Sebelum menulis, belajarlah membaca sebagai penulis.
Bongkar setiap cerita dan kenali elemen-elemennya. Dari situ, coba menyusunnya
kembali. Bila kamu mengambil gelar Masters di bidang menulis, kamu akan diminta
menelaah setiap paragraf/kalimat. No other tricks. Just read & read. Menulis
itu tidak melulu pakai hati. Harus ada basis pengetahuannya. Penggunaan
kalimat. Penyusunan dialog. Detil. Repeat: craftsmanship.
Penulis luar cenderung menyarankan calon penulis untuk
menulis pakai hati karena di sana ilmu menulis sudah diterapkan tahun-tahunan.
Harus seimbang. Buat kita yang belum mengenal tulisan sebagai
ilmu/craftsmanship, penting banget untuk mendalami the ground rules of writing.
Again, supaya seimbang.
Buat saya menulis itu adalah 1% talenta dan 99% keahlian.
Dua hal yg tidak bisa diajarkan dalam menulis adalah Persepsi & Empati. Di
luar itu, menulis adalah science. Bukan exact science, tapi tetap science. Mau
break the rules? Monggo! But first you need to understand them. Argumen:
Bukankah penulis-pnulis besar itu rata-rata otodidak? Yes. Tapi otodidak bukan
berarti tidak ada basis pembelajaran. Tetap ada dasarnya.
Hemingway belajar soal teknik menulis dari Ezra Pound.
Fitzgerald belajar soal teknik menulis dari Maxwell Perkins. Otodidak. Dan juga
tentunya ada sang guru besar Gertrude Stein yang memang senang “membongkar”
karya-karya seni. Dia ini juga mentor Hemingway. Teori itu penting untuk
diketahui, dipelajari dan dijadikan panduan — bukan untuk jadi “esensi”
tulisan. Teori & praktik harus seimbang. Jangan mentang-mentang menulis itu
seni, lantas menganggap teori itu sampah. Nanti hasilnya beneran jadi sampah.
Belajar seimbang. Belajarlah juga untuk menghormati medium tulisan. Setiap
kalimat yang kamu tulis itu diperhatikan konsistensinya, logikanya, susunannya.
Belajarlah untuk bertanggung-jawab atas tulisan kamu
sendiri. Setiap kalimat harus ada pertanggung-jawabannya. Itu harus.
Integritas. Hati-hati dalam menggunakan tanda baca. Untuk titik, tidak perlu
lebih dari tiga (…) Untuk lainnya, tidak usah diulang-ulang (?!?!?!). Dulu dalam
menyortir karya tulis yang masuk ke jurnal sastra, ada panduan: karya yang
tampilan, grammar, tanda bacanya berantakan — langsung ditolak. Itu namanya
standarisasi. Konten boleh bebas, seluas-luasnya. Tapi standar kerapihan,
kualitas tulisan harus dipertahankan.
Saya punya istilah: nulis itu sama kayak bikin radio.
Kalo nggak mau belajar bongkar radio, nggak usah bikin radio. Dengerin aja.
Jangan kamu asal-asalan nyusun radio dan terus ujung-ujungnya menurunkan
kualitas radio yang sebenarnya. Make the effort. Learn the craft. Kamu boleh
bikin radio mutakhir dengan segala macam fitur yang modern — tapi prinsipnya
tetap sama: medium komunikasi.
Dulu saya sempat berpikir bahwa nulis itu melulu tentang
inspirasi, intuisi, hati — pokoknya hal-hal yang berbau “mistis”. Bahwa menulis
itu adalah sebuah medan perang di mana para praktisi yang sukses mempunyai
kualitas sebagai prajurit “the one”. Ketika kuliah soal menulis di AS dan
bekerja di jurnal sastra @TheAtlantic saya diluruskan berkali-kali: “Writing is both
art and science!”. Saya menolak “aturan menulis” berkali-kali dan kukuh
mempertahankan paham bahwa menulis itu hanya “hati, hati dan hati”. Ujung-ujungnya
semua tulisan saya juga ditolak oleh mereka. Tidak memenuhi standar. Akhirnya
saya belajar menghormati medium tulisan.
Dari situ saya baru tersadar alasan Amerika dan Inggris
menjadi besar dalam dunia tulis-menulis. Mereka melihat tulisan sebagai art
& science. Mereka menetapkan standar untuk tulisan setinggi-tingginya. No
mercy when it comes to quality. Jangan melenturkan standar demi popularitas.
