Sabtu, 01 Februari 2014

Bicara Pendidikan Dari Kacamata Awam

Tiga atau empat tahun lalu kami masih duduk di bangku sekolah, pagi-pagi sekali kami harus berangkat. Mata yang masih mengantuk dan tubuh yang masih lemas, dipaksa untuk berjalan ke kamar mandi lalu berangkat sekolah. Tujuan kami cuma satu, mencari kesenangan tanpa tahu ke depan kami mau jadi apa. Banyangan masa depan seolah samar-samar tak mau menampakkan dirinya. Tapi ketika sampai di sekolah kesenangan itu sering terusik dengan ketakutan yang mendalam, kami benci guru-guru yang kejam, galak dan sering membentak ketika kami tak mampu melakukan yang mereka mau, kami hanya diajarkan menghapal, tidak diajarkan agar mengerti. Belum lagi ujian demi ujian yang membuat kami pusing.
Tempat yang sering kami sebut sekolah menjadi tempat di mana kami pertama kali mengenal berbagai macam kata-kata kotor, umpatan, dan makian. Hampir semua guru menyebut kami anak-anak tak berguna, mereka bilang kami anak-anak bodoh yang tak bisa mengerti arti pendidikan. Kami sebenarnya tahu, tapi kami memilih diam. Kami tahu pendidikan itu penting, tapi kami tidak mau didik dengan cara yang seperti mereka lakukan pada kami. Melawan kami tak mampu, akhirnya kami tumpahkan kekesalan kami pada sekolah dan seluruh isinya—yang sering kami anggap tempat menimba ilmu namun lebih kami kenal sebagai tempat penyiksaan pikiran—dengan tawuran di jalan, minum-minuman keras, pakai narkoba, segala macamnya kami coba. Kami merayakan kebebasan dengan menyaksikan gambar-gambar, serta video-video yang menampilkan orang-orang telanjang di dalamnya. Kami merasa senang ketika melakukannya, meskipun bayang-bayang amarah orang tua dan penghuni sekolah menghantui kami.

Kami sadar dan mengerti kalau itu salah, tapi itu yang membuat kami senang. Setiap hari kami diceramahi dengan pesan-pesan moral tanpa contoh nyata. Omongan oknum guru, oknum kepala sekolah, oknum pemerintah, oknum penegak hukum dan oknum mereka yang mengaku cinta pada pendidikan hanya jadi angin lalu, mereka tak pernah benar-benar serius dan sungguh-sungguh memberikan contoh pada kami. Ada teman kami yang dicabuli guru kami sendiri, teman-teman kami yang dipukuli oknum polisi,kepala sekolah kami yang korupsi, ujian nasional yang terlamabat membuat kami tertekan. Kepada siapa kami hendak mengadu dan menahan kesedihan ini? Bahkan kami tak tahu apa yang bisa kami banggakan, tak tahu apakah kami punya rasa percaya diri menghadapi pendidikan yang seperti ini modelnya? Kami tidak ingin menyalahkan siapapun, ini salah kami yang tak pernah benar-benar mengerti. Maafkan kami.
***
Cerita di atas mungkin hanya fiksi(*) yang saya buat, tapi bukan tidak mungkin menggambarkan isi hati adik-adik yang masih duduk di bangku sekolah. Di buku Catatan Pinggiran, Goenawan Mohamad menulis, sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Membicarakan pendidikan tentu kita akan membicarakan banyak hal. Bukan hanya tentang sekolah, tapi juga di luar sekolah, cerita di atas hanya salah satu contoh kecil di ruang lingkup pendidikan kita. Masih banyak lagi masalah yang ada di luar itu, banyak pula yang harus diselesaikan. Peran guru di sekolah tentu sangat penting. Sebab, mereka pendidik kedua setelah orang tua, dengan kata lain orang tua kedua para siswa di sekolah.
Tentu harus ada yang diubah dari cara mengajarnya. Bukan lagi dengan ceramah soal moral tapi dengan mencontohkan dari perilaku sehari-hari. Tidak lagi memborbardir para pelajar dengan tugas yang berlipat-lipat ditambah ujian yang semakin banyak. Memaksa menghapal, setelah pelajaran tidak ada terlupakan. Tidak melekat karena bukan dipahami tapi dihapal. Buatlah suasasana kelas senyaman mungkin, sehingga proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, sekolah tidak lagi jadi tempat yang membosankan serta menyeramkam. Menumbuhkan sikap percaya diri dan memotivasi pada siswa agar sikap takut dan tidak mencintai proses belajar itu perlahan luntur.
Para guru pun harus ikut maju, berkembang, dan terbuka akan hal-hal baru. Mau tidak mau guru harus mengikuti perkembangan zaman. Jangan sampai guru tertinggal oleh siswanya soal teknologi dan banyak hal baru. Sementara sistem pendidikan yang ada sudah tidak relevan untuk dipelajari oleh para muridnya. Masa depan tak pasti, segala hal bisa berubah dengan begitu cepat.


