Sudah terlalu lama
sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri. Lama tak ada yang menemani. Sudah
terlalu asik dengan duniaku sendiri...
Teman-temanku berkata, "yang kau cari seperti apa?"
Aku tertawa, "nanti pasti ada waktunya..."
Pertama dengar lagu Kunto Aji – Terlalu Lama Sendiri, agak gimana gitu, ya, hati
kecil bilang, "ini gue banget". Menohok dan menyindir. Tapi ada
semacam pembelaan di sini. Seperti salah satu tweet-nya Alit, terlalu sibuk berkarya sampai lupa caranya berasmara. Terkadang dalam kesendirian kita bisa berpikir
jernih, mana yang baik dan mana yang tidak untuk diri sendiri. Bisa belajar
dari apa yang dilakukan orang yang sedang menjalin hubungan--tentu kembali
pribadi masing-masing.
Ada guyonan lucu di twitter beberapa hari ini pada gambar bungkus rokok. Saya
tidak tahu siapa yang membuat. Kira-kira bunyi reaksi orang-orang begini,
" Orang Indonesia lebih takut jomblo daripada mati.
Haha. Mungkin benar, mungkin juga salah. Silakan tanyakan pada para jomblo.
Sebutan Jomblo di Indonesia itu semacam kutukan. Semua tak mau dilabeli itu.
Dan orang-orang yang sudah berpasangan sangat sering meledek kaum yang jomblo. Entah atas dasar apa mereka melakukan
itu. Yang pasti mungkin untuk bersenang-senang saja.
Para jomblo mungkin lebih rentan galau. Tapi tidak semua. Orang yang menikmati
hidupnya sudah pasti tidak akan galau. Karena apa yang ia jalani sudah
menyenangkan. Seperti di lagu itu. Terlalu asik dengan dunia sendiri. Bisa dipastikan
ia menikmati dunianya. Omongan orang hanya jadi angin lalu,
Mungkin ada beberapa pertimbangan ketika seseorang belum mau menjalin hubungan
ke jenjang pacaran atau yang lebih panjang, yaitu pernikahan. Perkara menjalin hubungan bukan hanya soal cinta-cintaan, sayang-sayangan, marah lalu baikan, apalagi panggilan papa
mama-an. Lebih dari itu ada banyak
hal yang tak tersembunyi. Tentang janji yang sangat mudah diucapkan namun sulit
dijalankan, tentang tanggung jawab yang harus dilakukan, dan ada pula komitmen yang harus dijalani sungguh-sungguh dan
masih banyak lagi. Bukan hanya untuk
sesaat, tapi selamanya. Jangan sampai masalah kecil jadi kambing hitam atas hancurnya sebuah hubungan.
Pertimbangan lainnya
adalah masalah keraguan, orang berani menjalin hubungan artinya sudah siap
dengan segala risiko ke depan, mau tak mau harus dihadapi. Tapi jika semua
sudah mantap di hati, menjalin hubungan bukan lagi jadi masalah, tapi mungkin solusi
dari kegelisahan.
Kalau saya pribadi
dibilang siap, bisa. Dibilang tidak, juga bisa. Jadi intinya masih ragu, karena
masih mempertimbangkan banyak hal. Rasa cinta pasti ada, namanya juga manusia
biasa. Tapi untuk mengungkapkan atau mengikat, mungkin belum waktunya. Masanya
main-main sudah berlalu, sekarang masanya bekerja keras menuju masa yang lebih
berat lagi, yaitu menghidupi keluarga—anak dan istri—kelak.
“Tidak takut si dia
diambil orang?”
“Tidak, kalau memang bukan
jodoh tak apa.”
“Bagaimana dia bisa tahu
kamu cinta dia kalau kamu sendiri tak mengungkapkannya?”
“Bukan takut
mengungkapkan, mungkin saya masih terlalu pengecut untuk mengajak menjalin
hubungan, melihat diri yang belum apa-apa, atau lebih tepatnya belum punya apa-apa. Menghidupi diri sendiri saja masih ngos-ngosan, apalagi menghidupi--jajanin--anak orang. Haha. Jadi tunggu waktunya saja, ketika saya tak ragu lagi dan mampu menjalani tanpa alasan lagi.”
"Tapi nikah itu kan malah memperlancar rezeki."
"Iya saya tahu, tapi saya masih mempertimbangkan segala hal yang tak kamu tahu."
Tak selalu menunggu itu
menyebalkan, jika menikmati semua akan jadi menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)