Sabtu, 13 Juli 2013

Oh That's So Cliche

Tujuh tahun jadi penulis, dua puluh sekian tahun jadi pembaca, masih saja nggak habis pikir kenapa orang-orang membaca novel romance dan berkomentar, “Ugh, ceritanya klise.” Alis sampai naik sebelah, kening berkerut bingung... dan dalam hati, diam-diam bertanya, “Are you kidding me?!”

Dan ternyata bukan hanya pembaca novel-novel romance lokal saja yang melakukan ini, pembaca novel luar juga sama saja. Saat sedang browsing santai di suatu sore, saya menemukan artikel di sebuah website tentang betapa klisenya karya-karya Nicholas Sparks. Dan seolah itu saja nggak cukup buruk, ada juga yang sampai membuat gambar atau bagan (?) tentang bagaimana cara menulis novel seklise Mr. Sparks dan ends up menandatangani kontrak jutaan dolar plus movie right untuk film yang jadi box office di kemudian hari. Oh yeah, menurut si pembuat artikel dan gambar itu lucu banget sampai nggak menyadari betapa salah pahamnya dia tentang romance.

Ini yang tak banyak orang sadari mengenai plot: ada plot maskulin dan plot feminin.

Plot maskulin lebih dulu populer ketimbang plot feminin. Malah, kebanyakan novel klasik menggunakan plot jenis ini. Ciri-cirinya sangat jelas, plot ini cocok untuk menceritakan petualangan, cerita kepahlawanan, kehidupan sosial politik, dan misteri.


Plot feminin, in other hand, mulai dikenal ketika novel romance pertama terbit. Seperti namanya, plot jenis ini cocok untuk menceritakan hal-hal yang dekat dengan human interest: cinta, perjuangan hidup (you know, ‘rags to riches’ kind of story), dan pengorbanan (I can only think ‘Oshin’—sowwy). Plot feminin menggali lebih dalam mengenai perasaan setiap tokohnya, memberi gambaran lebih manusiawi mengenai alasan di setiap tindakan dan keputusan.

Sebelum membaca mengenai teori plot ini pun, sebagai penikmat manga, saya merasakan sendiri perbedaan jelas saat membaca komik shonen (untuk pembaca laki-laki) dan shoujo (untuk pembaca perempuan). Tak hanya pilihan plot, gambaran laki-laki dan perempuan di masing-masing genre manga itu pun bisa terlihat kontras sekali—seperti langit dan bumi.

Selain plot, bahasa dan cara penceritaan juga bisa menunjukkan apakah si penulis pengikut aliran maskulin atau feminin. Gampangnya, bandingkan saja novel ladlit atau yang menargetkan pembaca laki-laki (Lupus dan teman-temannya) dan novel teenlit yang untuk perempuan (Eiffel... I’m In Love dan teman-temannya). Novel ladlit mayoritas memakai plot maskulin, terlihat dari kesederhanaan kalimatnya, tidak terlalu banyak gestur. Bandingkan dengan gaya teenlit: lebih ekspresif, dengan slang dan gestur, dan kadang-kadang menggunakan kata-kata yang oleh pembaca sering dikatakan ‘flowery’.

Janice Radway (1984) meneliti pembaca romance dan menemukan bahwa membaca romance merupakan 'a protest against the fundamental inability of heterosexuality to satisfy the very desires with which it engendered women' atau untuk 'create a fully coherent, fully satisfied, female subjectivity'. Tujuan novel romance dibuat adalah untuk memungkinkan pembaca perempuan untuk menikmati pengalaman memegang kendali atas jalan hidup dan memuaskan keinginan yang tak bisa diberikan oleh budaya patriarkal.

So yeah, Janice sepertinya tak heran ketika kemudian menemukan kesimpulan bahwa novel romance memang formulaic (bisa ditebak alur ceritanya). Tujuan membaca romance kebanyakan adalah demi alasan ‘escapism’ yang, berdasarkan teori Janice, memiliki dua kekuatan besar: reference to conditions left behind and the projection of an optimistic, utopian future. Kita membaca romance untuk sesaat lupa bahwa kenyataan hidup kadang-kadang bisa lebih bitchy daripada ibu tiri Cinderella. Di novel romance, kita bisa menemukan bahwa seseorang bisa benar-benar mencintai orang lain dan berjuang dengan segenap hidupnya untuk membahagiakannya.

Plot romance itu seperti resep nasi goreng, dan para penulisnya ditantang untuk mengembangkan resep itu dengan caranya masing-masing. Berusaha supaya rasa nasi gorengnya berbeda dengan yang lain—ada yang menambah cabe, ada yang senang menaburi dengan banyak bawang goreng, dan ada yang royal dengan potongan sosis. Makanya, dalam perkembangannya, genre romance jadi punya banyak sekali sub genre. Malah, bisa dibilang, yang terbanyak dibandingkan genre lain. Mulai dari yang reader based (chicklit, teenlit, henlit), content based (inspirational, contemporary, erotica), sampai yang merupakan mashups dengan genre lain (paranormal romance, thriller romance).

Apa pun sub genre yang diusung si novel, ceritanya tetap saja akan mengikuti aturan dasar genre romance. Jadi, saat kamu mencari sesuatu yang so called not-cliché di novel romance, oh Dearest Captain Ah-vious, sama saja kali dengan mencari resep nasi goreng yang nggak ada nasinya. Darling, you choose wrong genre of literature. Sudah banyak penelitian dilakukan dan semuanya menyimpulkan hal serupa. Sad ending, happy ending, bahkan ending menggantung pun tetap saja akan tertebak alurnya (saking terprediksinya, malah ada teori tentang itu—bisa dilihat di Notes lain di fanpage ini).

Novel romance akan selalu klise, tak peduli bagaimana pun caranya kamu melihatnya. And you’re just two thousands and late to realize that obvious fact.






Kiat Menulis by Christian Simamora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)