Judul Buku: Penjaja
Cerita Cinta
Penulis: @edi_akhiles
Penerbit: Divapress
Cetakan Ke-1: Desember 2013
Tebal: 192 halaman
Penulis: @edi_akhiles
Penerbit: Divapress
Cetakan Ke-1: Desember 2013
Tebal: 192 halaman
Ketika membaca buku kumpulan cerita
pendek atau novel, apa yang ingin kalian dapatkan? Pasti salah satunya adalah
cerita yang menarik, bukan? Tentu itu yang diinginkan pembaca, juga cerita yang
mampu membawa kita ikut larut dengan apa yang penulis sampaikan. Namun sebagai
penulis kita tidak hanya sekadar membaca, tapi mempelajari teknik menulisnya.
Bagaimana cara penulis mengolah kata, bagaimana penulis menghadirkan konflik,
bagaimana penulis menyusun plot, serta bagaimana penulis mengeksekusi ide
ceritanya.
Kira-kira itu yang ingin buku ini
sampaikan. Jadi, tidak hanya sekadar membaca tapi kita belajar.
***
Kover
Sederhana, cuma buat saya terlihat
biasa sekali—tidak ada yang spesial. Sebagai penikmat desain, gambar yang
dipilih sebagai kover ini tidak memikat hati, saya disugukan dengan gambar
tangan memegang pensil dan hendak menulis di kertas. Gambar tangannya terkesan
memaksakan, hanya seperti tempelan saja. Jika sering jalan-jalan di google,
gambar sejenis ini akan mudah kita temui. Jadi saya tidak mendapatkan kesegaran
desain, di kover ini, karena sudah terlalu banyak gambar seperti ini. Harusnya
bisa dibuat lebih menarik lagi. Andai kovernya buku ini dibuat lebih serius
pasti lebih bagus, dan menarik mata yang memandang.
Layout
Bagus, di setiap awal
cerita, saya disuguhkan ilustrasi gambar sepasang kaki bersepatu yang terlihat
seperti sedang berjalan, lalu di bawahnya samar-samat tercetak gambar gedung
dan kendaraan-kendaraan. Halaman selanjutnya, di bagian bawah diisi rerumputan,
dan di tengahnya seperti bayangan samar-samar yang membawa saya membayangkan
sedang berada di hutan. Tapi ada satu yang
membuat tidak enak membacanya, letak paragraf miring-miring, tidak lurus
seperti buku yang biasa saya baca. Sedikit membuat saya jadi malas membacanya, karena pusing melihatnya. Tapi kayanya
hanya buku saya saja yang begini. Saya tanya pada teman-teman yang punya juga,
katanya baik-baik saja. Mungkin hanya kesalahan cetak. Tapi ya sudahlah.
Judul
Menarik
Tanda Baca, Penulisan
Kata, dan Ejaan.
Di buku ini saya tidak mendapati adanya
nama editor atau penyunting. Proofreader pun tidak ada. Hanya ada tata isi dan
pracetak (apa pracetak itu sama dengan proofreader?). Dengan melihat perjalanan
serta pengalaman penulis yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis, dan
penerbit tentu sudah tidak diragukan lagi jika memang tidak pakai editor atau
proofreader. Tapi sayangnya saya mendapatkan cukup banyak kesalahan. Ada typo,
ejaan, pwnulisan kata dan lain sebagainya. Contohnya: peduli jadi perduli,
twitter jadi tweeter, dan lainnya. Entah itu sengaja atau tidak.
Isi
Cerita-cerita di
dalamnya sungguh beragam, dan benar seperti tulisan di kovernya banyak
cerita-cerita yang tak terduga. Menceritakan cinta dari banyak versi. Tidak
hanya tentang sepasang kekasih tapi lebih dari itu. Karena ini kumcer bukan
novel, jadi mari kita ulas satu persatu.
1. Penjaja Cerita Cinta (3/5*)
Penulis mengangkat
tema senja, hmm (mungkin) sudah banyak sekali orang yang menceritakan tentang
senja, bahkan tema ini begitu melekat pada Seno Gumira Ajidarma sampai-sampai
ada yang bilang "tidak ada yang bisa membuat cerita senja sebagus Seno
Gumira Ajidarma". Bahkan ada buku berjudul Perkara Mengirim Senja yang
ditulis penulis-penulis muda sebagai persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma.
Itu artinya sebuah tantangan bagi penulis yang ingin mengangkat tema ini
menjadi cerita pendek.
Jika tema yang
diangkat sudah cukup banyak, biasanya sebagai pembaca, saya akan mencari hal
lain dari penulis, yaitu teknik menulis dan cara ia bercerita. Di cerpen yang
cukup panjang ini, penulis membuat cerita yang (mungkin) berbeda dengan yang
sudah ada, meski sama-sama tentang senja. Ceritanya asyik, seru, dan mengalir,
dimulai saat penjaja cerita mulai bercerita tentang kisah cinta yang berbeda.
