yang perlu kita improve:


Malika kaget saat mendapati keberadaan Arya di teras depan rumahnya.


“Udah berapa lama lo nunggu di sini?”


“Sejam setengah kali.”


“Masuk yuk. Lo pasti kedinginan kan, mana nggak pake jaket lagi.”


“Gue nggak dateng kemari buat lo omel-omeli,” cowok itu berkata. “Ngomong-ngomong, yang nganterin lo pulang itu siapa? Mobilnya bagus.”


“Bukan urusan lo!”


IMPROVEMENT #1: Deskripsi
Sedikit rahasia insider, salah satu faktor yang membuat penulis dipertimbangkan naskahnya untuk diterbitkan adalah kemampuannya mengolah deskripsi dalam novelnya. Soalnya, deskripsi adalah salah satu faktor yang menentukan ‘rasa’ novel ini.

Contoh improvement:
Bulan menggantung malas di langit malam itu. Cahayanya tidak terlalu terang karena nyaris disembunyikan awan, tapi masih cukup jelas menerangi sosok tegap yang sedang berdiri di depan teras rumahnya. Malika mengernyit saat mendapati dirinya merasa familier dengan siluet orang itu.


“Udah berapa lama lo nunggu di sini?” dia bertanya.

IMPROVEMENT #2: Backstory
Semua cerita mempunyai backstory, entah yang penting dan berhubungan langsung dengan konflik atau yang memperkuat imajinasi pembaca tentang si tokoh. Apa pun itu, hati-hati ya. Untuk backstory yang sudah dibahas di bab sebelumnya, sebaiknya kamu menuliskannya ulang dengan gaya berbeda atau pembaca akan merasa jenuh karena dicekoki hal yang sama terus.

Contoh improvement:
Malika menggosok-gosokkan lengan kurusnya yang sedikit gemetaran karena embusan angin malam itu. Sebelum menutup pintu gerbang, cewek itu menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ke arah cowok yang berada di dalam mobil. Lambaian selamat tinggalnya dibalas dengan suara klakson. How romantic, batinnya sinis.


Rangga memiliki semua yang dia cari, tapi entah kenapa malam ini membuktikan yang sebaliknya. He is so... plain. Like vanilla ice cream—ick. Nggak ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong Malika untuk mengenal cowok itu lebih jauh. Bahkan saat dia mencoba men-spice up kencan (kalau acara makan malam itu layak disebut begitu) mereka dengan flirting ringan di sela-sela menikmati dessert, cowok itu hanya menanggapinya dengan tersenyum malu-malu.


Kayak perawan desa—oops, pardon my sarcasm.


Bulan menggantung malas di langit malam itu. Cahayanya tidak terlalu terang karena nyaris disembunyikan awan, tapi masih cukup jelas menerangi sosok tegap yang sedang berdiri di depan teras rumahnya. Malika mengernyit saat mendapati dirinya merasa familier dengan siluet orang itu.

“Udah berapa lama lo nunggu di sini?” dia bertanya.

IMPROVEMENT #3: VARIASI ‘dia berkata’/’katanya’
Kamu bisa variasikan backstory dan deskripsi untuk menggantikan kalimat standar ‘dia berkata’/’katanya’. Khusus yang satu ini, kamu bisa belajar banyak dari membaca novel dan berlatih menulis.

Dengan kening mengernyit dan benak yang disesaki tanda tanya besar, cewek itu mempercepat sedikit langkah kakinya. Sejurus kemudian, saat berada cukup dekat dengan cowok itu, Malika bertanya agak sedikit ketus, “Udah berapa lama lo nunggu di sini?”

IMPROVEMENT #4: Sempurnakan adeganmu hingga jadi sebuah adegan utuh yang menarik

Malika menggosok-gosokkan lengan kurusnya yang sedikit gemetaran karena embusan angin malam itu. Sebelum menutup pintu gerbang, cewek itu menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ke arah cowok yang berada di dalam mobil. Lambaian selamat tinggalnya dibalas dengan suara klakson.
How romantic, batinnya sinis.

Rangga memiliki semua yang dia cari sebagai pacar, tapi entah kenapa malam ini membuktikan yang sebaliknya. He is so... plain. Like vanilla ice cream—ick. Nggak ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong Malika untuk mengenal cowok itu lebih jauh. Bahkan saat dia mencoba men-spice up kencan (kalau acara makan malam itu layak disebut begitu) mereka dengan flirting ringan di sela-sela menikmati dessert, cowok itu hanya menanggapinya dengan tersenyum malu-malu.

Kayak perawan desa—oops, pardon my sarcasm.