Hentikan dorongan untuk menulis sepanjang-panjangnya. Menulislah secukupnya.
Jangan terpaku pada jumlah kata/halaman. Biar cerita yang tentukan.
Saat ingin menulis, jangan pikir “Berapa halaman yang
harus saya isi?” tapi pikir “Apa yang mau saya sampaikan?” — repeat it over and
over. Saat baca buku yg ‘njelimet’ jangan buru-buru nyalahin penulisnya. Coba
liat lagi di mana ‘njelimet’-nya. Bongkar. Apa tolak-ukur kamu?
Setiap kamu mereview karya tulis, perhatikan teknik yang
digunakan penulis. Di mana gagalnya, suksesnya? Jangan mereview pake hati. Dulu,
untuk merekomendasikan karya seseorang pada editor, saya harus kasih alasan
konkret kenapa menurut saya karya itu bagus. Dari alur cerita, karakter,
setting, detil, konflik, tema, premis, dll. Harus jelas. Itu perlu ilmu. Nggak
bisa pake hati/intuisi. Jangan keasyikan beranalogi sampe analoginya nggak
masuk akal. Jangan keasyikan nulis indah sampe efektivitasnya tercecer entah
kemana.
Menulis itu, salah satunya, adalah “seni menahan diri”.
Jangan impulsif. Kalo kamu nonton film soal penulis impulsif jangan ditiru. Real
writers are never impulsive. Mereka selalu penuh kalkulasi. Real writers have
doubts. Mereka sll ragu saat berhadapan sama blank page. Bottom line: buka
pikiran. Jangan pamer jumlah buku yang kamu baca. Jangan pamer berapa halaman
buku yang kamu tulis. Intinya jangan pamer.
Kalau mau pamer, pamerlah soal seberapa baik kamu
mengenal sebuah karya tulis. Bongkar dengan benar. Jawab semua pertanyaan. Membaca
5 juta buku setahun nggak akan bikin kamu lebih hebat dari orang yang cuma baca
5 buku setahun tapi ngerti isinya luar-dalam. Puitis itu nggak semata-mata soal
keindahan, tapi keindahan yang punya esensi. Keindahan yang punya ukuran ritme,
meter, estetika. Di Indonesia, kita kebanjiran talenta. Tapi craftsmanship-nya
masih minim. Sebagian besar karena kita menolak melihat tulisan sebagai ilmu.
Penulis Indonesia jaman dulu semua punya craftsmanship
yang oke. Mulai dari Pram sampai Mira W sampai V. Lestari, dll. Ada standar
menulis. Entah kenapa makin ke sini standarnya makin merosot. Bahkan
kesalahan-kesalahan paling mendasar pun kita tolerir. Padahal itu fatal. Penggunaan
grammar, metafora, hiperbola, analogi, dan penjabaran setting, karakter, serta
susunan alur cerita itu harus diperhatikan. Jangan fokus pada typo buku. Jangan
fokus pada font. Jangan fokus pada cover saat membedah buku. Itu semua masuk ke
produksi. Bedah konten.
Kalau menilai karakter, jangan lihat dari lucunya,
tampannya, kerennya. Lihat perkembangan dia dalam cerita/buku dari segi
personal & sosial. Belajar mengenali KLISE. Klise itu contoh kemalasan
penulis dalam menjabarkan sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang unik. Belajar
mengenali REPETISI. Banyak buku yang setiap halaman mengulang poin di halaman
sebelumnya. Mendikte pembaca. Digedor sampe modar. Belajar mengenal paham
“Writing is SHOW business”. Jangan menjabarkan panjang-panjang perasaan orang.
Tunjukkan apa bentuk sedih, senang, kecewa.
Dulu saya pernah nulis gini: “Amarahnya mengendap seperti
kanker yang diam-diam membunuh.”
Niatnya mau keren, puitis, dramatis. Dikasih lingkaran
merah dan tanda seru besar sama editor, sekaligus pertanyaan: “Kamu pernah
lihat endapan kanker dalam tubuh manusia?”
“Apakah kamu bisa menyamakan kanker dan amarah? Di mana
logikanya? Bagaimana saya harus memvisualisasikannya?” — cecar edior
Saya lantas jadi berpikir panjang. Dan akhirnya sadar,
kalimat yang saya buat itu mudah banget. Nggak perlu mikir. Modal inspirasi doang.