Ada sedikit catatan
yang saya tulis untuk cerita ini.
- Ketika awal
membaca cerita ini saya dikagetkan pada kata-kata pembuka di paragraph pertama,
cerita ini hanya seolah memberitahu saya, tidak mengajak saya untuk melaju, dan
hampir saja membuat saya enggan melanjutkan ceritanya. Tapi tenang, saya lebih
suka meninggalkan bacaan yang sudah saya mulai.
Rumah
yang kucari ini lebih tepat kusebut kastil.
Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri dalam sepi.
Debu-debu kering bisa beterbangan demikian berantakan meski hanya secuil angin
yang meleguhinya. Pagarnya berdiri begitu congkak seolah berkata pada dunia,
“Ada kehidupan rahasia di dalamnya, jangan ganggu ia atau kematian kan
menyambarmu segera!” (Hal. 9)
Lalu
paragraf kedua ada yang membingungkan, batu yang bejejer itu di bentangkan
pagar?
“Batu-batu
kali sebesar kepalaku dijejer begitu rapinya di bentangkan pagar setinggi 3 meteran ini.” (Hal 9)
- Dialog yang kaku untuk beberapa adegan percakapan.
Sebagai pembaca, saya
menginginkan cerita yang saya baca itu asyik dan enak dibaca, baik dari narasi
maupun percakapannya.
“Teruslah
berjalan pelan melewati jalan berbatu setapak itu sampai ketemu sebuah pintu
batu yang di kanan kirinya ada patung Ganesha.” (Hal. 10)
Bukankah akan lebih
enak dibacanya jika begini bunyinya? “Teruslah berjalan melewati jalan berbatu
itu, sampai kau bertemu sebuah pintu batu, dan berhentilah di situ.”
“Silakan
duduk jika mau atau berkeliling jika mau.” (Hal 12)
Begini
saja menurut saya sudah cukup. “Silakan duduk jika kau mau,”
Oke
itu cuma soal selera membaca saja, tapi menurut saya lebih enak begitu.
- Pemborosan
kata.
Seakan tercelat dari
kursi sendiri, aku terangguk tanpa sadar. Bukan karena aku berkhayal tentang tubuhnya
yang sintal, meski memang tak lagi belia itu. (Hal
14)
Mengapa tidak memakai tanda — saja, sesudah kata “sintal”? Lalu kata “memang” dan “itu” dihilangkan pun tak jadi masalah.
Mengapa tidak memakai tanda — saja, sesudah kata “sintal”? Lalu kata “memang” dan “itu” dihilangkan pun tak jadi masalah.
- Typo
“… meski ku aku tak
lagi sama dengan aku sebelumnya…” (Hal 43)
2. Love is ketek. (1/5*)
Berbeda dari cerita
sebelumnya cerita ini begitu kekinian, dan sangat ringan dibaca, ide yang
diangkat pun tentang hal-hal sepele namun sering terjadi di kehidupan. Ada
banyak pengunaan bahasa gaul yang sering dipakai abg zaman sekarang. Seperti
“masak” untuk “masa”, “matih” untuk “mati”, “sampe” untuk “sampai”. Tapi
menurut tulisan yang pernah saya baca—saya lupa baca di buku, twitter atau
blog—tentang tips menulis, penggunaan bahasa gaul hanya boleh digunakan dipercakapan,
tidak untuk narasi. Saya menemukan kata-kata gaul itu di narasi. (Apa sharing
yang saya baca itu salah?)
Ada juga kata
“ngeremponin” dan “komprot” yang tidak disertai catatan kaki.
Saya tak mendapati hal
spesial di cerita ini, malah cenderung bingung.
3. Cinta
yang Tak Berkata-Kata (3/5*)
“Hatiku tak mengenal
batasan waktu untukmu.” (Hal 51)
Saya suka cerita ini, mengalir dan
mudah dicerna. Cerpen yang memproduksi banyak kata-kata puistis, dan penulis
mampu merangkainya dengan baik. Dari awal penulis langsung menghadirkan konflik
yang membawa sampai ending yang biasa, tapi bisa membuat senyum-senyum sendiri.
Hanya saja kesalahannya sama dengan 2 cerpen di awal, yaitu typo. Ah betapa
typo sedikit mengganggu.
4. Dijual
Murah Surga Seisinya (2/5*)
“Pak tua itu telah
menyelamatkanku…” (Hal. 72)
Penulis menceritakan
kisahnya dengan rapi, sayang di akhiri dengan pesan moral. Padahal, pembaca
lebih senang menebak dan mengambil apa yang telah ia baca dengan jalan
pikirannya sendiri, bukan dengan diberitahu.
5.
