Judul: Lontara Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penerbit: Republika
ISBN: 978-602-7595-01-9
Dimensi: viii + 343 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penerbit: Republika
ISBN: 978-602-7595-01-9
Dimensi: viii + 343 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm
Kita yang sudah beranjak dewasa pasti pernah mengalami masa
remaja, Masa di mana kita tumbuh dan berkembang, melakukan ini itu yang kadang
tak dipikirkan secara matang. Rasa ingin tahu yang tinggi menuntut kita banyak
bertanya, serta banyak mendengarkan apa yang jadi ketertarikan kita. Begitu pula
dengan Vito, anak desa yang punya rasa ingin tahu yang tinggi membuatnya rajin mendengarkan
cerita-cerita di pos ronda yang nilai kebenarannya tak bisa dipertanggung
jawabkan, semua cerita yang ia terima akhirnya ia ceritakan ulang saat di
kelas, ia satu-satunya murid yang sering terlambat karena malamnya sering
begadang dan ia pintar mengelabui seisi kelas dengan cerita-cerita yang ia
bawakan sehingga membuat gurunya lupa untuk menghukum keterlambatannya,
tahu-tahu ia sudah duduk saja dan guru memulai pelajarannya karena waktu
terbuang secara percuma.
Hal terberat apa yang pernah kita rasakan? Rindu dengan orang
yang kita cintai? Itulah yang Vito—tokoh dalam buku ini—rasakan, ia dilanda
rindu yang begitu mendalam akan sosok ayah yang begitu ia cinta, meski tak tahu
wajahnya seperti apa? Dan bagaimana bentuknya. Ibu dan kakeknya menuntup
rapat-rapat informasi tentang ayahnya, ia tak tahu apa penyebabnya. Sekelumit kisah
anak remaja dengan diselingi kisah orang dewasa membuat buku ini cukup menarik
untuk dibaca sampai selesai tanpa jeda. Ketika membaca buku ini, entah mengapa
bayangan saya langsung tertuju pada buku Laskar Pelangi, di mana ada sekumpulan
anak-anak yang sekolah dengan murid yang bisa dihitung pakai jari.
Awalnya saya pikir, buku ini tak ubahnya produk turunan dari
Laskar Pelangi, saya tak yakin menemukan hal yang lain, kecuali pengulangan-pengulangan.
Tapi ternyata tidak begitu, buku yang mengambil setting di salah satu kota di
Sulawesi ini, bercerita tak hanya kisah perjuangan rindu seorang anak pada
ayahnya, kisah bersama teman-temannya tapi juga tentang budaya serta mitos-mitos
orang bugis yang banyak memberikan informasi baru bagi pembaca.
Sebagai orang yang hidup dilingkungan yang mayoritas orangnya
bersuku bugis, saya tak asing dengan apa yang penulis sampaikan, hampir semua
sudah pernah saya dengar. Meski saya tinggal di Jakarta, semua mitos dan budaya–budaya
yang diyakini penduduk bugis di dalam cerita ini masih dijalankan atau
dipercayai orang bugis di sini, seperti kepercayaan bahwa ketika seorang wanita
melahirnya, maka anak tersebut mempunyai saudara kembar seekor reptil, yang
pada dasarnya ia adalah segumpalan darah yang ikut keluar berbarengan dengan keluarnya
bayi tersebut dari lahir.
Cara penulis menyampaikan informasi-informasi tersebut sangat
nyaman dibaca, sayangnya mungkin saking semangatnya penulis meluap-luapkan ingin
memberitahu, sesekali malah terkesan seperti laporan jurnalistik. Pembaca—saya maksudnya—bisa
tahu dan mengerti, tapi penulis layaknya wartawan berita hanya memberi tahu
saja, tak mengajak pembaca untuk berimajinasi, “ini lho, itu lho. Silakan imajinasikan
sendiri.”
Karakter-karakter yang penulis buat sangat kuat, sampai-sampai
saya membayangkan Vito itu seperti apa dalam imajinasi saya, Irfan seperti apa,
dan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu penulis bisa membawa pembaca—saya—ikut terbawa
dalam emosi yang ada dalam cerita, merasakan apa yang tokoh-tokohnya perbuat.
Seperti alasan Vito tidak masuk sekolah dengan bilang kakeknya meninggal. Dan semua
murid yang jumlahnya bahkan tak sampai sepuluh orang serta guru dan kepala
sekolah percaya dengan ceritanya, dan kakeknya mengiakan dengan tak keluar dan
menuruti apa yang cucunya bilang ketika guru dan teman-temannya main ke
rumahnya, saat sedang pelajaran penjaskes lari keliling kampung, padahal dalam
hati sangat tepukul kenapa cucunya melakukan itu.
Tapi namanya kebohongan ditutup searapat apapun suatu saat akan
terbuka juga. Saat mereka kemah, tiba-tiba kakeknya datang dan semua lari
ketakukan karena menganggap setan. Setelah kejadian itu, Vito dihukum “diam”
oleh gurunya yang berakibat ia melakukan tindakan-tindakan yang tak baik. Seberat-beratnya
hukuman adalah didiamkan.
Tak hanya canda dan tawa yang dihadirkan, kesedihan pun tak
luput, seolah penulis mampu menakar apa yang pas untuk sebuah cerita. Tentang perasaan
rindunya seorang anak pada ayahnya dan saudara kembarnya. Namun, Beberapa kali
tokoh-tokohnya seperti sok tahu. Contohnya ketika gurunya senyum seusai Vito
mengangkat tangan terakhir setelah teman-temannya ditanya siapa yang ayahnya
petani. Penulis menuliskan,"sepertinya bu muanlidah banyak tahu, paling tidak
ada pengetahuan tentang ayahku." Dan masih ada lagi lainnya.
Layaknya sinetron bersambung,
ending cerita di buku ini menggantung. Penonton akan menunggu untuk tayangan
selanjutnya, meski nampak selesai, sebenarnya pembaca masih akan bertanya tentang
kelanjutan apa yang terjadi dengan Vito setalah ini, bagaimana kehidupannya dan
lain sebagainya. Akhir kata buku ini cukup meghibur, memotivasi dan memberi wawasan
tentang apa saja yang suku bugis atau orang sana lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)