Hasilnya? Nggak bisa dibela sama sekali. Nggak bisa dipertanggung-jawabkan.
Nggak bisa dijelaskan. Dan yang jelas nggak punya integritas. Makanya jangan
pernah anggap enteng pembaca kamu. Jangan mendikte mereka (meskipun ada yang
memang suka didikte). Kasih ruang interpretasi. Salah satu cerita saya bahkan
pernah dikomentari sampai ke sepatu yang digunakan oleh salah satu karakter.
Sepatu!
Tapi memang sepatu itu saya gunakan untuk menunjukkan
poin tertentu dalam cerita. Dan karena sudah pernah ditegur sebelumnya, saya
siap. Saat saya kasih jawaban konkret soal kenapa sepatu itu penting ada di
sana, para editor pun memberi lampu hijau. Terbit lengkap dgn sepatu!
Lesson: setiap detil yang kamu tampilkan harus ada
alasannya. Jangan cuma kasih detil for the sake of having details. Pernah kan
baca berita yang saat menggambarkan mobil lewat dikasih detil sampe ke plat
nomor, warna mobil, bentuk mobil, kecepatan mobil? Itu detil yang nggak
penting. Kecuali harga plat nomor itu 1M. Warnanya adalah warna baru di dunia.
Bentuknya juga. Speed-nya di luar norma.
Terus kalo mau bilang hujan, bilang saja hujan. Jangan
dihitung berapa tetes. Kalo mau lihat bintang, lihat bintang. Jgn dihitung
jumlahnya.
Kalo mau bikin/nilai setting jangan terpaku sama lokasi.
Liat konteks budaya, sejarah, populasi-nya. Setting itu lebih dari lokasi. Kalo
lokasi, ya disebut lokasi. Kalo setting itu gambar utuh lokasi, budaya,
sejarah, populasi, topografi, infrastruktur. Mau buat setting fantasi yang
dibuat-buat, elemen-elemen tadi harus tetap ada. Nggak bisa ditawar. Nggak bisa
diakal2in. Pasti ketahuan kalo asal.
Belajarlah juga soal KONFLIK. Berantem itu bukan konflik.
Tembak-tembakanan itu bukan konflik. Adu mulut itu bukan konflik.
Tampar-tamparanan juga bukan konflik. Konflik itu perbedaan visi, misi, paham —
lebih besar dari manusianya. Orang selingkuh berantem soal komitmen, bukan
siapanya, di mananya. Perang itu bukan masalah tembak-tembakannya, tapi
ideologi yang melandasi perang. Power play antara kubu politik. Again, lbh
besar dari karakter.
Jadi kalo kamu baca adegan berantem, adu mulut, atau apa
yang dilabelin konflik — liat lagi. Mana konfliknya. Mana paham yang
bertentangan? Kalo nggak bisa kamu telusuri pertentangan visi, misi, paham-nya
berarti bukan konflik. Cuma situasi. Temporary. Cepat dilupakan. Dan kalo
konflik kamu sifatnya seperti itu, cerita kamu akan dragging, harus
diseret-seret dari satu bab ke bab lain. Tonggaknya lemah.
Kamu coba perhatikan: apa konflik antara Harry Potter dan
Voldemort? Coba bongkar lapisan-lapisannya. Kenali satu-satu. Terus pasang
lagi. Belajar juga soal macam-macam ending. Hanya karena endingnya nggak sesuai
sama ekspektasi kamu bukan berarti endingnya salah. Coba telaah lagi. Cerita
dengan ending implisit, ending twist, ending gantung itu punya efeknya
masing-masing. Mungkin bukan favorit kamu, tapi tetep legit.
Perhatikan penggunaannya. Lihat lagi efeknya apa terhadap
cerita. Bayangkan kalau endingnya berbeda. Apa perubahan yang kamu rasakan? Pahami
juga beragam macam plot. Ada plot klasik, ada mini plot ada anti plot. Sebagian
besar hanya kenal plot klasik. Paling populer. Tapi kalo kamu cuma kenal plot
klasik, jangan cepat2 “dismiss” bentuk plot lain sebagai sesuatu yang nggak
layak. Pelajari jenis lainnya.
