Sabtu, 11 Januari 2014

Penjaja Cerita Cinta



Judul Buku: Penjaja Cerita Cinta
Penulis: @edi_akhiles
Penerbit: Divapress
Cetakan Ke-1: Desember 2013
Tebal: 192 halaman

Ketika membaca buku kumpulan cerita pendek atau novel, apa yang ingin kalian dapatkan? Pasti salah satunya adalah cerita yang menarik, bukan? Tentu itu yang diinginkan pembaca, juga cerita yang mampu membawa kita ikut larut dengan apa yang penulis sampaikan. Namun sebagai penulis kita tidak hanya sekadar membaca, tapi mempelajari teknik menulisnya. Bagaimana cara penulis mengolah kata, bagaimana penulis menghadirkan konflik, bagaimana penulis menyusun plot, serta bagaimana penulis mengeksekusi ide ceritanya.

Kira-kira itu yang ingin buku ini sampaikan. Jadi, tidak hanya sekadar membaca tapi kita belajar.
***
Kover
Sederhana, cuma buat saya terlihat biasa sekali—tidak ada yang spesial. Sebagai penikmat desain, gambar yang dipilih sebagai kover ini tidak memikat hati, saya disugukan dengan gambar tangan memegang pensil dan hendak menulis di kertas. Gambar tangannya terkesan memaksakan, hanya seperti tempelan saja. Jika sering jalan-jalan di google, gambar sejenis ini akan mudah kita temui. Jadi saya tidak mendapatkan kesegaran desain, di kover ini, karena sudah terlalu banyak gambar seperti ini. Harusnya bisa dibuat lebih menarik lagi. Andai kovernya buku ini dibuat lebih serius pasti lebih bagus, dan menarik mata yang memandang.

Layout
Bagus, di setiap awal cerita, saya disuguhkan ilustrasi gambar sepasang kaki bersepatu yang terlihat seperti sedang berjalan, lalu di bawahnya samar-samat tercetak gambar gedung dan kendaraan-kendaraan. Halaman selanjutnya, di bagian bawah diisi rerumputan, dan di tengahnya seperti bayangan samar-samar yang membawa saya membayangkan sedang berada di hutan. Tapi ada satu yang membuat tidak enak membacanya, letak paragraf miring-miring, tidak lurus seperti buku yang biasa saya baca. Sedikit membuat saya jadi malas membacanya, karena pusing melihatnya. Tapi kayanya hanya buku saya saja yang begini. Saya tanya pada teman-teman yang punya juga, katanya baik-baik saja. Mungkin hanya kesalahan cetak. Tapi ya sudahlah.



Judul
Menarik

Tanda Baca, Penulisan Kata, dan Ejaan.
Di buku ini saya tidak mendapati adanya nama editor atau penyunting. Proofreader pun tidak ada. Hanya ada tata isi dan pracetak (apa pracetak itu sama dengan proofreader?). Dengan melihat perjalanan serta pengalaman penulis yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis, dan penerbit tentu sudah tidak diragukan lagi jika memang tidak pakai editor atau proofreader. Tapi sayangnya saya mendapatkan cukup banyak kesalahan. Ada typo, ejaan, pwnulisan kata dan lain sebagainya. Contohnya: peduli jadi perduli, twitter jadi tweeter, dan lainnya. Entah itu sengaja atau tidak.

Isi
Cerita-cerita di dalamnya sungguh beragam, dan benar seperti tulisan di kovernya banyak cerita-cerita yang tak terduga. Menceritakan cinta dari banyak versi. Tidak hanya tentang sepasang kekasih tapi lebih dari itu. Karena ini kumcer bukan novel, jadi mari kita ulas satu persatu.

1.   Penjaja Cerita Cinta (3/5*)
Penulis mengangkat tema senja, hmm (mungkin) sudah banyak sekali orang yang menceritakan tentang senja, bahkan tema ini begitu melekat pada Seno Gumira Ajidarma sampai-sampai ada yang bilang "tidak ada yang bisa membuat cerita senja sebagus Seno Gumira Ajidarma". Bahkan ada buku berjudul Perkara Mengirim Senja yang ditulis penulis-penulis muda sebagai persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma. Itu artinya sebuah tantangan bagi penulis yang ingin mengangkat tema ini menjadi cerita pendek.

Jika tema yang diangkat sudah cukup banyak, biasanya sebagai pembaca, saya akan mencari hal lain dari penulis, yaitu teknik menulis dan cara ia bercerita. Di cerpen yang cukup panjang ini, penulis membuat cerita yang (mungkin) berbeda dengan yang sudah ada, meski sama-sama tentang senja. Ceritanya asyik, seru, dan mengalir, dimulai saat penjaja cerita mulai bercerita tentang kisah cinta yang berbeda.

