Rabu, 02 Oktober 2013

Kiat Menulis Oleh Maggie Tiojakin 2

Sebelum menulis, belajarlah membaca sebagai penulis. Bongkar setiap cerita dan kenali elemen-elemennya. Dari situ, coba menyusunnya kembali. Bila kamu mengambil gelar Masters di bidang menulis, kamu akan diminta menelaah setiap paragraf/kalimat. No other tricks. Just read & read. Menulis itu tidak melulu pakai hati. Harus ada basis pengetahuannya. Penggunaan kalimat. Penyusunan dialog. Detil. Repeat: craftsmanship.

Penulis luar cenderung menyarankan calon penulis untuk menulis pakai hati karena di sana ilmu menulis sudah diterapkan tahun-tahunan. Harus seimbang. Buat kita yang belum mengenal tulisan sebagai ilmu/craftsmanship, penting banget untuk mendalami the ground rules of writing. Again, supaya seimbang.

Buat saya menulis itu adalah 1% talenta dan 99% keahlian. Dua hal yg tidak bisa diajarkan dalam menulis adalah Persepsi & Empati. Di luar itu, menulis adalah science. Bukan exact science, tapi tetap science. Mau break the rules? Monggo! But first you need to understand them. Argumen: Bukankah penulis-pnulis besar itu rata-rata otodidak? Yes. Tapi otodidak bukan berarti tidak ada basis pembelajaran. Tetap ada dasarnya.


Hemingway belajar soal teknik menulis dari Ezra Pound. Fitzgerald belajar soal teknik menulis dari Maxwell Perkins. Otodidak. Dan juga tentunya ada sang guru besar Gertrude Stein yang memang senang “membongkar” karya-karya seni. Dia ini juga mentor Hemingway. Teori itu penting untuk diketahui, dipelajari dan dijadikan panduan — bukan untuk jadi “esensi” tulisan. Teori & praktik harus seimbang. Jangan mentang-mentang menulis itu seni, lantas menganggap teori itu sampah. Nanti hasilnya beneran jadi sampah. Belajar seimbang. Belajarlah juga untuk menghormati medium tulisan. Setiap kalimat yang kamu tulis itu diperhatikan konsistensinya, logikanya, susunannya.

Belajarlah untuk bertanggung-jawab atas tulisan kamu sendiri. Setiap kalimat harus ada pertanggung-jawabannya. Itu harus. Integritas. Hati-hati dalam menggunakan tanda baca. Untuk titik, tidak perlu lebih dari tiga (…) Untuk lainnya, tidak usah diulang-ulang (?!?!?!). Dulu dalam menyortir karya tulis yang masuk ke jurnal sastra, ada panduan: karya yang tampilan, grammar, tanda bacanya berantakan — langsung ditolak. Itu namanya standarisasi. Konten boleh bebas, seluas-luasnya. Tapi standar kerapihan, kualitas tulisan harus dipertahankan.

Saya punya istilah: nulis itu sama kayak bikin radio. Kalo nggak mau belajar bongkar radio, nggak usah bikin radio. Dengerin aja. Jangan kamu asal-asalan nyusun radio dan terus ujung-ujungnya menurunkan kualitas radio yang sebenarnya. Make the effort. Learn the craft. Kamu boleh bikin radio mutakhir dengan segala macam fitur yang modern — tapi prinsipnya tetap sama: medium komunikasi.

Dulu saya sempat berpikir bahwa nulis itu melulu tentang inspirasi, intuisi, hati — pokoknya hal-hal yang berbau “mistis”. Bahwa menulis itu adalah sebuah medan perang di mana para praktisi yang sukses mempunyai kualitas sebagai prajurit “the one”. Ketika kuliah soal menulis di AS dan bekerja di jurnal sastra @TheAtlantic saya diluruskan berkali-kali: “Writing is both art and science!”. Saya menolak “aturan menulis” berkali-kali dan kukuh mempertahankan paham bahwa menulis itu hanya “hati, hati dan hati”. Ujung-ujungnya semua tulisan saya juga ditolak oleh mereka. Tidak memenuhi standar. Akhirnya saya belajar menghormati medium tulisan.

