Judul:
Pertempuran Rahasia
Penulis: Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2010 (Cetakan Pertama)
Jumlah halaman: 189 hal.
ISBN: 978-979-22-5755-7
Penulis: Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2010 (Cetakan Pertama)
Jumlah halaman: 189 hal.
ISBN: 978-979-22-5755-7
Berbeda
jauh dengan buku Anak Mencari Tuhan
yang bercerita tentang macam-macam, Puisi-puisi
Triyanto Triwikromo bercerita tentang tokoh-tokoh pewayangan. Penulis berpuisi
layaknya berprosa, entah bagaimana menyebutnya yang pasti puisinya adalah
prosa-prosa yang memang rata-rata bercerita tentang pembunuhan, pertempuran dan
lain sebagainya.
Sulit
memang menilai sebuah puisi itu bagus atau tidak, indah atau tidak, bernilai
atau tidak dengan berbagai macam teori yang sudah ada. Saya sendiri tak
mengerti soal itu. Sudah jadi tugasnya para kritikus sastra membahas itu. Puisi-puisi
dalam buku ini buat saya memberi warna baru, setidaknya buat saya yang belum
tahu banyak soal wayang. Dan banyak sekali diksi baru yang saya temui. Namun
memang, sebelum membaca buku ini saya
seharusnya terlebih dahulu mencaritahu soal cerita-cerita wayang. Jadi saat
membacanya saya tak bingung.
Salah satu puisi yang saya suka;
Bima Moksa – hal. 31
(1)
Maaf, tak sanggup aku menunda kematianmu, Amba, tak sanggup kupadamkan amuk unggun yang kunyalakan dengan dendam kesumat, tak sanggup kuhentikan keinginanmu untuk mati wangi dalam kobar api yang kaunyalakan sendiri dengan hikmat.
Maaf, tak sanggup aku menunda kematianmu, Amba, tak sanggup kupadamkan amuk unggun yang kunyalakan dengan dendam kesumat, tak sanggup kuhentikan keinginanmu untuk mati wangi dalam kobar api yang kaunyalakan sendiri dengan hikmat.
Api kembali pada api
Nyeri kembali pada nyeri
Dengki kembali pada dengki
Nyeri kembali pada nyeri
Dengki kembali pada dengki
(2)
Dan pada malam hampir hilang aku tak berani bercakap tentang takhta dan cinta, Amba, aku ragu memilih menjadi raja atau resi tanpa taman tanpa kupu-kupu bersayap wangi senja. Aku tak berani, sungguh tak berani, menatap kilau mata dan berbuncah berahi yang menusuk-nusuk ke ulu hati.
Dan pada malam hampir hilang aku tak berani bercakap tentang takhta dan cinta, Amba, aku ragu memilih menjadi raja atau resi tanpa taman tanpa kupu-kupu bersayap wangi senja. Aku tak berani, sungguh tak berani, menatap kilau mata dan berbuncah berahi yang menusuk-nusuk ke ulu hati.
Cinta lepas dari cinta
Duka lepas dari duka
Jiwa lepas dari jiwa
Duka lepas dari duka
Jiwa lepas dari jiwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)