Jumat, 28 Maret 2014

Lontara Rindu, S. Gegge Mappangewa

Judul: Lontara Rindu 
Penulis: S. Gegge Mappangewa 
Penerbit: Republika 
ISBN: 978-602-7595-01-9 
Dimensi: viii + 343 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm
 
Kita yang sudah beranjak dewasa pasti pernah mengalami masa remaja, Masa di mana kita tumbuh dan berkembang, melakukan ini itu yang kadang tak dipikirkan secara matang. Rasa ingin tahu yang tinggi menuntut kita banyak bertanya, serta banyak mendengarkan apa yang jadi ketertarikan kita. Begitu pula dengan Vito, anak desa yang punya rasa ingin tahu yang tinggi membuatnya rajin mendengarkan cerita-cerita di pos ronda yang nilai kebenarannya tak bisa dipertanggung jawabkan, semua cerita yang ia terima akhirnya ia ceritakan ulang saat di kelas, ia satu-satunya murid yang sering terlambat karena malamnya sering begadang dan ia pintar mengelabui seisi kelas dengan cerita-cerita yang ia bawakan sehingga membuat gurunya lupa untuk menghukum keterlambatannya, tahu-tahu ia sudah duduk saja dan guru memulai pelajarannya karena waktu terbuang secara percuma.


Hal terberat apa yang pernah kita rasakan? Rindu dengan orang yang kita cintai? Itulah yang Vito—tokoh dalam buku ini—rasakan, ia dilanda rindu yang begitu mendalam akan sosok ayah yang begitu ia cinta, meski tak tahu wajahnya seperti apa? Dan bagaimana bentuknya. Ibu dan kakeknya menuntup rapat-rapat informasi tentang ayahnya, ia tak tahu apa penyebabnya. Sekelumit kisah anak remaja dengan diselingi kisah orang dewasa membuat buku ini cukup menarik untuk dibaca sampai selesai tanpa jeda. Ketika membaca buku ini, entah mengapa bayangan saya langsung tertuju pada buku Laskar Pelangi, di mana ada sekumpulan anak-anak yang sekolah dengan murid yang bisa dihitung pakai jari.

Awalnya saya pikir, buku ini tak ubahnya produk turunan dari Laskar Pelangi, saya tak yakin menemukan hal yang lain, kecuali pengulangan-pengulangan. Tapi ternyata tidak begitu, buku yang mengambil setting di salah satu kota di Sulawesi ini, bercerita tak hanya kisah perjuangan rindu seorang anak pada ayahnya, kisah bersama teman-temannya tapi juga tentang budaya serta mitos-mitos orang bugis yang banyak memberikan informasi baru bagi pembaca.

Sebagai orang yang hidup dilingkungan yang mayoritas orangnya bersuku bugis, saya tak asing dengan apa yang penulis sampaikan, hampir semua sudah pernah saya dengar. Meski saya tinggal di Jakarta, semua mitos dan budaya–budaya yang diyakini penduduk bugis di dalam cerita ini masih dijalankan atau dipercayai orang bugis di sini, seperti kepercayaan bahwa ketika seorang wanita melahirnya, maka anak tersebut mempunyai saudara kembar seekor reptil, yang pada dasarnya ia adalah segumpalan darah yang ikut keluar berbarengan dengan keluarnya bayi tersebut dari lahir.  

Cara penulis menyampaikan informasi-informasi tersebut sangat nyaman dibaca, sayangnya mungkin saking semangatnya penulis meluap-luapkan ingin memberitahu, sesekali malah terkesan seperti laporan jurnalistik. Pembaca—saya maksudnya—bisa tahu dan mengerti, tapi penulis layaknya wartawan berita hanya memberi tahu saja, tak mengajak pembaca untuk berimajinasi, “ini lho, itu lho. Silakan imajinasikan sendiri.”

Karakter-karakter yang penulis buat sangat kuat, sampai-sampai saya membayangkan Vito itu seperti apa dalam imajinasi saya, Irfan seperti apa, dan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu penulis bisa membawa pembaca—saya—ikut terbawa dalam emosi yang ada dalam cerita, merasakan apa yang tokoh-tokohnya perbuat. Seperti alasan Vito tidak masuk sekolah dengan bilang kakeknya meninggal. Dan semua murid yang jumlahnya bahkan tak sampai sepuluh orang serta guru dan kepala sekolah percaya dengan ceritanya, dan kakeknya mengiakan dengan tak keluar dan menuruti apa yang cucunya bilang ketika guru dan teman-temannya main ke rumahnya, saat sedang pelajaran penjaskes lari keliling kampung, padahal dalam hati sangat tepukul kenapa cucunya melakukan itu.

Tapi namanya kebohongan ditutup searapat apapun suatu saat akan terbuka juga. Saat mereka kemah, tiba-tiba kakeknya datang dan semua lari ketakukan karena menganggap setan. Setelah kejadian itu, Vito dihukum “diam” oleh gurunya yang berakibat ia melakukan tindakan-tindakan yang tak baik. Seberat-beratnya hukuman adalah didiamkan.

Tak hanya canda dan tawa yang dihadirkan, kesedihan pun tak luput, seolah penulis mampu menakar apa yang pas untuk sebuah cerita. Tentang perasaan rindunya seorang anak pada ayahnya dan saudara kembarnya. Namun, Beberapa kali tokoh-tokohnya seperti sok tahu. Contohnya ketika gurunya senyum seusai Vito mengangkat tangan terakhir setelah teman-temannya ditanya siapa yang ayahnya petani. Penulis menuliskan,"sepertinya bu muanlidah banyak tahu, paling tidak ada pengetahuan tentang ayahku." Dan masih ada lagi lainnya.


Layaknya sinetron bersambung, ending cerita di buku ini menggantung. Penonton akan menunggu untuk tayangan selanjutnya, meski nampak selesai, sebenarnya pembaca masih akan bertanya tentang kelanjutan apa yang terjadi dengan Vito setalah ini, bagaimana kehidupannya dan lain sebagainya. Akhir kata buku ini cukup meghibur, memotivasi dan memberi wawasan tentang apa saja yang suku bugis atau orang sana lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)