Minggu, 23 Maret 2014

Jalan Sepi yang Harus Dilewati Sendiri

Saya terus menjalani hidup meski tak tahu akan ke mana. Tujuan tak ada, apalagi cita-cita. Kesukaan terus berganti. Dari ini dan itu tak ada yang pasti. Ketika sukses berjualan, berbangga hati dengan bilang "ini jalan saya, dan saya harus bertahan di sini". Ternyata kebanggan itu tak bertahan lama. Cita-cita jadi pengusaha kandas begitu saja ketika bangkrut habis-habisan tanpa tersisa.

Saya mulai bertanya lagi pada apa yang saya jalani, "ini kah jalan yang benar?" Saya tak menyalahkan keadaan, apalagi takdir. Sudah begitu jalannya. Tinggal bagaimana saya menjalankannya. Dari lubuk hati masih tersimpan keinginan menjadi pengusaha, ya setidaknya punya usaha sendiri untuk tetap hidup. Mungkin tipe orang seperti saya tak pantas kerja kantoran, memakai kemeja dan dasi yang rapi. Lebih senang memakai kaos dan celana jeans.

Di perjalanan, siapa yang tahu kesukaan bertambah. Ketika saya ditanya ingin jadi apa? Seperti biasa saya tak ingin menjawabnya. Cukup tersenyum dan semua berhenti bertanya. Tapi di dalam hati saya menjawab bahwa aku ingin menjadi penulis. Ternyata setelah dijalani, jalan ini lebih melelahkan ketimbang jalan sebelumnya. Saya harus belajar banyak soal bagaimana menulis yang baik, berbagai macam hal dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang dulu saya abaikan kini harus dipelajari kembali, dan yang paling utama saya terus membaca banyak buku. Jalan ini lebih keras dari apa yang saya bayangkan. 


Di mana saya harus berjuang untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik. Dan itu tak sekali jadi. Menulis cerpen mungkin bisa sekali duduk kelar, tapi untuk menghasilkan tulisan yang bagus tak bisa sekali lihat selesai. Saya harus mengatur ini dan itunya agar terlihat baik.

Seperti saat cerpen horor saya diterima sebuah penerbit, saya merasa sangat benci ketika seorang teman bilang ini harus diubah, ini harus diganti dan lain sebagainya. Dan itu saya lakukan berhari-hari. Melelahkan sekali. dan saya ingin berhenti saja, jadi penulis itu melelahkan, dan tak membuahkan banyak penghasilan. Tapi setelah tulisan saya selesai, saya ingin berterima kasih padanya, selain tulisan saya menjadi lebih baik, ada pelajaran di sana, bahwa ke depan jalannya lebih berat lagi. Saya sudah tak memedulikan lagi soal uang dari hasil tulisan saya waktu itu, karena saya senang melakukannya, uang jadi sekadar bonus saja. Tak perlu membahas soal royalti, itu bisa dicari tahu sendiri atau ada orang lain yang membicarakannya, Tapi yang perlu diketahui, penghasilan penulis tak banyak adanya. Hanya 10% dari hasil penjualan buku.

Ketika puluhan cerpen yang saya kirim ke media belum satu pun yang diterbitkan. Atau berkali-kali ikut lomba tapi tak kunjung menang juga. Saya tidak lagi merasa semua sia-sia. Ini adalah proses, di mana saya harus belajar dan menjalaninya untuk sampai pada tahap-tahap selanjutnya. Menikmati proses memang tak semudah menikmati makanan, butuh kesabaran dan rasa percaya semua akan indah pada waktunya.

Saya harus pintar mengatur waktu, membagi kesukaan baru ini dengan berjualan untuk menghidupi diri. Saya tahu, ketika saya menginginkan semua, saya harus menjalani beberapa hal. Saya harus bertahan, konsisten dan menikmati prosesnya. Saya kira dalam hal apapun atau dalam profesi apapun membutuhkan semua itu.

Jalan sepi ini harus dilewati sendiri. Meski di perjalanan akan bertemu pejalan lain. Mereka datang dan pergi. Menulis adalah tentang kesendirian--sendiri melawan kemalasan dan berbagai alasan. Tekun menulis, belajar dan membaca tak boleh berhenti. Jalan ini melelahkan tapi menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)