Dari situ saya baru tersadar alasan Amerika dan Inggris menjadi besar dalam dunia tulis-menulis. Mereka melihat tulisan sebagai art & science. Mereka menetapkan standar untuk tulisan setinggi-tingginya. No mercy when it comes to quality. Jangan melenturkan standar demi popularitas. Hentikan dorongan untuk menulis sepanjang-panjangnya. Menulislah secukupnya. Jangan terpaku pada jumlah kata/halaman. Biar cerita yang tentukan.

Saat ingin menulis, jangan pikir “Berapa halaman yang harus saya isi?” tapi pikir “Apa yang mau saya sampaikan?” — repeat it over and over. Saat baca buku yg ‘njelimet’ jangan buru-buru nyalahin penulisnya. Coba liat lagi di mana ‘njelimet’-nya. Bongkar. Apa tolak-ukur kamu?

Setiap kamu mereview karya tulis, perhatikan teknik yang digunakan penulis. Di mana gagalnya, suksesnya? Jangan mereview pake hati. Dulu, untuk merekomendasikan karya seseorang pada editor, saya harus kasih alasan konkret kenapa menurut saya karya itu bagus. Dari alur cerita, karakter, setting, detil, konflik, tema, premis, dll. Harus jelas. Itu perlu ilmu. Nggak bisa pake hati/intuisi. Jangan keasyikan beranalogi sampe analoginya nggak masuk akal. Jangan keasyikan nulis indah sampe efektivitasnya tercecer entah kemana.

Menulis itu, salah satunya, adalah “seni menahan diri”. Jangan impulsif. Kalo kamu nonton film soal penulis impulsif jangan ditiru. Real writers are never impulsive. Mereka selalu penuh kalkulasi. Real writers have doubts. Mereka sll ragu saat berhadapan sama blank page. Bottom line: buka pikiran. Jangan pamer jumlah buku yang kamu baca. Jangan pamer berapa halaman buku yang kamu tulis. Intinya jangan pamer.

Kalau mau pamer, pamerlah soal seberapa baik kamu mengenal sebuah karya tulis. Bongkar dengan benar. Jawab semua pertanyaan. Membaca 5 juta buku setahun nggak akan bikin kamu lebih hebat dari orang yang cuma baca 5 buku setahun tapi ngerti isinya luar-dalam. Puitis itu nggak semata-mata soal keindahan, tapi keindahan yang punya esensi. Keindahan yang punya ukuran ritme, meter, estetika. Di Indonesia, kita kebanjiran talenta. Tapi craftsmanship-nya masih minim. Sebagian besar karena kita menolak melihat tulisan sebagai ilmu.

Penulis Indonesia jaman dulu semua punya craftsmanship yang oke. Mulai dari Pram sampai Mira W sampai V. Lestari, dll. Ada standar menulis. Entah kenapa makin ke sini standarnya makin merosot. Bahkan kesalahan-kesalahan paling mendasar pun kita tolerir. Padahal itu fatal. Penggunaan grammar, metafora, hiperbola, analogi, dan penjabaran setting, karakter, serta susunan alur cerita itu harus diperhatikan. Jangan fokus pada typo buku. Jangan fokus pada font. Jangan fokus pada cover saat membedah buku. Itu semua masuk ke produksi. Bedah konten.

Kalau menilai karakter, jangan lihat dari lucunya, tampannya, kerennya. Lihat perkembangan dia dalam cerita/buku dari segi personal & sosial. Belajar mengenali KLISE. Klise itu contoh kemalasan penulis dalam menjabarkan sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang unik. Belajar mengenali REPETISI. Banyak buku yang setiap halaman mengulang poin di halaman sebelumnya. Mendikte pembaca. Digedor sampe modar. Belajar mengenal paham “Writing is SHOW business”. Jangan menjabarkan panjang-panjang perasaan orang. Tunjukkan apa bentuk sedih, senang, kecewa.

