Ketika membaca novel atau cerita pendek kita bisa menyimpulkan bahwa
ini begini dan itu begitu, tentu setiap kepala akan menafsirkannya
berbeda-beda, meski kadang ada pula yang sama. Lalu bagaimana dengan puisi? Ini
lebih samar lagi. Seperti judul buku Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini,
Maksudnya Begitu. Puisi bisa menafsirkan dirinya menjadi apa saja ketika dibaca
orang-orang, antara yang satu dengan yang lain bisa saja berbeda.
Di buku Catatan Putih ini, Leon Agusta banyak bercerita tentang
kesunyian, kesendirian, keterasingan, tentu tentang cinta dan rindu yang
bertebaran. Tidak begitu romantis namun bisa membuat hati tersentuh. Tak seperti
beberapa penyair yang kata-katanya sulit dimengerti, alias kita harus berpikir
keras untuk menafsirkannya, Leon Agusta tidak, ia mengunakan bahasa yang
sederhana namun dalam maknanya. Misal puisi Di Hadapan Lukisan ini:
Bayangkan! Itu di suatu tempat di dunia
Kita tidak tahu di mana
Dan suatu upacara sedang berlansung
Untuk menyemarakan hidup semesta
Bayangkan! Kita sedang berada di sana
Ikut terbakar dalam gairah menyala
Setelah lelah, sunyi dan sedih
Bertahun-tahun
Bayangkan! Kita harus lebih banyak mimpi
Harus bisa rindu, hidup lebih bernafsu
Meskipun tahu: semua hanya mimpi
Garis yang menggapai itu adalah adalah tanganku
Merangkak dari ujung ke ujung semenanjung
Mencari stasiun terdekat, ingin mendekapmu
1974
Perkara saya yang awam ini, menilai masih sebatas saya suka atau tidak,
belum bisa sejauh apa yang para penulis atau kritikus tulis, buat saya
puisi-puisi Leon menyenangkan. Untuk mengulas yang lebih dalam lagi, saya rasa
saya harus banyak belejar lagi.
Penulis: Leon Agusta
Tata Laksana: Hamsad Rangkuti
Catakan: Kesepuluh, 1975
menarik sekali, siip deh
BalasHapus