Saat berjalan menuju rumah, Malika baru menyadari keberadaan bulan yang sedang menggantung malas di langit malam itu. Cahayanya tidak terlalu terang karena nyaris disembunyikan awan, tapi masih cukup jelas menerangi sosok tegap yang sedang berdiri di depan teras rumahnya. Keningnya refleks mengernyit saat mendapati dirinya merasa familier dengan siluet orang itu.


Masih dengan benak yang disesaki tanda tanya besar, dia sedikit mempercepat langkahnya, menghampiri Arya, lalu bertanya, “Udah berapa lama lo nunggu di sini?”


“Sejam setengah kali.”

Cowok itu bahkan tak mau bersusah payah berdiri untuk menyambutnya. Kakinya diselonjorkan di undakan teras, udah serasa ada di rumah sendiri aja orang itu. Tapi Malika maklum. Bertetangga dengan Arya sejak kecil membuatnya gampang memaklumi segala sikap cuek dan semau-gue-nya yang bisa dibilang adalah trademark cowok itu dari dulu.


Dan—khusus yang terakhir ini, hanya Malika, buku harian pink-nya, dan Tuhan yang boleh tahu—itu jugalah alasan mengapa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya di sekitar Arya. She’s secretly in love with this boy. And later decides to find a way to get over him. Dengan berkencan sama cowok-plain-vanilla-slash-kelakuan-kayak-perawan-desa bernama Rangga misalnya.


Keputusan itu baru-baru ini diambilnya setelah kenyataan memberi petunjuk dengan jelas (dan lumayan pahit): Arya nggak punya perasaan yang sama seperti dirinya. Senin lalu, cowok itu menghampirinya bersama cewek lain. Teman sekampus tapi beda jurusan, Nana namanya.


Nana, pfuit.


Malika selalu refleks mendengus setiap kali mengeja nama itu di dalam kepalanya. Nggak hanya karena namanya mengesankan cewek itu sosok yang manis dan rapuh, penampilan cewek itu juga seperti mbak-mbak personil girlband Korea yang belakangan ini sedang happening. And she’s friggin’ pretty too—alasan lain untuk semakin iri dan semakin membenci sosok bernama Nana itu.


....


....


Begitulah. Seperti yang bisa diduga, keberadaan Nana membuat Malika harus buru-buru move on, rela atau nggak rela. Mencintai tetangga sebelah selama sekian tahun saja sudah kedengaran menyedihkan, apalagi kalau dia masih menyimpan perasaan yang sama meskipun jelas-jelas dia tahu cowok itu sudah punya pacar.


Rencana move on itu resmi dimulai hari ini. Tadinya sih mikir begitu..., sampai dia melihat Arya menunggunya SETENGAH JAM di luar rumah. Meskipun masih belum mengerti alasannya sama sekali, sedikit-banyak gestur itu membuat hatinya hangat. Dan itu seketika membuat dirinya khawatir.

Nggak boleh! Suara hatinya teriak-teriak protes. Nggak boleh suka sama Arya lagi. He’s not available anymore, Lika! Don’t you get it?!


Malika terus berjalan hingga sampai ke depan pintu. Genggaman eratnya di kenop pintu sesaat jadi pengalih perhatian yang ampuh dari godaan dari dalam dirinya untuk ikut duduk di sebelah Arya.

“Masuk yuk,” ajaknya, berusaha terdengar se-friendly dan sewajar mungkin. “Lo pasti kedinginan kan, mana nggak pake jaket lagi.”


“Gue nggak dateng kemari buat lo omel-omeli.” Oh sial. Dia ngambek. Dan saat seperti itu, Arya punya kebiasaan mencibirkan bibir yang—oh, Jesus, Mary, and Joseph!—seksi luar biasa. Malika mendesah pelan saat menyadari sekujur tubuhnya dialiri gelenyar familier yang selalu terjadinya karena Arya seorang.


“Ngomong-ngomong,” cowok itu menunjuk mobil yang pelan-pelan menjauh di luar gerbang dengan dagunya, “yang nganterin lo pulang itu siapa? Mobilnya bagus.”


“Bukan urusan lo!” jawabnya ketus. Setengah karena frustrasi akibat reaksi tubuhnya, setengahnya lagi karena merasa sedang diinterogasi cowok itu.


“Judes amat! Gue kan cuman nanya doang.”


“Bodo! Tetep bukan urusan lo juga!”


....

(penulis terlalu malas untuk melanjutkan contoh ini hehe)


Notes: Yang di atas hanya contoh. That’s just how I usually write—jadi jangan dianggap sebagai acuan mati saat kamu mengerjakan novel kamu sendiri. Aku percaya, kamu pasti punya gaya menulis sendiri yang aku yakin punya potensi untuk berhasil.

Berlatih deh—serius. Dan jangan lupa banyak membaca juga.



 Kiat Menulis by Christian Simamora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)