
Judul Buku: Radikus Makan Kakus: Bukan Binatang Biasa
Penulis: Raditya Dika
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: Dua Puluh Enam, 2013
Tebal: 230 Halaman
ISBN (13): 978 – 979 – 780 – 166 – 3
Ketika mendengar kata "Lucu” apa yang terlintas dalam pikiranmu? Sudah pasti yang bisa membuatmu tertawa, bukan? Ya, kalau bukan, setidaknya itu yang saya pikirkan. Dalam keseharian kita sering menemui candaan-candaan atau cerita-cerita lucu yang amat singkat, yang dibuat entah oleh siapa, yang sumbernya kadang tidak dicantumkan atau dihilangkan orang yang menyebarkannya. Cerita-cerita singkat itu bisa kita temui di pesan singkat SMS, BBM, WhatsApp, media sosial website dan lain sebagainya. Atau ketika masih SD saya menemui buku berisi cerita-cerita lucu yang dijual di tukang mainan depan sekolah.
Kita akan tertawa, atau tersenyum ketika membacanya. meski selera humor tiap-tiap individu berbeda-beda, saya rasa pasti ada yang melakukan kegiatan tertawa atau tersenyum ketika membaca cerita-cerita itu, meski tak jarang juga  kita temui orang yang menganggap cerita yang kita anggap lucu itu biasa saja, atau malah garing menurut dia. Sah-sah saja, karena selera humor orang berbeda-beda. Kita tak bisa memaksa.
Membaca Radikus Makankakus saya seperti menemukan cerita-cerita lucu yang dengan gratis tersebar di zaman yang serba cepat ini, bedanya tulisan radit lebih rapi, tertata dan lebih panjang pastinya. Radit memulai cerita saat ia menjadi badut keliling Jakarta mau ke monas di mana ia butuh perjuangan berat untuk sampai saja.
Gaya bercerita yang apa adanya sebenarnya jadi nilai plus, entah ia menambah-nambahin atau tidak, yang pasti cerita-ceritanya tidak berlebihan atau kalau memakai bahasa anak-anak zaman sekarang tidak “Lebay” bercerita seperti seharusnya, meski memang kadang agak berlebihan sedikit, tapi masih dibatas wajar saja, untuk menimbulkan efek lucu dalam cerita. Seperti ketika ia bercerita tentang temannya yang gila. Tentang anak NTB yang sering diledekin lalu tiba-tiba menghilang membuat teman-temannya ketakukan karena merasa bersalah.
Semua bercerita tentang keseharian yang mungkin kita juga pernah mengalaminnya dengan kondisi yang berbeda, karena pasti ada hal lucu yang kita alami, bukan? Seserius apapun hidup bukan nggak mungkin tertawa atau menertawakan hidup tidak pernah. 
Jika mencari keseriusan di buku ini, saya rasa siapapun akan kecewa, dari apa yang saya baca, penulis hanya ingin bercerita entang kehidupannya sehari-hari—yang mungkin agak berbeda dengan orang kebanyakan, bisa dibilang absurd. Tak ada pesan moral di sini, tapi di cerita Radit dan guru wali kelasnya, saya rasa cerita ini yang paling menyentuh, di mana ketika menjelang ending dia mampu membuat sedih pembacanya. Seorang guru yang begitu peduli pada muridnya dan meninggal di makkah.
Selebihnya, ya seperti yang saya bilang di atas, buku ini hanya ingin bercerita, lebih tepatnya menghibur, karena sangat ringan. Untuk urusan lucu atau tidak itu urusan masing-masing pembaca, sebab kadar tertawa kita berbeda-beda. Yang jelas buat saya cukup menghibur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)