Dulu saya pernah nulis gini: “Amarahnya mengendap seperti kanker yang diam-diam membunuh.”
Niatnya mau keren, puitis, dramatis. Dikasih lingkaran merah dan tanda seru besar sama editor, sekaligus pertanyaan: “Kamu pernah lihat endapan kanker dalam tubuh manusia?”
“Apakah kamu bisa menyamakan kanker dan amarah? Di mana logikanya? Bagaimana saya harus memvisualisasikannya?” — cecar edior

Saya lantas jadi berpikir panjang. Dan akhirnya sadar, kalimat yang saya buat itu mudah banget. Nggak perlu mikir. Modal inspirasi doang. Hasilnya? Nggak bisa dibela sama sekali. Nggak bisa dipertanggung-jawabkan. Nggak bisa dijelaskan. Dan yang jelas nggak punya integritas. Makanya jangan pernah anggap enteng pembaca kamu. Jangan mendikte mereka (meskipun ada yang memang suka didikte). Kasih ruang interpretasi. Salah satu cerita saya bahkan pernah dikomentari sampai ke sepatu yang digunakan oleh salah satu karakter. Sepatu!

Tapi memang sepatu itu saya gunakan untuk menunjukkan poin tertentu dalam cerita. Dan karena sudah pernah ditegur sebelumnya, saya siap. Saat saya kasih jawaban konkret soal kenapa sepatu itu penting ada di sana, para editor pun memberi lampu hijau. Terbit lengkap dgn sepatu!

Lesson: setiap detil yang kamu tampilkan harus ada alasannya. Jangan cuma kasih detil for the sake of having details. Pernah kan baca berita yang saat menggambarkan mobil lewat dikasih detil sampe ke plat nomor, warna mobil, bentuk mobil, kecepatan mobil? Itu detil yang nggak penting. Kecuali harga plat nomor itu 1M. Warnanya adalah warna baru di dunia. Bentuknya juga. Speed-nya di luar norma.
Terus kalo mau bilang hujan, bilang saja hujan. Jangan dihitung berapa tetes. Kalo mau lihat bintang, lihat bintang. Jgn dihitung jumlahnya.

Kalo mau bikin/nilai setting jangan terpaku sama lokasi. Liat konteks budaya, sejarah, populasi-nya. Setting itu lebih dari lokasi. Kalo lokasi, ya disebut lokasi. Kalo setting itu gambar utuh lokasi, budaya, sejarah, populasi, topografi, infrastruktur. Mau buat setting fantasi yang dibuat-buat, elemen-elemen tadi harus tetap ada. Nggak bisa ditawar. Nggak bisa diakal2in. Pasti ketahuan kalo asal.

Belajarlah juga soal KONFLIK. Berantem itu bukan konflik. Tembak-tembakanan itu bukan konflik. Adu mulut itu bukan konflik. Tampar-tamparanan juga bukan konflik. Konflik itu perbedaan visi, misi, paham — lebih besar dari manusianya. Orang selingkuh berantem soal komitmen, bukan siapanya, di mananya. Perang itu bukan masalah tembak-tembakannya, tapi ideologi yang melandasi perang. Power play antara kubu politik. Again, lbh besar dari karakter.

Jadi kalo kamu baca adegan berantem, adu mulut, atau apa yang dilabelin konflik — liat lagi. Mana konfliknya. Mana paham yang bertentangan? Kalo nggak bisa kamu telusuri pertentangan visi, misi, paham-nya berarti bukan konflik. Cuma situasi. Temporary. Cepat dilupakan. Dan kalo konflik kamu sifatnya seperti itu, cerita kamu akan dragging, harus diseret-seret dari satu bab ke bab lain. Tonggaknya lemah.

Kamu coba perhatikan: apa konflik antara Harry Potter dan Voldemort? Coba bongkar lapisan-lapisannya. Kenali satu-satu. Terus pasang lagi. Belajar juga soal macam-macam ending. Hanya karena endingnya nggak sesuai sama ekspektasi kamu bukan berarti endingnya salah. Coba telaah lagi. Cerita dengan ending implisit, ending twist, ending gantung itu punya efeknya masing-masing. Mungkin bukan favorit kamu, tapi tetep legit.

