Pagi ini, saat mengecek inbox, saya menemukan e-mail
singkat dari seorang calon penulis. Dia bilang suka membaca novel-novel
terbitan GagasMedia dan pengen banget menulis novel. Masalahnya *insert jeng-jeng-jeng sound effect here* dia bingung harus mulai dari mana.
Kalau saya yang sekarang sih pasti dengan enteng menjawab, “Aduuuh, gampang banget tahu!” Yeah, yeah.
Tapi saya juga ingat, waktu mencoba menulis novel pertama pun saya
sama rempongnya dengan teman baru saya, si calon penulis ini.
Jadi, beberapa belas menit kemudian, ditemani First Night-nya Monica, saya menuliskan tip-tip sederhana ini.
MULAILAH DENGAN SEBUAH IDE, KEMBANGKAN MENJADI PLOT UTUH
Di setiap wawancara radio, talkshow, bahkan lewat e-mail,
pertanyaan ini paling sering ditujukan ke saya, “Dapat ide dari mana?”
Pengennya sih ngasih jawaban yang keren, ato lebih mantap lagi kalau
ada latar belakang magisnya. Kayak “Saya dapet idenya waktu bertama di
Gunung Bromo.” Sayangnya, yang kayak gitu nggak pernah terjadi. Saya
benci segala kegiatan outdoor, gimana ceritanya bisa nangkring di Gunung
Bromo segala? Hehe.
Ide seringnya muncul begitu saja.
Saat saya sedang menonton TV, membaca buku, malas-malasan dengan majalah
edisi terbaru di tangan. Saat saya sedang tidur-tiduran sambil main
game Facebook di komputer, saat sedang mandi, saat sedang makan, ngobrol dengan teman, bengong, belanja, ketawa-ketawa....
Serius,
bisa kapan aja—dan ini ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, saya
hampir tak pernah kehabisan ide. Sisi buruknya, orang yang kebanyakan
ide sama sialnya dengan orang yang tak punya ide sama sekali.
Makanya,
saat saya punya ide, saya tidak langsung ‘panas’ dan menuliskannya
menjadi sebuah novel. Percaya deh, saya sendiri bukti hidupnya, dan
hasilnya adalah tulisan beberapa halaman yang tak selesai. Ide yang saya
anggap keren saya sempurnakan dengan plotting. Saya harus tahu awal cerita, tengah, dan bagaimana ending-nya.
Saya juga harus memikirkan bagaimana tokoh-tokoh itu bergumul dengan
konflik di setiap fase cerita. Apakah ada yang berubah (prinsip,
kepribadian, anything!). Karena, ini fakta banget ya, di novel
mana pun karakter utamanya pasti pernah mengalami perubahan dalam
hidupnya, minimal sekali. Entah dari status jomblo jadi in relationship, gemuk jadi kurus, married jadi divorcee.... Kalau nggak percaya, coba buktikan sendiri.
Saya
baru benar-benar berani mengesahkan ide itu menjadi proyek novel saya
berikutnya setelah saya punya plot lengkap dengan daftar karakter (plus
biodata lengkapnya), setting yang jelas, dan referensi yang mendukung (misalnya, sebelum menulis Pillow Talk, saya mencari referensi tentang bisnis online).
PUNYA TARGET
Nggak ada yang lebih mengesalkan dari mendengar komentar “Pengen banget nulis, tapi nggak ada waktu. Sibuk ini-itu, bla-bla-bla-shit....” Here’s the truth,
satu hari itu terdiri dari 24 jam. 24 jam buat kamu, saya, Meg Cabot,
Stephen King, Nicholas Sparks, dan yang lainnya. Mau kontes lebih
sibukan siapa, kamu atau penulis-penulis itu? Sekali-sekali mampir ke website mereka. Lihat daftar acara talkshow yang harus mereka datangi, belum lagi harus meng-update blog, twitter, dan macam-macam lagi kegiatan promosi.
Jadi, please,
kalau kamu kemudian memutuskan untuk membuat kegiatan menulismu di
daftar prioritas kesekian dibanding hal-hal lainnya, berarti kamu nggak
sungguh-sungguh jadi penulis. Kamu harus punya target, dalam waktu
sekian bulan harus sudah selesai. Dengan begitu, kamu tahu seberapa
besar kamu harus berkorban demi novelmu. Waktu tidurmu berkurang. Kamu
jadi jarang menonton TV atau sekadar hang-out sama teman. Semua waktu luang kadang habis di depan laptop. Been there, done that, tapi itu pilihan yang saya ambil. Dan saya menikmatinya karena, hello, siapa juga yang mau berkorban seperti itu untuk sesuatu yang tidak teramat dicintai?
PILIH WAKTU MENULIS YANG PALING BIKIN NYAMAN
Apa
kamu tipe yang senang berteman dengan kuntilanak, alias penulis
malam-malam? Ato kamu tipe penulis yang senang mengganggu tetangga
sebelah subuh-subuh dengan memutar lagu-lagu hiphop yang iramanya
menghentak-hentak (kayak saya)? Ato kamu jenis penulis tipe lain,
menulis di jam-jam tertentu karena hanya waktu itulah kamu benar-benar
lowong.
Yah, apa pun ya, itu pilihanmu sendiri. Choose one and stick to that schedule everyday! Buat mendisiplinkan diri, kamu bisa pake sistem reward and punishment.
Misalnya, kalau berhasil menyelesaikan satu bab, kamu bisa makan es
krim yang sengaja disimpan di lemari. Dan kalau kamu ‘lupa’ menulis di
hari itu, kamu menghukum dirimu dengan mengepel lantai rumah atau
apalah.
PERCAYA DIRI
Faktor lain
yang sering bikin proses menulis terganggu adalah karena kurangnya rasa
percaya diri. “Tulisan gue nggak sebagus penulis A.” “Ide tulisan gue
biasa banget—mana mungkin diterima penerbit.” Here’s another truth:
kamu nggak akan pernah jadi penulis A itu. Kamu punya latar belakang
keluarga, pendidikan, pergaulan, film, buku yang berbeda, jadi secara
logika pun kamu akan menulis dengan gaya berbeda pula. Jadi, daripada
mengkhawatirkan tulisanmu bisa sebagus penulis A, kamu cukup berjanji
pada dirimu sendiri akan menulis sebagus mungkin. Lagian, ih, siapa juga
yang mau disama-samakan dengan penulis tertentu. Entar dibilang niru
lagi....
Kedua, what you write is what you are. Dan tulisanmu akan memperlihatkan seperti dirimu saat menuliskannya itu. Thanks to
pengalaman membaca naskah selama bertahun-tahun, saya sampai tahu di
bagian mana penulis mulai ‘capek’ dan ‘bingung mau ngelanjutin ceritanya
ke mana’. Haha, yeah, I’m that weird.
Jadi,
kalau kamu sedari awal sudah terlihat tak percaya diri dengan tulisanmu,
hasilnya juga nggak mungkin bagus. Kamu nganggep tulisanmu biasa? Yep,
di mata pembaca di luar sana pun akan ‘biasa’ juga.
MULAILAH MENULIS
Ya ampun, tip ini dibaca juga? Berarti kamu belum mulai menulis dong.
Ckckckck... ayo buruan ditulis itu novelnya!
Kiat Menulis by Christian Simamora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)