Minggu, 31 Agustus 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas


Judul Buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan 1: Mei 2014
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-602-03-0393-2
Halaman: 252 halaman

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,”

Ketika memutuskan untuk membeli sebuah buku, setidaknya saya akan mencari tahu terlebih dahulu tentang buku tersebut. Bukan karena pelit, lebih karena apa yang bisa saya dapatkan dari buku yang sudah mahal-mahal saya beli? Cerita yang seru? Menyenangkan? Berisi? Atau cerita yang membosankan? Membingungkan? Tidak menarik?


Ketika mendapatkan buku yang ditulis secara baik, saya tak akan menunda-nunda untuk menyelesaikan buku itu, tapi ketika mendapatkan buku yang cara berceritanya membosankan saya akan malas-malasan membacanya. Tapi saya bukan tipe pembaca yang akan meninggalkan bacaan yang belum selesai. Setidak menarik apapun sebuah buku, pasti saya selesaikan--meski lama.

Tapi ketika memutuskan untuk membeli buku ini, saya tak mencari tahu lebih jauh soal buku ini. Yang saya tahu Eka Kurniawan banyak dibicarakan orang. Maksud saya karyanya banyak disebut-sebut orang dan konon katanya ia salah satu penulis yang bagus. Mungkin itu salah satunya yang membuat saya kemudian menutuskan untuk membeli buku ini. Dari pertama muncul di media sosial, kavernya cantik, ditambah judulnya yang menarik.

Tapi tinggalkan itu, membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Adalah hal yang menyenangkan. Bagaimana tidak, membacanya tak membuat saya menyeritkan dahi karena bingung apa yang ingin penulis sampaikan dan apa yang ia ceritakan. Penulis seolah membawa saya mengikuti jalan cerita dengan seksama. Seperti kata pembuka yang di awal saya tuliskan, buku ini bercerita tentang Ajo Kawir yang burungnya (kemaluannya) tak bisa berdiri dan itu jadi masalah besar untuk seorang lelaki. Seperti yang saya tulis di awal, penulis membuka cerita langsung pada pokok masalah yang dihadapi tokohnya. Ia tidak bertele-tele dengan menggambarkan suasana alam dan lain sebagainya. Yang umum kita baca.

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

Ia satu dari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras.

Kalimat pembuka tersebut membuat orang yang membacanya akan tertawa, paling tidak senyum-senyum sendiri. Dari pembuka itu, penulis membawa pembaca mengikuti jalan cerita yang terus menerus membuat penasaran dan membuat tak mau berhenti membaca. Setidaknya itu yang saya alami
selama membacanya.

Eka pernah menulis dalam blognya: Tugas utama kita sebagai penulis cerita, sebagaimana Syahrazad, adalah memastikan bahwa pembaca kita akan terus mengikuti dongeng dari awal hingga akhir.

Meski awalnya ia merasa selalu gagal seperti yang ia ungkapkan di tulisan yang sama: Selama bertahun-tahun saya mencoba menulis dan menjadi Syahrazad. Seperti sebagian besar yang lain, saya mencoba puisi, karena saya pikir lebih pendek dan lebih gampang. Belakangan saya tahu puisi tidaklah gampang, dan saya segera meninggalkannya. Lagipula saya ingin menulis cerita. Saya melirik cerita pendek, sebelum punya keberanian untuk membayangkan menulis sebuah novel. Dan menulis cerita ternyata juga bukan perkara gampang. Saya tak tahu apa yang akan diceritakan. Saya membaca majalah dan mencoba mencari tahu apa yang mereka ceritakan. Setelah membaca lebih banyak cerita, saya mulai bisa membayangkan apa yang bisa saya ceritakan. Saya mulai menuliskannya. Tapi setelah selesai ditulis, saya baru menyadari, tulisan saya tak lebih dari ulangan dari satu atau dua cerita yang pernah saya baca. Memang tidak menjillak, tapi karena segalanya diambil dari tulisan orang lain, cerita itu segera jadi terasa basi.

Dan saya rasa atas ketekunannya Eka berhasil menjadi menjadi Syahrazad. Karena Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Adalah buku yang membuat pembacanya—setidaknya saya—ingin terus membacanya.

Membaca buku ini, saya seperti membaca novel-novel remaja. Tentu banyak bedanya, tapi ada satu kesamaannya, yaitu bahasa yang ringan dan penyampaiannya yang mengalir. Meski tema yang diangkat bukanlah untuk remaja dan tak seenteng kisah cinta remaja, dan meski jalan cerita loncat-loncat, saya tak bingung mengikutinya.

Misal ketika Ajo Kawir mencoba berbagai cara agak burungnya bisa berdiri lagi. Di kisah selanjutnya penulis bercerita lain hal lagi, ia kembali menceritakan masa lalu Ajo Kawir dan lainnya.

Secara konten jelas buku ini untuk dewasa. Sebagaimana ada stiker di belakangnya 21+, setelah membaca buku ini saya sempatkan membaca beberapa komentar atau review orang-orang tentang buku ini. Beberapa menjelaskan kalau penulis mengkombinasikan cerita stensil dan cerita pendekar dari penulis-penulis zaman dulu. Untuk itu saya tak banyak tahu, pengalaman membaca saya baru sekitar 2-3 tahun yang lalu. Masa kecil dan remaja saya sama sekali tak mengenal buku bacaan semacam itu. Tapi buat saya pertarungan-pertarungan dalam buku ini sangat menghibur, bagaimana seorang yang tak punya burung dipastikan jadi pemberani Penggambaran adegan-adegannya menarik. Meski kadang penggambaran setingnya samar. Tapi itu nggak mengganggu jalannya cerita. Yang pasti seekor burung (duh seekor) yang tak bisa berdiri bisa mengubah seseorang yang meledak-ledak menjadi orang tenang dan tak mudah terpancing emosi.

Tak seperti di awal hingga pertengahan cara berceritanya yang cenderung cepat,  menjelang akhir cerita, yaitu endingnya. Cara berceritanya melambat, ketika membacanya saya merasa datar saja. Entah penulis sudah kelelahan bercerita atau memang seharusnya begitu, tapi terasa apa yang saya buru di awal, di akhir terasa lemas.

Namun, untuk seseluruhan cerita, buat saya menyenangkan, menghibur, dan tentu saya membayangkan jika buku-buku sastra cara berceritanya seperti ini, para penikmat buku teenlit dan metropop, mungkin tak akan malas membaca buku sastra, seperti yang kita tahu  yang tertanam dalam pikiran sebagian orang bahwa "sastra ya berat".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)