Tentang pendidikan, tentu bukan hanya masalah para guru, dosen, pemerintah atau para pemerhati pendidikan saja. Tapi masalah kita semua. Tugas guru mengubah wajah sekolah, dosen mengubah wajah kampus, tugas pemerintah memperbaiki kurikulum, pemerhati pendidikan ikut membantu pemerintah, dan kita yang bukan dalam lingkaran itu, ikut ambil andil dengan mengubah pendidikan di luar sekolah. Mengerjakan sesuai dengan bidangnya.

Bukan lagi jadi orang yang terus menerus mengomentari tanpa berbuat apa-apa. Tidak hanya jadi penonton yang senang marah-marah menyalahkan ini dan itu, tapi pemain yang ikut bersusah payah memperbaiki. Seringkali kita hanya terfokus pada masalah dan berlarut-larut menyesali. Bukan menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dengan solusi dan bergerak kita bisa mengubahnya. Mungkin sebagian dari kita kenal ada Gerakan Indonesia Mengajar, para pengajar muda memilih menjadi pemain dan terjun langsung ke pelosok-pelosok negeri untuk mengajar anak-anak di pedalaman. Ada pula gerakan yang tumbuh dari rasa ingin berbagi yang tinggi, seperti Akademi Berbagi yang rutin mengadakan kelas—tentang apa saja, menulis, usaha, desain, tergantung pengajarnya aktif di bidang apa—sebulan sekali, semua dilaksanakan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Siapapun boleh ikut. Pengajar gratisan, peserta tinggal duduk, bersosialisasi dan belajar. Ini adalah contoh di mana gerakan nyata meski kecil lebih berarti, dari pada ide besar yang tidak pernah dieksekusi. Ada pula kelas inspirasi, lebih lanjutnya bisa di googling.
Kita sekarang hidup di dua dunia—nyata dan maya. Dulu mungkin untuk mengumpulkan banyak orang yang se-visi dengan kita, bukanlah hal yang mudah. Tapi di zaman yang sangat pesat perkembangan teknologi dan informasi ini, semua bisa dilakukan. Bahkan untuk mencari orang yang sama-sama tertarik akan sesuatu, kita bisa dengan mudah menemukan atau membuat komunitasnya. Kita tinggal berkumpul dan membuat acara-acara positif. Semestinya kalau semua begini tidak ada lagi pertengkaran yang memicu perpecahan. Jika sama-sama suka akan sesuatu kita bisa berkumpul, seharusnya perbedaan bukanlah penghalang.
Dalam sebuah artikel Prof. Rhenald Kasali menulis, Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung. Inilah saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih panjang.
Untuk itu tugas kita semua untuk mengubahnya wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Mulai dari diri sendiri dan mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk ikut jadi pemain bukan penonton.
 ***
* Terinspirasi dari Novel Tak Sempurna
** Tulisan ini diikutsertakan dalam LBBK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)