Ada sedikit catatan yang saya tulis untuk cerita ini. 

-    Ketika awal membaca cerita ini saya dikagetkan pada kata-kata pembuka di paragraph pertama, cerita ini hanya seolah memberitahu saya, tidak mengajak saya untuk melaju, dan hampir saja membuat saya enggan melanjutkan ceritanya. Tapi tenang, saya lebih suka meninggalkan bacaan yang sudah saya mulai.

Rumah yang kucari ini lebih tepat kusebut kastil. Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri dalam sepi. Debu-debu kering bisa beterbangan demikian berantakan meski hanya secuil angin yang meleguhinya. Pagarnya berdiri begitu congkak seolah berkata pada dunia, “Ada kehidupan rahasia di dalamnya, jangan ganggu ia atau kematian kan menyambarmu segera!” (Hal. 9)

Lalu paragraf kedua ada yang membingungkan, batu yang bejejer itu di bentangkan pagar?

“Batu-batu kali sebesar kepalaku dijejer begitu rapinya di bentangkan pagar setinggi 3 meteran ini.” (Hal 9)

-    Dialog yang kaku untuk beberapa adegan percakapan.
Sebagai pembaca, saya menginginkan cerita yang saya baca itu asyik dan enak dibaca, baik dari narasi maupun percakapannya.

“Teruslah berjalan pelan melewati jalan berbatu setapak itu sampai ketemu sebuah pintu batu yang di kanan kirinya ada patung Ganesha.” (Hal. 10)

Bukankah akan lebih enak dibacanya jika begini bunyinya? “Teruslah berjalan melewati jalan berbatu itu, sampai kau bertemu sebuah pintu batu, dan berhentilah di situ.”

“Silakan duduk jika mau atau berkeliling jika mau.” (Hal 12)

Begini saja menurut saya sudah cukup. “Silakan duduk jika kau mau,”

 Oke itu cuma soal selera membaca saja, tapi menurut saya lebih enak begitu.

-     Pemborosan kata.

Seakan tercelat dari kursi sendiri, aku terangguk tanpa sadar. Bukan karena aku berkhayal tentang tubuhnya yang sintal, meski memang tak lagi belia itu.  (Hal 14)

Mengapa tidak memakai tanda — saja, sesudah kata “sintal”? Lalu kata “memang” dan “itu” dihilangkan pun tak jadi masalah.

-       Typo
“… meski ku aku tak lagi sama dengan aku sebelumnya…” (Hal 43)

2.   Love is ketek. (1/5*)
Berbeda dari cerita sebelumnya cerita ini begitu kekinian, dan sangat ringan dibaca, ide yang diangkat pun tentang hal-hal sepele namun sering terjadi di kehidupan. Ada banyak pengunaan bahasa gaul yang sering dipakai abg zaman sekarang. Seperti “masak” untuk “masa”, “matih” untuk “mati”, “sampe” untuk “sampai”. Tapi menurut tulisan yang pernah saya baca—saya lupa baca di buku, twitter atau blog—tentang tips menulis, penggunaan bahasa gaul hanya boleh digunakan dipercakapan, tidak untuk narasi. Saya menemukan kata-kata gaul itu di narasi. (Apa sharing yang saya baca itu salah?)

Ada juga kata “ngeremponin” dan “komprot” yang tidak disertai catatan kaki.

Saya tak mendapati hal spesial di cerita ini, malah cenderung bingung.

3.   Cinta yang Tak Berkata-Kata (3/5*)
“Hatiku tak mengenal batasan waktu untukmu.” (Hal 51)

Saya suka cerita ini, mengalir dan mudah dicerna. Cerpen yang memproduksi banyak kata-kata puistis, dan penulis mampu merangkainya dengan baik. Dari awal penulis langsung menghadirkan konflik yang membawa sampai ending yang biasa, tapi bisa membuat senyum-senyum sendiri. Hanya saja kesalahannya sama dengan 2 cerpen di awal, yaitu typo. Ah betapa typo sedikit mengganggu.  

4.   Dijual Murah Surga Seisinya (2/5*)
“Pak tua itu telah menyelamatkanku…” (Hal. 72)

Penulis menceritakan kisahnya dengan rapi, sayang di akhiri dengan pesan moral. Padahal, pembaca lebih senang menebak dan mengambil apa yang telah ia baca dengan jalan pikirannya sendiri, bukan dengan diberitahu.