Menggambar Tubuh Mama (3/5*)
Sama dengan cerpen sebelumnya, cerita
ini rapi dan padat berisi. Cuma saya bingung dengan cerita awal di cerpen ini.
Di awal penulis seolah bercerita dengan POV1, lalu tiba-tiba berubah menjadi
POV3. Atau saya yang kurang teliti membacanya?
Seseorang bercambang
belukar, berwajah besi karat, dan bersuara halilintar kemarin sore jelang
maghrib menebas pedang panjang ke leher mama. (Paragrap pertama, hal. 73)
Lalu tanpa tanda pemotong apapun, di
paragrap 4
Pedangnya ditempelkan
ke pundak kecil bocah itu. (Hal. 74)
Dan menjadi POV1 lagi setelah pembatas.
Aku tak ingin tidur
seperti semalam. (Hal 74-75)
6.
Secangkir Kopi untuk Tuhan (1/5)
Meskipun buku yang kita baca adalah
fiksi. Cerita itu harus masuk akal. Baik itu cerita kehidupan maupun fantasi,
seperti kata A.S Laksana, “dunia nyata boleh tidak masuk akal, tapi fiksi harus
masuk akal.” Di cerpen ini saya mendapati halilintar bisa terpelanting.
Bagaimana halilintar terpelanting?
Sekali betot, terpelantinglah halilintar dari muffer knalpotnya. (Hal.
82)
Penggunaan kata yang kurang pas:
Di cerita ini penulis seolah berbicara
pada Simon, lalu mengapa muncul kata “ia”, bukankan lebih tepat jika memakai
“engkau” atau “kau”. Lalu “Tubuhnya” menjadi “Tubuhmu”.
Ah Simon, bola mataku
jadi putih bersalju diterkam risau saat kulihat ia tergelincir di tikungan ke
kiri Itu, tubuhnya terguling, terseret motornya... (Hal. 82)
Di akhir-akhir cukup
membosankan, hanya di isi curhatan serta doa antara tokoh aku dengan Tuhan yang
panjang. Endingnya, membuat saya menyeritkan dahi, apakah ada cleaning
service yang mau meminum kopi yang sudah dingin, milik orang lain pula.
Sebelum meminumnya cleaning service itu melihat ke arah tokoh aku
terlebih dahulu. Padahal tokoh akunya sudah keluar.
7. Tak
Tunggu Balimu (3/5*)
Setelah mencoba untuk membuat
cerita yang lucu di Love Is Ketek, di cerita ini penulis juga menghadirkan
cerita lucu. Dibeberapa paragrap saya mendapatkan hal-hal lucu yang membuat
saya tertawa, tidak seperti cerita Love Is Ketek yang memaksa untuk melucu. Di
sini saya dapatkan kelucuan yang natural dari kelakuan dua tokoh di cerpen ini.
Kesalahan kata;
“resek” (hal 93)
“tweeter” (hal 95)
Kubantingkan kepalaku
kesana-kemari, kosong. Nggak ada sepenggal kepalapun. Hanya deretan kamar kos
yang terasa lenggang. (Hal 95)
Kepalanya dibanting? Pecah dong? Hihi.
Lalu “Nggak ada sepenggal kepalapun” memang kepala si tokoh aku itu apa?
Endingnya aneh menurut saya, dijelaskan
kalau teman dari tokoh aku ini jadi suka dengan lagu yang sering tokoh aku
putar, karena temannya itu sedang patah hati dan galau. Kenapa jadi suka lagu
itu karena patah hati bukan karena tokoh aku sering memutar lagu itu? Bukankah
kalau kita sering mendengar lirik lagu yang sering diputar lirik itu melekat
dipikiran kita? Padahal awalnya sangat membenci lagu itu.
8. Cinta
Cantik (2/5*)
“Huuuffhg, anak siapa sih ini?! Gile
bener! Cantiknyaaaaa!!!” (Hal. 103)
Cerpen yang tak terlalu berat dan juga
tidak terlalu ringan, ya sedang-sedang saja. Narasi dan percakapannya banyak
diisi dengan makna-makna filosofis, tapi menurut saya biasa saja, karena saya
tidak ikut terbawa dengan ceritanya (mungkin karena plot yang tidak rapi). Ada
beberapa bahasa daerah tanpa catatan kaki.
9. Tamparan
Tuhan (2/5*)
“Bila setiap orang
yang merasa terzalimi bermunajat pada Tuhan agar lara hatinya terbalaskan,
dikabulkan oleh-Nya, sungguh semua orang akan tertampar olrh lakunya sendiri
sebagai tamparan cermin kehidupan, tamparan Tuhan...” (Hal. 118)
Mungkin maksud cerpen ini bagus, penuh
petuah. Tapi sayangnya saya malah tidak mengerti maksudnya. Imajinasi saya
tidak mampu membayangkan apa yang penulis ceritakan. Cerpennya hanya berputar
pada “kutbah” panjang nan membosankan.
