Tiga atau empat tahun lalu kami masih duduk di bangku sekolah,
pagi-pagi sekali kami harus berangkat. Mata yang masih mengantuk dan tubuh yang
masih lemas, dipaksa untuk berjalan ke kamar mandi lalu berangkat sekolah.
Tujuan kami cuma satu, mencari kesenangan tanpa tahu ke depan kami mau jadi
apa. Banyangan masa depan seolah samar-samar tak mau menampakkan dirinya. Tapi
ketika sampai di sekolah kesenangan itu sering terusik dengan ketakutan yang
mendalam, kami benci guru-guru yang kejam, galak dan sering membentak ketika
kami tak mampu melakukan yang mereka mau, kami hanya diajarkan menghapal, tidak
diajarkan agar mengerti. Belum lagi ujian demi ujian yang membuat kami pusing.
Tempat yang sering kami
sebut sekolah menjadi tempat di mana kami pertama kali mengenal berbagai macam
kata-kata kotor, umpatan, dan makian. Hampir semua guru menyebut kami anak-anak
tak berguna, mereka bilang kami anak-anak bodoh yang tak bisa mengerti arti
pendidikan. Kami sebenarnya tahu, tapi kami memilih diam. Kami tahu pendidikan
itu penting, tapi kami tidak mau didik dengan cara yang seperti mereka lakukan
pada kami. Melawan kami tak mampu, akhirnya kami tumpahkan kekesalan kami pada
sekolah dan seluruh isinya—yang sering kami anggap tempat menimba ilmu namun
lebih kami kenal sebagai tempat penyiksaan pikiran—dengan tawuran di jalan,
minum-minuman keras, pakai narkoba, segala macamnya kami coba. Kami merayakan
kebebasan dengan menyaksikan gambar-gambar, serta video-video yang menampilkan
orang-orang telanjang di dalamnya. Kami merasa senang ketika melakukannya,
meskipun bayang-bayang amarah orang tua dan penghuni sekolah menghantui kami.
Kami sadar dan mengerti
kalau itu salah, tapi itu yang membuat kami senang. Setiap hari kami diceramahi
dengan pesan-pesan moral tanpa contoh nyata. Omongan oknum guru, oknum kepala
sekolah, oknum pemerintah, oknum penegak hukum dan oknum mereka yang mengaku
cinta pada pendidikan hanya jadi angin lalu, mereka tak pernah benar-benar
serius dan sungguh-sungguh memberikan contoh pada kami. Ada teman kami yang
dicabuli guru kami sendiri, teman-teman kami yang dipukuli oknum polisi,kepala
sekolah kami yang korupsi, ujian nasional yang terlamabat membuat kami
tertekan. Kepada siapa kami hendak mengadu dan menahan kesedihan ini? Bahkan
kami tak tahu apa yang bisa kami banggakan, tak tahu apakah kami punya rasa
percaya diri menghadapi pendidikan yang seperti ini modelnya? Kami tidak ingin
menyalahkan siapapun, ini salah kami yang tak pernah benar-benar mengerti.
Maafkan kami.
***
Cerita di atas mungkin
hanya fiksi(*) yang saya buat, tapi bukan tidak mungkin menggambarkan isi
hati adik-adik yang masih duduk di bangku sekolah. Di buku Catatan Pinggiran,
Goenawan Mohamad menulis, sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa
peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal
tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Membicarakan pendidikan
tentu kita akan membicarakan banyak hal. Bukan hanya tentang sekolah, tapi juga
di luar sekolah, cerita di atas hanya salah satu contoh kecil di ruang lingkup
pendidikan kita. Masih banyak lagi masalah yang ada di luar itu, banyak pula
yang harus diselesaikan. Peran guru di sekolah tentu sangat penting. Sebab,
mereka pendidik kedua setelah orang tua, dengan kata lain orang tua kedua para
siswa di sekolah.