5.   Menggambar Tubuh Mama (3/5*)
Sama dengan cerpen sebelumnya, cerita ini rapi dan padat berisi. Cuma saya bingung dengan cerita awal di cerpen ini. Di awal penulis seolah bercerita dengan POV1, lalu tiba-tiba berubah menjadi POV3. Atau saya yang kurang teliti membacanya?

Seseorang bercambang belukar, berwajah besi karat, dan bersuara halilintar kemarin sore jelang maghrib menebas pedang panjang ke leher mama. (Paragrap pertama, hal. 73)

Lalu tanpa tanda pemotong apapun, di paragrap  4

Pedangnya ditempelkan ke pundak kecil bocah itu. (Hal. 74)

Dan menjadi POV1 lagi setelah pembatas.

Aku tak ingin tidur seperti semalam. (Hal 74-75)

6.   Secangkir Kopi untuk Tuhan (1/5)
Meskipun buku yang kita baca adalah fiksi. Cerita itu harus masuk akal. Baik itu cerita kehidupan maupun fantasi, seperti kata A.S Laksana, “dunia nyata boleh tidak masuk akal, tapi fiksi harus masuk akal.” Di cerpen ini saya mendapati halilintar bisa terpelanting. Bagaimana halilintar terpelanting?

      Sekali betot, terpelantinglah halilintar dari muffer knalpotnya.  (Hal. 82)

Penggunaan kata yang kurang pas:
Di cerita ini penulis seolah berbicara pada Simon, lalu mengapa muncul kata “ia”, bukankan lebih tepat jika memakai “engkau” atau “kau”. Lalu “Tubuhnya” menjadi “Tubuhmu”.

Ah Simon, bola mataku jadi putih bersalju diterkam risau saat kulihat ia tergelincir di tikungan ke kiri Itu, tubuhnya terguling, terseret motornya... (Hal. 82)

Di akhir-akhir cukup membosankan, hanya di isi curhatan serta doa antara tokoh aku dengan Tuhan yang panjang. Endingnya, membuat saya menyeritkan dahi, apakah ada cleaning service yang mau meminum kopi yang sudah dingin, milik orang lain pula. Sebelum meminumnya cleaning service itu melihat ke arah tokoh aku terlebih dahulu. Padahal tokoh akunya sudah keluar.

7.   Tak Tunggu Balimu (3/5*)
Setelah  mencoba untuk membuat cerita yang lucu di Love Is Ketek, di cerita ini penulis juga menghadirkan cerita lucu. Dibeberapa paragrap saya mendapatkan hal-hal lucu yang membuat saya tertawa, tidak seperti cerita Love Is Ketek yang memaksa untuk melucu. Di sini saya dapatkan kelucuan yang natural dari kelakuan dua tokoh di cerpen ini.

Kesalahan kata;
“resek” (hal 93)
“tweeter” (hal 95)

Kubantingkan kepalaku kesana-kemari, kosong. Nggak ada sepenggal kepalapun. Hanya deretan kamar kos yang terasa lenggang. (Hal 95)

Kepalanya dibanting? Pecah dong? Hihi. Lalu “Nggak ada sepenggal kepalapun” memang kepala si tokoh aku itu apa?

Endingnya aneh menurut saya, dijelaskan kalau teman dari tokoh aku ini jadi suka dengan lagu yang sering tokoh aku putar, karena temannya itu sedang patah hati dan galau. Kenapa jadi suka lagu itu karena patah hati bukan karena tokoh aku sering memutar lagu itu? Bukankah kalau kita sering mendengar lirik lagu yang sering diputar lirik itu melekat dipikiran kita? Padahal awalnya sangat membenci lagu itu.

8.   Cinta Cantik (2/5*)
      “Huuuffhg, anak siapa sih ini?! Gile bener! Cantiknyaaaaa!!!” (Hal. 103)

Cerpen yang tak terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan, ya sedang-sedang saja. Narasi dan percakapannya banyak diisi dengan makna-makna filosofis, tapi menurut saya biasa saja, karena saya tidak ikut terbawa dengan ceritanya (mungkin karena plot yang tidak rapi). Ada beberapa bahasa daerah tanpa catatan kaki.

9.  Tamparan Tuhan (2/5*)
“Bila setiap orang yang merasa terzalimi bermunajat pada Tuhan agar lara hatinya terbalaskan, dikabulkan oleh-Nya, sungguh semua orang akan tertampar olrh lakunya sendiri sebagai tamparan cermin kehidupan, tamparan Tuhan...” (Hal. 118)

Mungkin maksud cerpen ini bagus, penuh petuah. Tapi sayangnya saya malah tidak mengerti maksudnya. Imajinasi saya tidak mampu membayangkan apa yang penulis ceritakan. Cerpennya hanya berputar pada “kutbah” panjang nan membosankan.

