Tahun
2014 menjadi tahun di mana Indonesia akan berpesta merayakan demokrasi, semua
bebas memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di senayan. Juga memilih pemimpin untuk
negeri yang kami cintai. Saya sebetulnya tak begitu tertarik membicarakan
politik, apalagi ingin tahu banyak tentang politik. Buat saya politik sangat
kotor. Betapa tidak, begitu banyak hal busuk di sana, dari pertengkaran para
politisi, hingga kasus korupsi yang masih banyak belum teratasi.
Segala
macam kebijakan hadir hanya untuk memuaskan diri sendiri. Saya tak melihat sedikitpun
kebaikan hadir di sana. Anak muda, ketika ditanya ingin jadi apa? Rasanya tak
banyak yang ingin menjadi politisi. Mungkin bisa dihitung jari beberapa yang mau,
seperti ada guyonan, mahasiswa yang nilainya A bakal jadi dosen, yang nilainya
B akan jadi pengusaha, dan yang nilainya C akan jadi politisi. Betapa politik
diletakan di deretan bawah, dari guyonan tersebut. Karena anak muda sudah
terlanjur apatis terhadap kondisi politik di negeri ini. seolah kebaikan tak
pernah nampak dari tempat bernama politik.
Pilgub
adalah pertama kali saya mempunyai hak pilih. Awalnya sama sekali tak tertarik
untuk ikut memilih pemimpin untuk kota yang saya tinggali. Toh ikut
berpartisipasi atau tidak, tak akan memberi banyak perubahan, itu pikiran saya
sebelumnya, tapi karena saya tak ingin orang yang sudah berkuasa sebelumnya dan
tak memberi banyak perubahan, lebih banyak menghancurkan menang, akhirnya saya
ikut memilih untuk perubahan.
Setelah
itu bertemu di 2014, pesta demokrasi yang begitu dinanti-nanti banyak orang.
Tapi tidak dengan saya, kondisi politik yang berantakan membuat saya malas
mengikuti perkembangannya. Apalagi ketika informasi tak pernah ketahuan mana
yang benar, mana yang salah. Semua samar, ketika media membungkam kita dengan
opini-opini yang dibangun sendiri. Ketika media dan televisi jadi alat penguasa
dan pengusaha yang ingin duduk di tahta, saling menjatuhkan demi kekuasaan dan
citra baik diri sendiri.
Di
sini lagi-lagi keinginan golput dikalahkan karena tak ingin wajah penghuni
senayan diisi para politisi kotor yang hanya ingin memperkaya diri dengan
berteriak-teriak mengatas namakan rakyat padahal hanya bualan saja. Pada
akhirnya saya memilih orang-orang yang saya yakini amanah dalam tugasnya. Memperjuangkan
rakyat bukan keluarganya sendiri.
Pemilihan
presiden menjadi puncak keriuhan di mana-mana, semua membicarakan siapa yang
berhak memimpin negeri. Dari warung kopi hingga kafe-kafe elit. Dari dunia
nyata sampai dunia maya. Tapi sekali lagi, saya tak tertarik untuk mengikuti. Pembicaraan
di media sosial tak henti-henti, terlebih ketika sudah ada dua pasang yang akan
maju. Yang menggembirakan dari pesta demokrasi ini adalah akan ada pemimpin
baru untuk negeri ini, yang semoga membawa perubahan ke depannya. Yang
menyedihkannya ketika beberapa orang (di media sosial) yang tiba-tiba jadi
pengamat politik, mereka membabi buta membela pemimpin pilihannya dan
menghantam yang berbeda pandangan politik dengan dirinya. Isu apapun dijadikan
bahan untuk menjatuhkan, saling serang dan menebar kebencian, seolah-olah Bhineka Tunggal Ika itu tak pernah ada, hanya pajangan yang tak pernah memberi
arti apa-apa.
Ini
menyebalkan, tiap hari terjadi perdebatan, tiap hari terjadi perkelahian
kata-kata. Bukan tak peduli dengan kondisi politik hari ini, tapi terus terang
malas sekali bersuara ketika kita memilih berada di satu kubu akan diserang
habis-habisan sama lawannya dan yang satu visi akan saling bersatu untuk
menyerang lawan. Akhirnya saya lebih memilih untuk diam, terserah mau dibilang
tak peduli atau apapun yang terpenting adalah ketenangngan. Sebab mencari
ketenangan sulit sekali hari ini.
Akhirnya
saya memilih sesuai kata hati dan apa yang guru-guru saya pilih. Saya yakin
mereka menentukan pilihan dari hasil perdebatan panjang, entah dengan diri
sendiri, dengan orang-orang, atau dengan meminta petunjuk yang Maha Kuasa. Dengan
mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang tak baik untuk ke depannya.
Jikalau pun pilihan saya salah nantinya, semoga Allah ampuni kesalahan saya,
sebab kekurangan saya yang tak bisa membaca hati, pikiran dan masa depan.
Semoga Indonesia yang rukun, damai dan saling menghormati tak pernah mati. Selamat untuk yang menang, semoga amanah. Untuk yang kalah, semoga tetap peduli pada bangsa. Selamat berkerja dan berkarya untuk saya, karena hidup terus berjalan dan tubuh butuh makan, ada atau tidak ada pesta demokrasi.
09-07-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)