Selasa, 15 April 2014

Museum Penghancur Dokumen

Judul : Museum Penghancur Dokumen
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, April 2013
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Tebal : 110 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-7949-01-0
Foto cover : Sartika Dian Nuraini


Mendengar nama Afrizal Malna sungguh asing di telinga. Siapa beliau? Apa saja karyanya? Dan mengapa akhir-akhir ini sering disebut orang-orang?
Sejak bergabung atau berada dalam kerumunan orang-orang yang gemar membaca, mau tak mau saya harus membuka lebar-lebar kepala saya yang masih benar-benar kosong ini. Menerima semua informasi yang sekiranya berguna untuk diri saya. Tentu yang masuk iu tak serta merta langsung bisa saya tahu begitu saja, saya membutuhkan waktu untuk mencernanya, ya sebenarnya mencari tahu tentang semua itu.
Saya tak mencari tahu mendalam soal siapa Afrizal Malna, tapi saya langsung membeli bukunya saja, saya kira, membaca karya seseorang lebih baik ketimbang mencaritahu tentang kehidupan penulisnya. Karena yang berbicara dan yang bersuara tentu saja karya. Membaca puisi-puisi Afrizal Malna, buat saya membaca kerumitan-kerumitan yang ada. Meski puisi memberi ruang seluas-luasnya untuk pembaca agar menafsirkan sendiri apa yang disampaikan penulisnya, setidaknya saya agak kesulitan menafsirkannya jika hanya membacanya sekali saja. Butuh dua kali atau lebih, membaca puisi-puisinya sampai saya bisa mendefinisikan apa yang ingin disampaikan penulis.
Saya sebenarnya bingung ingin menguraikannya gimana, saya tak bisa mendefinisikannya dengan kata-kata yang hebat, atau kata-kata yang keren agar terlihat pintar. Tapi yang pasti  Afrizal Malna banyak bercerita tentang benda-benda di dalam buku ini. Puisi-puisinya jelas berbeda, mungkin membrontak dari kerumunan jenis-jenis puisi yang sudah ada, ia berpuisi seperti apa yang ia inginkan saja. pembaca ingin menilainya seperti apa itu urusan belakangan.
Ada puisi yang berbentuk diagram, miring dan lain-lainnya, ia memberi ruang untuk membaca agar bisa merangkai sendiri puisinya. Setidaknya itu yang saya lihat. Jika salah maafkanlah pengetahuan saya yang masih minim ini. Tapi, yang menarik dari puisi-puisinya, Afrizal Malna, seperti menghidupkan benda-benda atau apa yang ada di dalam puisinya, agar ia bergerak atau berbicara.

Mungkin, jika bisa disimpulkan, saya ingat dulu yang dikatakan Bondan Prakoso & Fade2Black, mereka punya pasar tersendiri untuk karya-karya mereka, jadi tak harus memburu pasar dengan mengubah apa yang jadi idealisme mereka. Saya menangkapnya, itu pula yang Afrizal Malna lakukan, ia punya penggemar atau pembaca tersendiri untuk karya-karyanya. Puisi-puisinya  mungkin juga tak menjangkau semua jenis pembaca, tapi punya tempat untuk pembacanya. Meskipun saya tak termasuk penggemarnya, tapi saya cukup menikmati puisi-puisi yang ditulis olehnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)