10.  Abah, I Love You… (2/5*)
Tiap kali teringat itu, aku nggak tahu harus berterima kasih dengan cara apa atas semua sikap keras abah sejak kecil itu. (Hal. 131)

Sebuah kisah yang inspiratif—yang mungkin diambil dari kisah nyata penulis. Meski kaya akan diksi dan cara bertutur yang baik, cerpen ini lebih mirip curahan hati penulis ketimbang cerpen seutuhnya, kira-kira begitu yang saya tangkap. Jika saja penulis bisa mengolah idenya menjadi lebih menarik, pembaca pasti bisa terbawa dengan apa penulis curahkan.

11.  Cerita Sebuah Kemaluan (2/5)
… mengapa Tuhan hanya menyematkan satu kemaluan ya padaku? Juga orang tuaku, adik kakakku, teman-temanku? (Hal. 133)
 
Cerpen yang yang yang bertemakan seperti dijudulnya ini, seolah mengajak kita berputar pada kata-kata—seperti ilmu filsafat—dengan tema yang penulis tawarkan, namun saya tak begitu mengerti, mungkin ke depan saya akan mempelajarinya agar tahu.

Di akhir penulis memberi catatan: Plis baca cerpen ini sampai habis agar tidak sepenggal kesimpulanmu.

12.  Munyuk! (3/5*)
“Aku minta maaf jika ada sikap dan kata-kataku yang berlebihan padamu, yang menyinggung perasaanmu kemarin.” Hal 146

Cara penulis menyampaikan cerita ini sangat baik, penulis merangkai diksi dengan  indah, serta cara bercerita yang rapi, membuat ide serta konflik yang biasa, menjadi berbeda, karena saat membaca saya dapatkan cerita yang mengalir.

13.  Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya (3/5)

“Hei manusia, tak pernah ada hati yang mampu merasakan luka maha berdarah kecuali hati ibu saat ditinggal mati oleh anaknya! Rasakan sekarang, saat ibumu kubawa pergi, seberapa berdarahnya hatimu…” (Hal. 157)

Cerita yang mengharukan, sama seperti cerita sebelumnya. Tak ada hal yang baru di sini—dari ide, sampai tema. Namun penulis berhasil menceritakannya dengan baik, karena pemilihan diksi yang bagus pula. Yang disayangkan, endingnya kurang mengesankan, kurang nonjok, nanggung dan cenderung biasa, sama seperti ide ceritanya.
  
14.  Aku Bukan Batu!! (3/5*)
“Aku menolak semua vonismu bahwa manusia tidak kekal!...” (Hal. 160)

Cerpen yang penulis tulis sangat baik ini, cukup menarik, penulis bisa mengajak saya untuk ikut larut pada apa yang dibahas tokoh-tokoh di dalamnya. Namun lagi-lagi, sayang, ada beberapa kata yang tak sesuai dengan EYD dan saya tak dapat mengetahui endingnya, karena 1 lembar isinya rusak.

 
15.  Si X, Si X, and God (2/5*)

“Aku nyesal banget kuliah ekonomi dulu…”
“Lhah, kok…?” (Hal. 167)

Membaca cerita yang hanya berisi dialog-dialog antar dua tokoh seperti ini, bukan hal baru buat saya. Saya pernah membaca cerita, “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono, di buku Pada Suatu Hari Nanti dan Malam Wabah. Ide yang penulis ambil bagus, namun dalam eksekusinya masih kurang. Saya ikut larut dalam percakapan itu, namun datar saja. Berbeda dengan saat saya membaca “Ditunggu Dogot”, saya ikut merasakan apa yang dua tokoh itu perbincangkan. Kesal, melongo, dan lain sebagainya.




Bonus
Setelah kita disuguhkan dengan cerita-cerita yang beraneka ragam, seperti yang dijanjikan di kover. Kita akan bertemu dengan tips menulis yang penulis sampaikan.

***
Setelah membaca sampai selesai, ternyata tebakan saya di awal benar adanya, kalau buku yang saya baca ini cacat produksi (beberapa halamannya rusak, samar-sama tidak jelas). Saya membaca semua cerita yang ada di buku ini masing-masing dua kali, yang pertama, tidak ada yang nyangkut di kepala saya. Entah pada saat membacanya saya sedang banyak pikiran atau memang bahasannya yang terlalu berat untuk saya cerna. Tapi setelah membaca kembali ternyata tidak, mungkin benar yang pertama kalau saya sedang banyak pikiran waktu itu. Saya melihat proses terbitnya buku ini seperti tergesa-gesa, seandainya dibuat tidak dengan terburu-buru pasti hasilnya lebih bagus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)