Judul Buku: Jalan Sunyi Seorang Penulis
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
Tahun Terbit: 2005
Jumlah Halaman: 325
Di sebuah desa ada anak kecil yang semasa kecil sama sekali tak
mengenal apa itu buku. Orang tuanya sama sekali tak pernah memperkenalkannya
pada buku. Jangankan mengenalkan, bahkan mereka pun tak tahu buku itu apa?
Fungsinya untuk apa? Yang mereka tahu anak-anaknya tumbuh dengan sehat dan
mereka terus bekerja untuk menghidupi keluarga.
Membaca buku ini, saya seperti berkaca pada diri sendiri. Meski
pengalaman saya belum sebanyak yang tokoh aku alami. Tapi setidaknya saya
pernah berada di titik tak mengenal buku, ya buku-buku pelajaran saya tahu,
tapi di luar itu saya tahu buku adalah benda yang membosankan dan membaca buku
adalah pekerjaan orang malas. Sampai suatu hari waktu mampu mengubah pandangan
saya soal buku. Ternyata membaca buku adalah pekerjaan yang menyenangkan,
akhirnya saya jadi gila membaca dan belanja buku.
Kebutaannya anak itu soal buku mulai hilang secara perlahan, ia
mulai melihat dan mengenal atau dikenalkan dengan macam-macam buku agama saat
masuk sebuah organisasi. Ia pun jadi sering menghabiskan waktunya di
perpustakaan daerah untuk membaca.
Untuk pertama kalinya ia belajar menulis dengan cara menyadur
tulisan orang karena belum tahu menulis itu sebaiknya gimana? Ia pun merantau
ke Jogja untuk kuliah. Di sana ia belajar menulis di UKM jurnalis kampus.
Tulisan pertamanya yang dimuat di majalah kampus banyak dihajar dan dibantai
teman-temannya, dan juga oleh wartawan senior sebuah media. Dari sana ia
belajar lagi, dengan mempelajari gaya menulis dua orang penulis yang tulisannya
bagus, kata-katanya tidak menghina, tapi menyindir. Sindirannya tidak
memerahkan telinga dan melahirkan amarah, tapi menyejukan dan melahirkan
tetirah. Ia pun menyadari mengapa tulisannya yang terdahulu dibantai, ternyata
karena tulisannya terlalu rumit dan ia tidak paham masalahnya. Terlalu banyak
teori yang berat, jejalan kata-kata asing yang memukau hanya untuk menutupi ketidakpahaman
dirinya dan menonjolkan diri bahwa ia pintar, banyak bacaan dan sudah melek
wacana.
Tak sampai di situ saja, banyak hal yang tokoh aku ceritakan, tentang kondisi penerbitan di Jogja pada masa itu, tentang kegilaannya terhadap buku dan rela mengirit makan hanya dua kali dalam sehari demi membeli buku, tentang penolakan demi penolakan dan lainnya. Saya melihatnya buku ini layaknya memoar penulisnya sendiri. Ia bercerita pengalaman hidupnya sendiri, walau saya tak tahu benar atau tidak ini kisah pribadinya.
Tak sampai di situ saja, banyak hal yang tokoh aku ceritakan, tentang kondisi penerbitan di Jogja pada masa itu, tentang kegilaannya terhadap buku dan rela mengirit makan hanya dua kali dalam sehari demi membeli buku, tentang penolakan demi penolakan dan lainnya. Saya melihatnya buku ini layaknya memoar penulisnya sendiri. Ia bercerita pengalaman hidupnya sendiri, walau saya tak tahu benar atau tidak ini kisah pribadinya.
Cara ia bercerita cukup lancar, tak membuat lelah. Hanya saja saya
tak menemukan hal-hal yang membuat greget—alias datar saja—mungkin karena
saking mengalirnya cerita tersebut. Saya justru menemukan beberapa kesalahan,
entah itu typo atau kesalahan lainnya, tapi tak jadi masalah besar. Buku ini
diawali dengan catatan transkriptor, sayangnya tak diakhiri dengan catatan itu
pula, saya padalah menunggunya.
Ini adalah buku tentang Perjalanan hidup seorang penulis yang
suram. Tapi layak dibaca jika ingin memilih jalan kepenulisan sebagai jalan
hidup. Tak ada hal yang bisa didapatkan dengan cara instan lewat jalan
kepenulisan, semua butuh perjuangan berat, berdarah-darah dan penuh air mata.
Tak bisa sekali jalan langsung kaya, jika ada yang seperti itu mungkin ia
sedang beruntung atau yang pasti dia sedang bermimpi.
Ia membuat manifesto dan berpesan: "Ingat-ingatlah
Kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini maka yang
kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan
bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada
sebagai jalan idup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri
secepatnya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)