Perhatikan penggunaannya. Lihat lagi efeknya apa terhadap cerita. Bayangkan kalau endingnya berbeda. Apa perubahan yang kamu rasakan? Pahami juga beragam macam plot. Ada plot klasik, ada mini plot ada anti plot. Sebagian besar hanya kenal plot klasik. Paling populer. Tapi kalo kamu cuma kenal plot klasik, jangan cepat2 “dismiss” bentuk plot lain sebagai sesuatu yang nggak layak. Pelajari jenis lainnya.
Belajar juga cara mengenali elemen2 kreativitas lewat karya-karya visual. Penulis nggak selamanya hanya belajar dari tulisan. Cerita ada di mana-mana. Lihat perbedaannya dalam karya tulis dan visual; dan perhatikan juga persamaannya. Perhatikan tekniknya. Menulis itu perlu banget logika. Meskipun tema cerita kamu ada di dunia ajaib, semua hal di dalamnya harus bisa msk ke dalam logika pembaca.
Kalo ada sepeda terbang, berilah informasi tentang kenapa sepeda terbang bisa ada di dunia itu dan apa fungsinya. Harry Potter yang magis itu pun logis, lho. Tidak ada sihir yang munculnya tiba-tiba dan ditinggalkan tanpa penjelasan. Maka jangan terlalu bersandar pada imajinasi, harus seimbang dengan penggunaan nalar. Jangan asbun, pikirkan setiap kalimat yang mau ditulis.

Kalo kamu mau nulis adegan ada orang kabur dari penjara, pikirin tuh rutenya gimana. Penjaganya ada di mana. Jangan dadakan tiba-tiba bebas. Terus juga hindari generalisasi yg biasanya diwakili sama adjective/kata sifat. Tampan, cantik, indah itu relatif. Kasih liat sekalian. Jangan sebut si inu tampan, si ini cantik luar biasa. Cantik luar biasa itu seperti apa? Ada yang bilang Lady Gaga cantik. Ada yg bilang amit-amit. Ada lagi yang suka bilang “sukses mendunia”. Sukses mendunia itu tolak-ukurnya apa? Jas? Mobil Mercedez Benz? Rambut klimis? Bukan? Trus apa?

Ada juga yg sering bilang: “Rumahnya megah”. Megah itu relatif lho. Buat orang yang tinggal di rumah satu kamar, rumah 4 kamar itu megah. Buat orang yang tinggal di rumah 4 kamar, rumah 10 kamar baru megah. Dan seterusnya. Jadi nggak usah bilang megah. Tunjukkin aja seperti apa rumahnya.

Waktu seminar kemarin saya sempat ditanya, kok cerpen-cerpen klasik banyak yang kesannya “nggak selesai” kenapa ya? Karena mereka pake mini plot. Cerita pendek pada dasarnya tidak didesain untuk menggunakan plot klasik. Karena harus punya ruang interpretasi sangat luas. Kalo mau belajar bongkar cerita, mulailah dengan cerita pendek. Highlight tiap paragrafnya. Lihat apa maksud penulis. Momentum cerita. Nah kalo mau diskusi cerita pendek klasik, bisa mampir ke http://www.fiksilotus.com  — bisa bongkar-pasang cerpen bareng2 sama pecinta cerpen

Belajar menulis A READER’S REPORT. Bukan resensi lho ya. A reader’s report itu untuk benefit kamu. Elemen apa yg menarik dlm cerita. Kenapa. Kalo nemu cerita/buku yang kamu suka banget, dibongkar pelan-pelan. Baca dua, tiga kali. Sama dengan film. Kenali elemenelemen ceritanya.

Saat menulis, jangan pake bahasa gaul kecuali untuk dialog. Bahasa gaul itu umurnya pendek banget. Gunakan bahasa baku (bukan kaku lho). Pastikan cerita kamu punya momentum. Keasyikan nulis dialog, karakternya nggak gerak. Di situ-situ aja sampe berlembar-lembar. Pegel buset! Meskipun karakter kamu lagi ngobrol di kamar, dia harus gerak. Jangan pikirannya melulu yang digerakkin. Badannya.
Belajar observasi gestur orang. Kalo kesel ngapain. Kalo seneng ngapain. Supaya kamu nggak terjebak sama penjabaran emosi yang itu-itu lagi. Jangan kayak sinetron, ditinggal sejam masih di situuuu aja ceritanya nggak gerak kemana-mana. Sibuk close-up dan melotot atau nangis.

