Sabtu, 22 Maret 2014

Sudah Terlalu Lama Asik Sendiri

Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri. Lama tak ada yang menemani. Sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri...

Teman-temanku berkata, "yang kau cari seperti apa?"

Aku tertawa, "nanti pasti ada waktunya..."

Pertama dengar lagu Kunto Aji – Terlalu Lama Sendiri, agak gimana gitu, ya, hati kecil bilang, "ini gue banget". Menohok dan menyindir. Tapi ada semacam pembelaan di sini. Seperti salah satu tweet-nya Alit, terlalu sibuk berkarya sampai lupa caranya berasmara. Terkadang dalam kesendirian kita bisa berpikir jernih, mana yang baik dan mana yang tidak untuk diri sendiri. Bisa belajar dari apa yang dilakukan orang yang sedang menjalin hubungan--tentu kembali pribadi masing-masing.

Ada guyonan lucu di twitter beberapa hari ini pada gambar bungkus rokok. Saya tidak tahu siapa yang membuat. Kira-kira bunyi reaksi orang-orang begini, " Orang Indonesia lebih takut jomblo daripada mati.


Haha. Mungkin benar, mungkin juga salah. Silakan tanyakan pada para jomblo. Sebutan Jomblo di Indonesia itu semacam kutukan. Semua tak mau dilabeli itu. Dan orang-orang yang sudah berpasangan sangat sering meledek kaum yang jomblo. Entah atas dasar apa mereka melakukan itu. Yang pasti mungkin untuk bersenang-senang saja.

Para jomblo mungkin lebih rentan galau. Tapi tidak semua. Orang yang menikmati hidupnya sudah pasti tidak akan galau. Karena apa yang ia jalani sudah menyenangkan. Seperti di lagu itu. Terlalu asik dengan dunia sendiri. Bisa dipastikan ia menikmati dunianya. Omongan orang hanya jadi angin lalu,

Mungkin ada beberapa pertimbangan ketika seseorang belum mau menjalin hubungan ke jenjang pacaran atau yang lebih panjang, yaitu pernikahan. Perkara menjalin hubungan bukan hanya soal cinta-cintaan, sayang-sayangan, marah lalu baikan, apalagi panggilan papa mama-an. Lebih dari itu ada banyak hal yang tak tersembunyi. Tentang janji yang sangat mudah diucapkan namun sulit dijalankan, tentang tanggung jawab yang harus dilakukan, dan ada pula komitmen yang harus dijalani sungguh-sungguh dan masih banyak lagi. Bukan hanya untuk sesaat, tapi selamanya. Jangan sampai masalah kecil jadi kambing hitam atas hancurnya sebuah hubungan.

Pertimbangan lainnya adalah masalah keraguan, orang berani menjalin hubungan artinya sudah siap dengan segala risiko ke depan, mau tak mau harus dihadapi. Tapi jika semua sudah mantap di hati, menjalin hubungan bukan lagi jadi masalah, tapi mungkin solusi dari kegelisahan.

Kalau saya pribadi dibilang siap, bisa. Dibilang tidak, juga bisa. Jadi intinya masih ragu, karena masih mempertimbangkan banyak hal. Rasa cinta pasti ada, namanya juga manusia biasa. Tapi untuk mengungkapkan atau mengikat, mungkin belum waktunya. Masanya main-main sudah berlalu, sekarang masanya bekerja keras menuju masa yang lebih berat lagi, yaitu menghidupi keluarga—anak dan istri—kelak.

“Tidak takut si dia diambil orang?”

“Tidak, kalau memang bukan jodoh tak apa.”

“Bagaimana dia bisa tahu kamu cinta dia kalau kamu sendiri tak mengungkapkannya?”

“Bukan takut mengungkapkan, mungkin saya masih terlalu pengecut untuk mengajak menjalin hubungan, melihat diri yang belum apa-apa, atau lebih tepatnya belum punya apa-apa. Menghidupi diri sendiri saja masih ngos-ngosan, apalagi menghidupi--jajanin--anak orang. Haha. Jadi tunggu waktunya saja, ketika saya tak ragu lagi dan mampu menjalani tanpa alasan lagi.”

"Tapi nikah itu kan malah memperlancar rezeki."

"Iya saya tahu, tapi saya masih mempertimbangkan segala hal yang tak kamu tahu." 

Tak selalu menunggu itu menyebalkan, jika menikmati semua akan jadi menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)