Judul : Museum Penghancur Dokumen
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, April 2013
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Tebal : 110 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-7949-01-0
Foto cover : Sartika Dian Nuraini
Mendengar
nama Afrizal Malna sungguh asing di telinga. Siapa beliau? Apa saja
karyanya? Dan mengapa akhir-akhir ini sering disebut orang-orang?
Sejak bergabung
atau berada dalam kerumunan orang-orang yang gemar membaca, mau tak mau saya
harus membuka lebar-lebar kepala saya yang masih benar-benar kosong ini.
Menerima semua informasi yang sekiranya berguna untuk diri saya. Tentu yang
masuk iu tak serta merta langsung bisa saya tahu begitu saja, saya membutuhkan
waktu untuk mencernanya, ya sebenarnya mencari tahu tentang semua itu.
Saya
tak mencari tahu mendalam soal siapa Afrizal Malna, tapi saya langsung membeli
bukunya saja, saya kira, membaca karya seseorang lebih baik ketimbang mencaritahu
tentang kehidupan penulisnya. Karena yang berbicara dan yang bersuara tentu
saja karya. Membaca puisi-puisi Afrizal Malna, buat saya membaca
kerumitan-kerumitan yang ada. Meski puisi memberi ruang seluas-luasnya untuk
pembaca agar menafsirkan sendiri apa yang disampaikan penulisnya, setidaknya
saya agak kesulitan menafsirkannya jika hanya membacanya sekali saja. Butuh dua
kali atau lebih, membaca puisi-puisinya sampai saya bisa mendefinisikan apa
yang ingin disampaikan penulis.
Saya sebenarnya
bingung ingin menguraikannya gimana, saya tak bisa mendefinisikannya dengan
kata-kata yang hebat, atau kata-kata yang keren agar terlihat pintar. Tapi yang
pasti Afrizal Malna banyak bercerita tentang
benda-benda di dalam buku ini. Puisi-puisinya jelas berbeda, mungkin membrontak
dari kerumunan jenis-jenis puisi yang sudah ada, ia berpuisi seperti apa yang
ia inginkan saja. pembaca ingin menilainya seperti apa itu urusan belakangan.
Ada puisi
yang berbentuk diagram, miring dan lain-lainnya, ia memberi ruang untuk membaca
agar bisa merangkai sendiri puisinya. Setidaknya itu yang saya lihat. Jika salah
maafkanlah pengetahuan saya yang masih minim ini. Tapi, yang menarik dari
puisi-puisinya, Afrizal Malna, seperti menghidupkan benda-benda atau apa yang
ada di dalam puisinya, agar ia bergerak atau berbicara.
Mungkin,
jika bisa disimpulkan, saya ingat dulu yang dikatakan Bondan Prakoso &
Fade2Black, mereka punya pasar tersendiri untuk karya-karya mereka, jadi tak
harus memburu pasar dengan mengubah apa yang jadi idealisme mereka. Saya menangkapnya,
itu pula yang Afrizal Malna lakukan, ia punya penggemar atau pembaca tersendiri
untuk karya-karyanya. Puisi-puisinya mungkin
juga tak menjangkau semua jenis pembaca, tapi punya tempat untuk pembacanya. Meskipun
saya tak termasuk penggemarnya, tapi saya cukup menikmati puisi-puisi yang
ditulis olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)