10. Abah, I
Love You… (2/5*)
Tiap kali teringat
itu, aku nggak tahu harus berterima kasih dengan cara apa atas semua sikap
keras abah sejak kecil itu. (Hal. 131)
Sebuah kisah yang inspiratif—yang
mungkin diambil dari kisah nyata penulis. Meski kaya akan diksi dan cara
bertutur yang baik, cerpen ini lebih mirip curahan hati penulis ketimbang
cerpen seutuhnya, kira-kira begitu yang saya tangkap. Jika saja penulis bisa
mengolah idenya menjadi lebih menarik, pembaca pasti bisa terbawa dengan apa
penulis curahkan.
11. Cerita
Sebuah Kemaluan (2/5)
… mengapa Tuhan hanya
menyematkan satu kemaluan ya padaku? Juga orang tuaku, adik kakakku,
teman-temanku? (Hal. 133)
Cerpen yang yang yang bertemakan
seperti dijudulnya ini, seolah mengajak kita berputar pada kata-kata—seperti
ilmu filsafat—dengan tema yang penulis tawarkan, namun saya tak begitu
mengerti, mungkin ke depan saya akan mempelajarinya agar tahu.
Di akhir penulis memberi catatan: Plis
baca cerpen ini sampai habis agar tidak sepenggal kesimpulanmu.
12. Munyuk!
(3/5*)
“Aku minta maaf jika
ada sikap dan kata-kataku yang berlebihan padamu, yang menyinggung perasaanmu kemarin.”
Hal 146
Cara penulis menyampaikan cerita ini
sangat baik, penulis merangkai diksi dengan indah, serta cara bercerita
yang rapi, membuat ide serta konflik yang biasa, menjadi berbeda, karena saat
membaca saya dapatkan cerita yang mengalir.
13. Lengking
Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya (3/5)
“Hei manusia, tak
pernah ada hati yang mampu merasakan luka maha berdarah kecuali hati ibu saat
ditinggal mati oleh anaknya! Rasakan sekarang, saat ibumu kubawa pergi,
seberapa berdarahnya hatimu…” (Hal. 157)
Cerita yang mengharukan, sama seperti
cerita sebelumnya. Tak ada hal yang baru di sini—dari ide, sampai tema. Namun
penulis berhasil menceritakannya dengan baik, karena pemilihan diksi yang bagus
pula. Yang disayangkan, endingnya kurang mengesankan, kurang nonjok, nanggung
dan cenderung biasa, sama seperti ide ceritanya.
14. Aku Bukan
Batu!! (3/5*)
“Aku menolak semua
vonismu bahwa manusia tidak kekal!...” (Hal. 160)
Cerpen yang penulis tulis sangat baik
ini, cukup menarik, penulis bisa mengajak saya untuk ikut larut pada apa yang
dibahas tokoh-tokoh di dalamnya. Namun lagi-lagi, sayang, ada beberapa kata
yang tak sesuai dengan EYD dan saya tak dapat mengetahui endingnya, karena 1
lembar isinya rusak.
15. Si X, Si X,
and God (2/5*)
“Aku nyesal banget
kuliah ekonomi dulu…”
“Lhah, kok…?” (Hal.
167)
Membaca cerita yang hanya berisi
dialog-dialog antar dua tokoh seperti ini, bukan hal baru buat saya. Saya
pernah membaca cerita, “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono, di buku
Pada Suatu Hari Nanti dan Malam Wabah. Ide yang penulis ambil bagus, namun
dalam eksekusinya masih kurang. Saya ikut larut dalam percakapan itu, namun
datar saja. Berbeda dengan saat saya membaca “Ditunggu Dogot”, saya ikut
merasakan apa yang dua tokoh itu perbincangkan. Kesal, melongo, dan lain
sebagainya.
Bonus
Setelah kita disuguhkan dengan
cerita-cerita yang beraneka ragam, seperti yang dijanjikan di kover. Kita akan
bertemu dengan tips menulis yang penulis sampaikan.
***
Setelah membaca sampai selesai,
ternyata tebakan saya di awal benar adanya, kalau buku yang saya baca ini cacat
produksi (beberapa halamannya rusak, samar-sama tidak jelas). Saya membaca
semua cerita yang ada di buku ini masing-masing dua kali, yang pertama, tidak
ada yang nyangkut di kepala saya. Entah pada saat membacanya saya sedang banyak
pikiran atau memang bahasannya yang terlalu berat untuk saya cerna. Tapi
setelah membaca kembali ternyata tidak, mungkin benar yang pertama kalau saya
sedang banyak pikiran waktu itu. Saya melihat proses terbitnya buku ini seperti
tergesa-gesa, seandainya dibuat tidak dengan terburu-buru pasti hasilnya lebih
bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)