Judul Buku: Air
Mata Kopi
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: Gong Publishing
Cetakan Ke-1: Oktober, 2013
Tebal: 80 halaman
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: Gong Publishing
Cetakan Ke-1: Oktober, 2013
Tebal: 80 halaman
Setiap orang punya caranya sendiri dalam
berpuisi, apa yang ingin disampaikan pun berbeda-beda—mungkin beberapa ada yang
sama. Ada yang mengangkat tema cinta, celana, hujan, perlawanan, keresahan dan
lain sebagainya. Begitu pula Gol A Gong, ia punya caranya sendiri dalam
berpuisi.
Kover
Menarik, dan bagus. Seandainya saja
tidak dipajang foto penulisnya. Buat saya gambar hewan dan karung kopi sudah
cukup mewakili apa yang ingin di sampaikan. Sayangnya foto penulis yang
terkesan—maaf—jutek, membuat buku ini malah terlihat seram. Mungkin foto
penulis itu untuk mewujudkan kekesalannya tentang sesuatu di balik kopi, tapi
menurut saya dua gambar itu saja sudah cukup mewakili. Bahkan adik perempuan
saya yang masih SMA tak berani memegang buku ini karena takut.
Layout
Biasa saja tidak ada yang menarik,
kecuali ilustrasi-ilustrasi yang lumayan.
Tanda
Baca, Penulisan Kata, dan Ejaan.
Di
buku kumpulan puisi seharusnya tak ada typo dan kesalahan lainnya. sayangnya
saya masih menemukan adanya typo di dalamnya.
Isi
Membaca buku kumpulan puisi Chairil Anwar di buku Deru Campur Debu maupun buku kumpulan puisi W.S Rendra di buku Stanza dan Blues saya mendapati puisi-puisi yang menceritakan diri sendiri ada pula yang bercerita layaknya cerpen tapi bukan cerpen. Di buku ini saya mendapati hal yang sama, namun cenderung lebih banyak yang bercerita.
Membaca buku kumpulan puisi Chairil Anwar di buku Deru Campur Debu maupun buku kumpulan puisi W.S Rendra di buku Stanza dan Blues saya mendapati puisi-puisi yang menceritakan diri sendiri ada pula yang bercerita layaknya cerpen tapi bukan cerpen. Di buku ini saya mendapati hal yang sama, namun cenderung lebih banyak yang bercerita.
Penulis
mengungkapkan rasa cintanya pada kopi lewat puisi, dari judul-judulnya pun ada
macam-macam puisi. Penulis produktif memang selalu bisa berkarya dalam keadaan
apapun dan di manapun ia berada. Terbukti sebagian puisi ia tulis saat ia
berada di pulau Sumatra. Tak seperti puisi di buku Stanza dan Blues maupun Deru
Campur Debu, puisi di buku ini banyak yang tak saya mengerti. Bahasa yang digunakan
terlalu tinggi dan berat buat saya. Sehingga tak mudah saya telan mentah-mentah.
Seperti ini contohnya:
Gudang
Kopi
Lampu
di kota mati jika panen kopi tiba
Aku
takut bunyi aneh di kegelapan.
;
Apakah itu serdadu?
Segera
ajak aku menari ballet.
Cangkir
porselen membuatku jatuh cinta.
Ya
memang tidak semua hal bisa saya mengerti. Tapi menurut saya puisi yang baik
adalah puisi yang pesannya bisa di tangkap dengan mudah atau tidak terlalu
rumit bagi pembaca atau pendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)