Nah, dalam tulisan, kalo kerja kamu menggambarkan emosi, itu sama kayak close-up di sinetron. Buang pita film. Buang kertas. Terus kalo bikin setting juga jangan sibuk name-drop doang. Pergi ke Paris minum kopi memandangi Eiffel Tower. Biasa. Bosen. Norak. Cari detil Paris yang belum dieksplor. Riset dong. Masa itu-itu lagi. Ngopi mulu. Terus kenapa juga harus di Paris? Jangan bilang biar keren!
Riset itu gunanya supaya kamu menguasai topik yg kamu angkat dalam tulisan kamu sendiri. Tapi pembaca jangan dikuliahin. Kalo kamu bikin setting di Louvre, kamu harus pelajarin semua koleksi yang ada di sana. Tapi nggak usah nguliahin pembaca soal koleksi itu. Pengetahuan dari riset kamu itu berguna saat kamu nulis, detail-detail kecil akan keluar secara otomatis karena kamu sudah ada persiapan. Itu yang akan jadi kredibilitas karya kamu. Kalo kamu mau cerita soal pilot, pelajarin tuh mekanisme pesawat, dinamika penumpang + attendant. Cari tahu semua yang harus diketahui pilot. Gaya hidupnya, cara dia komunikasi, lingo-nya, cara dia berpakaian. Semuanya. No exception.

Abis itu jangan balas dendam kamu nguliahin pembaca soal riset kamu. Hasilnya harus keluar dalam eksposisi dialog, detil penampilan, dll. Tujuannya adalah agar riset kamu blend in sama cerita sampe pembaca nggak ngeh saat ngebacanya. It just feels credible. That’s the point. Saya kemarin ini baca cerita soal koki di Jakarta. Terus yang ditunjukkin apa. Mobilnya, apartemennya, dilema percintaannya. Laaaah! Katanya koki kelas dunia yang udah kerja di berbagai restoran Prancis. Terus kerjanya cuma naik mobil mewah, tidur di apartemen mewah sama pacaran.

Ketahuan banget yang nulis males riset. Hidup koki hebat itu seperti apa. Nggak seenak keliatannya kok. Makanya ceritanya jadi dangkal. Kredibilitas itu penting. Riset bisa mengubah cerita kamu jadi lebih baik. Makanya saya bilang semua hal harus kamu pertanggungjawabkan. Kalo bikin karakter juga jangan dikotak-kotakin pake bingkai: si ini pemarah, si itu penakut. Tunjukkin pake reaksi mereka. Terus kalo bangun krisis sampe klimaks, jangan lupa dari klimaks ke penutup itu harus ada krisis lagi. Jangan dilempar pembacanya.

Sebelum saya akhiri cuap-cuap yangg berujung jadi kultwit nyasar ini, saya ingin ingatkan untuk terus bersemangat menulis. Jangan jadi jiper. Jangan takut sama ground rules. Begitu kamu sudah kenal ground rules, kamu akan tahu bahwa menulis baik itu bukan untung-untungan. Ini artinya kamu bisa improve skill kamu. Teknik kamu. Pertajam suara kamu. Belajar cara deskripsi yang baik dan benar. Ini artinya kamu nggak perlu meraba-raba. Sekarang kamu tau bahwa nulis ada pakemnya. Pelajari. Kalo mau di-break juga silakan. Selama pesan yang mau kamu sampaikan dalam cerita tetap sampai, kamu boleh break all the rules. Tapi tetep harus tahu rules-nya dulu.

Apa namanya kalo ada penulis yang break the rules tanpa tau rules-nya? Asal-asalan itu namanya. Sesuatu yang ditakuti biasanya sesuatu yg tidak dikenali. So get to know the theory. Terus latih nalar kamu. Persepsi. Empati. Big ammos.

Kalo twit-twit tadi membuat kamu limbung atau menciptakan turbulensi, itu bagus. Artinya kamu mau membuka pikiran. Jangan sampe nakutin kamu. Kalo kamu lantas jadi takut dan nggak berani berkarya, artinya kamu nggak siap berkarya. Ya nikmatin karya orang dulu kalo gitu. Sebagian besar pekerjaan menulis melibatkan paham memotivasi diri sendiri. Dorongannya harus dari kamu sendiri, bukan saya atau pacar kamu.


Kalo sibuk, make the time. Lima menit seminggu, sejam seminggu. Write. Latih terus kemampuan kamu. Nggak ada kata berhenti berlatih. Ada kabar buruk dan kabar baik tentang menulis. Kamu siap? Kabar buruknya: nggak semua orang bisa nulis. Baiknya: nggak ada yg punya hak nentuin siapa yg bisa jadi penulis dan siapa yang nggak. So…keep writing!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)