Judul
Buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan 1: Mei 2014
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-602-03-0393-2
Halaman: 252 halaman
“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,”
Ketika memutuskan untuk membeli sebuah buku, setidaknya saya akan mencari
tahu terlebih dahulu tentang buku tersebut. Bukan karena pelit, lebih karena
apa yang bisa saya dapatkan dari buku yang sudah mahal-mahal saya beli?
Cerita yang seru? Menyenangkan? Berisi? Atau cerita yang membosankan?
Membingungkan? Tidak menarik?
Ketika mendapatkan buku yang ditulis secara baik, saya tak akan menunda-nunda
untuk menyelesaikan buku itu, tapi ketika mendapatkan buku yang cara
berceritanya membosankan saya akan malas-malasan membacanya. Tapi saya bukan
tipe pembaca yang akan meninggalkan bacaan yang belum selesai. Setidak
menarik apapun sebuah buku, pasti saya selesaikan--meski lama.
Tapi ketika memutuskan untuk membeli buku ini, saya tak mencari tahu lebih
jauh soal buku ini. Yang saya tahu Eka Kurniawan banyak dibicarakan orang.
Maksud saya karyanya banyak disebut-sebut orang dan konon katanya ia salah
satu penulis yang bagus. Mungkin itu salah satunya yang membuat saya kemudian
menutuskan untuk membeli buku ini. Dari pertama muncul di media sosial,
kavernya cantik, ditambah judulnya yang menarik.
Tapi tinggalkan itu, membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Adalah hal yang menyenangkan. Bagaimana tidak, membacanya tak membuat saya
menyeritkan dahi karena bingung apa yang ingin penulis sampaikan dan apa yang
ia ceritakan. Penulis seolah membawa saya mengikuti jalan cerita dengan
seksama. Seperti kata pembuka yang di awal saya tuliskan, buku ini bercerita
tentang Ajo Kawir yang burungnya (kemaluannya) tak bisa berdiri dan itu jadi
masalah besar untuk seorang lelaki. Seperti yang saya tulis di awal, penulis membuka
cerita langsung pada pokok masalah yang dihadapi tokohnya. Ia tidak
bertele-tele dengan menggambarkan suasana alam dan lain sebagainya. Yang umum
kita baca.
“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata
Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.
Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa
berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas,
meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di
pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing,
tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras.
Kalimat pembuka tersebut membuat orang yang membacanya akan tertawa, paling
tidak senyum-senyum sendiri. Dari pembuka itu, penulis membawa pembaca
mengikuti jalan cerita yang terus menerus membuat penasaran dan membuat tak
mau berhenti membaca. Setidaknya itu yang saya alami
selama membacanya.
Eka pernah menulis dalam blognya: Tugas utama kita sebagai penulis cerita,
sebagaimana Syahrazad, adalah memastikan bahwa pembaca kita akan terus
mengikuti dongeng dari awal hingga akhir.
Meski awalnya ia merasa selalu gagal seperti yang ia ungkapkan di tulisan
yang sama: Selama bertahun-tahun saya mencoba menulis dan menjadi Syahrazad. Seperti
sebagian besar yang lain, saya mencoba puisi, karena saya pikir lebih pendek
dan lebih gampang. Belakangan saya tahu puisi tidaklah gampang, dan saya
segera meninggalkannya. Lagipula saya ingin menulis cerita. Saya melirik
cerita pendek, sebelum punya keberanian untuk membayangkan menulis sebuah
novel. Dan menulis cerita ternyata juga bukan perkara gampang. Saya tak tahu apa
yang akan diceritakan. Saya membaca majalah dan mencoba mencari tahu apa yang
mereka ceritakan. Setelah membaca lebih banyak cerita, saya mulai bisa
membayangkan apa yang bisa saya ceritakan. Saya mulai menuliskannya. Tapi
setelah selesai ditulis, saya baru menyadari, tulisan saya tak lebih dari
ulangan dari satu atau dua cerita yang pernah saya baca. Memang tidak menjillak,
tapi karena segalanya diambil dari tulisan orang lain, cerita itu segera jadi
terasa basi.
Dan saya rasa atas ketekunannya Eka berhasil menjadi menjadi Syahrazad.
Karena Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Adalah buku yang membuat
pembacanya—setidaknya saya—ingin terus membacanya.
Membaca buku ini, saya seperti membaca novel-novel remaja. Tentu banyak
bedanya, tapi ada satu kesamaannya, yaitu bahasa yang ringan dan
penyampaiannya yang mengalir. Meski tema yang diangkat bukanlah untuk remaja
dan tak seenteng kisah cinta remaja, dan meski jalan cerita loncat-loncat,
saya tak bingung mengikutinya.
Misal ketika Ajo Kawir mencoba berbagai cara agak burungnya bisa berdiri
lagi. Di kisah selanjutnya penulis bercerita lain hal lagi, ia kembali
menceritakan masa lalu Ajo Kawir dan lainnya.
Secara konten jelas buku ini untuk dewasa. Sebagaimana ada stiker di belakangnya
21+, setelah membaca buku ini saya sempatkan membaca beberapa komentar atau
review orang-orang tentang buku ini. Beberapa menjelaskan kalau penulis
mengkombinasikan cerita stensil dan cerita pendekar dari penulis-penulis
zaman dulu. Untuk itu saya tak banyak tahu, pengalaman membaca saya baru sekitar
2-3 tahun yang lalu. Masa kecil dan remaja saya sama sekali tak mengenal buku
bacaan semacam itu. Tapi buat saya pertarungan-pertarungan dalam buku ini
sangat menghibur, bagaimana seorang yang tak punya burung dipastikan jadi pemberani
Penggambaran adegan-adegannya menarik. Meski kadang penggambaran setingnya
samar. Tapi itu nggak mengganggu jalannya cerita. Yang pasti seekor burung
(duh seekor) yang tak bisa berdiri bisa mengubah seseorang yang meledak-ledak
menjadi orang tenang dan tak mudah terpancing emosi.
Tak seperti di awal hingga pertengahan cara berceritanya yang cenderung
cepat, menjelang akhir cerita, yaitu endingnya. Cara berceritanya
melambat, ketika membacanya saya merasa datar saja. Entah penulis sudah
kelelahan bercerita atau memang seharusnya begitu, tapi terasa apa yang saya
buru di awal, di akhir terasa lemas.
Namun, untuk seseluruhan cerita, buat saya menyenangkan, menghibur, dan tentu
saya membayangkan jika buku-buku sastra cara berceritanya seperti ini, para
penikmat buku teenlit dan metropop, mungkin tak akan malas membaca buku
sastra, seperti yang kita tahu yang tertanam dalam pikiran sebagian
orang bahwa "sastra ya berat".
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)