Belajar juga cara mengenali elemen2 kreativitas lewat
karya-karya visual. Penulis nggak selamanya hanya belajar dari tulisan. Cerita
ada di mana-mana. Lihat perbedaannya dalam karya tulis dan visual; dan
perhatikan juga persamaannya. Perhatikan tekniknya. Menulis itu perlu banget
logika. Meskipun tema cerita kamu ada di dunia ajaib, semua hal di dalamnya
harus bisa msk ke dalam logika pembaca.
Kalo ada sepeda terbang, berilah informasi tentang kenapa
sepeda terbang bisa ada di dunia itu dan apa fungsinya. Harry Potter yang magis itu pun logis, lho.
Tidak ada sihir yang munculnya tiba-tiba dan ditinggalkan tanpa penjelasan. Maka jangan terlalu bersandar pada imajinasi,
harus seimbang dengan penggunaan nalar. Jangan asbun, pikirkan setiap kalimat yang
mau ditulis.
Kalo kamu mau nulis adegan ada orang kabur dari penjara,
pikirin tuh rutenya gimana. Penjaganya ada di mana. Jangan dadakan tiba-tiba
bebas. Terus juga hindari generalisasi yg biasanya diwakili sama adjective/kata
sifat. Tampan, cantik, indah itu relatif. Kasih liat sekalian. Jangan sebut si
inu tampan, si ini cantik luar biasa. Cantik luar biasa itu seperti apa? Ada yang
bilang Lady Gaga cantik. Ada yg bilang amit-amit. Ada lagi yang suka bilang
“sukses mendunia”. Sukses mendunia itu tolak-ukurnya apa? Jas? Mobil Mercedez
Benz? Rambut klimis? Bukan? Trus apa?
Ada juga yg sering bilang: “Rumahnya megah”. Megah itu
relatif lho. Buat orang yang tinggal di rumah satu kamar, rumah 4 kamar itu
megah. Buat orang yang tinggal di rumah 4 kamar, rumah 10 kamar baru megah. Dan
seterusnya. Jadi nggak usah bilang megah. Tunjukkin aja seperti apa rumahnya.
Waktu seminar kemarin saya sempat ditanya, kok cerpen-cerpen
klasik banyak yang kesannya “nggak selesai” kenapa ya? Karena mereka pake mini
plot. Cerita pendek pada dasarnya tidak didesain untuk menggunakan plot klasik.
Karena harus punya ruang interpretasi sangat luas. Kalo mau belajar bongkar
cerita, mulailah dengan cerita pendek. Highlight tiap paragrafnya. Lihat apa
maksud penulis. Momentum cerita. Nah kalo mau diskusi cerita pendek klasik,
bisa mampir ke http://www.fiksilotus.com —
bisa bongkar-pasang cerpen bareng2 sama pecinta cerpen
Belajar menulis A READER’S REPORT. Bukan resensi lho ya.
A reader’s report itu untuk benefit kamu. Elemen apa yg menarik dlm cerita.
Kenapa. Kalo nemu cerita/buku yang kamu suka banget, dibongkar pelan-pelan.
Baca dua, tiga kali. Sama dengan film. Kenali elemenelemen ceritanya.
Saat menulis, jangan pake bahasa gaul kecuali untuk
dialog. Bahasa gaul itu umurnya pendek banget. Gunakan bahasa baku (bukan kaku
lho). Pastikan cerita kamu punya momentum. Keasyikan nulis dialog, karakternya
nggak gerak. Di situ-situ aja sampe berlembar-lembar. Pegel buset! Meskipun
karakter kamu lagi ngobrol di kamar, dia harus gerak. Jangan pikirannya melulu
yang digerakkin. Badannya.
Belajar observasi gestur orang. Kalo kesel ngapain. Kalo
seneng ngapain. Supaya kamu nggak terjebak sama penjabaran emosi yang itu-itu
lagi. Jangan kayak sinetron, ditinggal sejam masih di situuuu aja ceritanya
nggak gerak kemana-mana. Sibuk close-up dan melotot atau nangis.
Nah, dalam tulisan, kalo kerja kamu menggambarkan emosi,
itu sama kayak close-up di sinetron. Buang pita film. Buang kertas. Terus kalo
bikin setting juga jangan sibuk name-drop doang. Pergi ke Paris minum kopi
memandangi Eiffel Tower. Biasa. Bosen. Norak. Cari detil Paris yang belum
dieksplor. Riset dong. Masa itu-itu lagi. Ngopi mulu. Terus kenapa juga harus
di Paris? Jangan bilang biar keren!
