Di sebuah adegan, entah film atau serial TV apa yang pernah aku
tonton di masa lalu, ada bagian yang menurutku relevan banget dengan
yang akan kita bicarakan kali ini. Jadi ya, ceritanya, si cewek lagi
berantem hebat sama pacarnya. Dengan suara gemetar, cewek itu berkata
pada pasangannya—kira-kira begini, “Kita ada di masa sekarang, nggak
bisakah kamu mencintai aku yang sekarang juga? Kenapa masih melihat ke
belakang—ke masa lalu aku?”
Saat itu kayaknya aku ngikik-ngikik karena merasa itu dialog yang cheesy banget. Nggak nyangka, kelak di masa depan, tibalah kesempatan aku pengen bilang gitu ke para pembaca, “Nggak bisakah kalian berhenti nyari buku-buku aku yang sebelumnya?”
Hehehe.
Tapi, beneran, saat ada pembaca yang segitu penasarannya ingin membaca novel-novel aku dulu, waktu masih rajin menulis novel remaja yang lugu dan semacamnya, aku nggak bisa nggak deg-degan karenanya. Karena aku juga pembaca. Sadar atau nggak sadar, aku pasti akan membanding-bandingkan novel terbaru si penulis dengan yang sebelum-sebelumnya. Kalau bagusnya sama, makin cinta deh sama si penulis. Nah, kalau nggak...?
Saat itu kayaknya aku ngikik-ngikik karena merasa itu dialog yang cheesy banget. Nggak nyangka, kelak di masa depan, tibalah kesempatan aku pengen bilang gitu ke para pembaca, “Nggak bisakah kalian berhenti nyari buku-buku aku yang sebelumnya?”
Hehehe.
Tapi, beneran, saat ada pembaca yang segitu penasarannya ingin membaca novel-novel aku dulu, waktu masih rajin menulis novel remaja yang lugu dan semacamnya, aku nggak bisa nggak deg-degan karenanya. Karena aku juga pembaca. Sadar atau nggak sadar, aku pasti akan membanding-bandingkan novel terbaru si penulis dengan yang sebelum-sebelumnya. Kalau bagusnya sama, makin cinta deh sama si penulis. Nah, kalau nggak...?
UNTUK PEMBACA: “NOVEL ITU BARANG HANDMADE LHO.”
Dan seperti barang handmade lainnya, kualitas hasilnya nggak selalu sama satu sama lain. Coba tanya deh sama penulis lain di luar sana, diam-diam mereka juga sadar kok soal ini ketika menilai karya sendiri. Ada yang bangga sama novel pertamanya, novel kedua—mmpf—not so much. Ada yang baru ‘mletek’ (apa aku bener nulis istilah ini? Soalnya aku menulis ini berdasarkan celoteh Resita, anak GagasMedia juga) gaya menulisnya setelah sekian buku. Ada yang baru menemukan genrenya yang cocok dengan gaya menulisnya setelah mencoba beberapa genre di buku-buku sebelumnya.
It happens.
Semua penulis punya proses kreatifnya masing-masing. Nggak banyak yang beruntung bisa langsung terlihat keren di buku pertamanya.
Makanya—entah kamu akan setuju dengan teori aku ini atau nggak—aku biasanya memakai kelipatan empat untuk mengetes perkembangan seorang penulis. Kalau buku pertamanya gagal menghibur, buku kedua dan ketiga bisa dipakai untuk menyempurnakan gaya menulisnya dan..., ta-dah, buku keempat rasanya renyah seperti kerupuk kulit (my fave, by the way).
Tapi, yah, kalau ternyata nggak banyak berubah dari buku keempat, biasanya aku juga menyerah dan mengalihkan pengharapan idealis ini ke penulis lain. Syukur-syukur, harapanku terkabul dan—tring!—aku langsung jadi fans beratnya saat itu juga.
UNTUK PENULIS: “LO NGGAK BISA MELARIKAN DIRI DARI MASA LALU LO.”
Percuma sembunyi, teman. Nggak ada gunanya.
Bahkan ketika membaca reviu pembaca yang ‘beruntung’ menemukan novel remaja mula-mulaku di toko buku second (atau gudang rumah temennya ^^), terus berkomentar, “Aku lebih suka gaya menulis Christian Simamora yang sekarang ketimbang yang di buku ini,” aku cuman bisa mengangkat bahu dan berkata degan gaya ghetto chic, “Deym right, Bitch!” (jangan tersinggung kalau aku panggil ‘Bitch’—it’s my personal ‘term of endearment’).
Seperti si tokoh cewek di serial TV/film itu, aku juga akan bilang kalau aku dulu dan sekarang adalah penulis yang berbeda. Antara aku si penulis ‘Jangan Bilang Siapa-siapa’ dan aku si penulis ‘All You Can Eat’ ada banyak judul buku yang pernah mampir dalam hidupku. Inspirasi juga tak terhitung banyaknya selama itu. Belum lagi, aku banyak belajar dari kesalahan-kesalahan yang aku buat saat menulis buku-buku itu. Akhirnya aku tahu mana adegan yang berhasil mencuri hati pembaca, tokoh seperti apa yang ideal sebagai karakter utama, dsb.
So, writers, sudah saatnya untuk bilang ke para pembacamu: go ahead. Read my past books—I’m not afraid. Dan mungkin dengan begitu, mereka di luar sana juga akhirnya sadar, nggak gampang untuk jadi penulis yang karya-karyanya disukai banyak orang. Untuk menulis bagus butuh waktu dan juga ‘trial and error’. Syukur-syukur, siapa tahu lhooo... kerja keras dan lelahmu selama ini malah jadi inspirasi munculnya penulis baru. Right? Right?
Keep writing, y'all!
Kiat Menulis by Christian Simamora
Kiat Menulis by Christian Simamora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)