Tentu harus ada yang
diubah dari cara mengajarnya. Bukan lagi dengan ceramah soal moral tapi dengan
mencontohkan dari perilaku sehari-hari. Tidak lagi memborbardir para pelajar
dengan tugas yang berlipat-lipat ditambah ujian yang semakin banyak. Memaksa
menghapal, setelah pelajaran tidak ada terlupakan. Tidak melekat karena bukan
dipahami tapi dihapal. Buatlah suasasana kelas senyaman mungkin, sehingga
proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, sekolah tidak lagi jadi tempat
yang membosankan serta menyeramkam. Menumbuhkan sikap percaya diri dan
memotivasi pada siswa agar sikap takut dan tidak mencintai proses belajar itu
perlahan luntur.
Para guru pun harus ikut
maju, berkembang, dan terbuka akan hal-hal baru. Mau tidak mau guru harus
mengikuti perkembangan zaman. Jangan sampai guru tertinggal oleh siswanya soal
teknologi dan banyak hal baru. Sementara sistem pendidikan yang ada sudah tidak
relevan untuk dipelajari oleh para muridnya. Masa depan tak pasti, segala hal
bisa berubah dengan begitu cepat.
Tentang pendidikan, tentu bukan hanya masalah para guru, dosen, pemerintah atau
para pemerhati pendidikan saja. Tapi masalah kita semua. Tugas guru mengubah
wajah sekolah, dosen mengubah wajah kampus, tugas pemerintah memperbaiki
kurikulum, pemerhati pendidikan ikut membantu pemerintah, dan kita yang bukan
dalam lingkaran itu, ikut ambil andil dengan mengubah pendidikan di luar
sekolah. Mengerjakan sesuai dengan bidangnya.
Bukan lagi jadi orang yang
terus menerus mengomentari tanpa berbuat apa-apa. Tidak hanya jadi penonton
yang senang marah-marah menyalahkan ini dan itu, tapi pemain yang ikut bersusah
payah memperbaiki. Seringkali kita hanya terfokus pada masalah dan
berlarut-larut menyesali. Bukan menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dengan solusi
dan bergerak kita bisa mengubahnya. Mungkin sebagian dari kita kenal ada
Gerakan Indonesia Mengajar, para pengajar muda memilih menjadi pemain dan
terjun langsung ke pelosok-pelosok negeri untuk mengajar anak-anak di
pedalaman. Ada pula gerakan yang tumbuh dari rasa ingin berbagi yang tinggi,
seperti Akademi Berbagi yang rutin mengadakan kelas—tentang apa saja, menulis,
usaha, desain, tergantung pengajarnya aktif di bidang apa—sebulan sekali, semua
dilaksanakan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Siapapun boleh ikut. Pengajar
gratisan, peserta tinggal duduk, bersosialisasi dan belajar. Ini adalah contoh
di mana gerakan nyata meski kecil lebih berarti, dari pada ide besar yang tidak
pernah dieksekusi. Ada pula kelas inspirasi, lebih lanjutnya bisa di googling.
Kita sekarang hidup di dua
dunia—nyata dan maya. Dulu mungkin untuk mengumpulkan banyak orang yang se-visi
dengan kita, bukanlah hal yang mudah. Tapi di zaman yang sangat pesat
perkembangan teknologi dan informasi ini, semua bisa dilakukan. Bahkan untuk
mencari orang yang sama-sama tertarik akan sesuatu, kita bisa dengan mudah
menemukan atau membuat komunitasnya. Kita tinggal berkumpul dan membuat
acara-acara positif. Semestinya kalau semua begini tidak ada lagi pertengkaran
yang memicu perpecahan. Jika sama-sama suka akan sesuatu kita bisa berkumpul,
seharusnya perbedaan bukanlah penghalang.
Dalam sebuah artikel Prof.
Rhenald Kasali menulis, Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif
memulai cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode
pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung. Inilah
saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan
dunia kita. Cara berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di
akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih panjang.
Untuk itu tugas kita semua
untuk mengubahnya wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Mulai dari
diri sendiri dan mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk ikut jadi pemain bukan
penonton.
***
* Terinspirasi dari
Novel Tak Sempurna
** Tulisan ini diikutsertakan dalam LBBK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)