Riset itu gunanya supaya kamu menguasai topik yg kamu
angkat dalam tulisan kamu sendiri. Tapi pembaca jangan dikuliahin. Kalo kamu
bikin setting di Louvre, kamu harus pelajarin semua koleksi yang ada di sana.
Tapi nggak usah nguliahin pembaca soal koleksi itu. Pengetahuan dari riset kamu
itu berguna saat kamu nulis, detail-detail kecil akan keluar secara otomatis
karena kamu sudah ada persiapan. Itu yang akan jadi kredibilitas karya kamu.
Kalo kamu mau cerita soal pilot, pelajarin tuh mekanisme pesawat, dinamika
penumpang + attendant. Cari tahu semua yang harus diketahui pilot. Gaya
hidupnya, cara dia komunikasi, lingo-nya, cara dia berpakaian. Semuanya. No
exception.
Abis itu jangan balas dendam kamu nguliahin pembaca soal
riset kamu. Hasilnya harus keluar dalam eksposisi dialog, detil penampilan,
dll. Tujuannya adalah agar riset kamu blend in sama cerita sampe pembaca nggak
ngeh saat ngebacanya. It just feels credible. That’s the point. Saya kemarin
ini baca cerita soal koki di Jakarta. Terus yang ditunjukkin apa. Mobilnya,
apartemennya, dilema percintaannya. Laaaah! Katanya koki kelas dunia yang udah
kerja di berbagai restoran Prancis. Terus kerjanya cuma naik mobil mewah, tidur
di apartemen mewah sama pacaran.
Ketahuan banget yang nulis males riset. Hidup koki hebat
itu seperti apa. Nggak seenak keliatannya kok. Makanya ceritanya jadi dangkal. Kredibilitas
itu penting. Riset bisa mengubah cerita kamu jadi lebih baik. Makanya saya
bilang semua hal harus kamu pertanggungjawabkan. Kalo bikin karakter juga
jangan dikotak-kotakin pake bingkai: si ini pemarah, si itu penakut. Tunjukkin
pake reaksi mereka. Terus kalo bangun krisis sampe klimaks, jangan lupa dari
klimaks ke penutup itu harus ada krisis lagi. Jangan dilempar pembacanya.
Sebelum saya akhiri cuap-cuap yangg berujung jadi kultwit
nyasar ini, saya ingin ingatkan untuk terus bersemangat menulis. Jangan jadi
jiper. Jangan takut sama ground rules. Begitu kamu sudah kenal ground rules,
kamu akan tahu bahwa menulis baik itu bukan untung-untungan. Ini artinya kamu
bisa improve skill kamu. Teknik kamu. Pertajam suara kamu. Belajar cara
deskripsi yang baik dan benar. Ini artinya kamu nggak perlu meraba-raba.
Sekarang kamu tau bahwa nulis ada pakemnya. Pelajari. Kalo mau di-break juga
silakan. Selama pesan yang mau kamu sampaikan dalam cerita tetap sampai, kamu
boleh break all the rules. Tapi tetep harus tahu rules-nya dulu.
Apa namanya kalo ada penulis yang break the rules tanpa
tau rules-nya? Asal-asalan itu namanya. Sesuatu yang ditakuti biasanya sesuatu
yg tidak dikenali. So get to know the theory. Terus latih nalar kamu. Persepsi.
Empati. Big ammos.
Kalo twit-twit tadi membuat kamu limbung atau menciptakan
turbulensi, itu bagus. Artinya kamu mau membuka pikiran. Jangan sampe nakutin
kamu. Kalo kamu lantas jadi takut dan nggak berani berkarya, artinya kamu nggak
siap berkarya. Ya nikmatin karya orang dulu kalo gitu. Sebagian besar pekerjaan
menulis melibatkan paham memotivasi diri sendiri. Dorongannya harus dari kamu
sendiri, bukan saya atau pacar kamu.
Kalo sibuk, make the time. Lima menit seminggu, sejam
seminggu. Write. Latih terus kemampuan kamu. Nggak ada kata berhenti berlatih. Ada
kabar buruk dan kabar baik tentang menulis. Kamu siap? Kabar buruknya: nggak
semua orang bisa nulis. Baiknya: nggak ada yg punya hak nentuin siapa yg bisa
jadi penulis dan siapa yang nggak. So…keep writing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)