Judul : Sihir Perempuan
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Kata Kita
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Kata Kita
Cetakan ke-1: Mei, 2005
Tebal : 150 halaman
Tebal : 150 halaman
Ada banyak
kejadian-kejadian yang kita bisa terima dengan baik, ada pula yang tidak bisa
kita terima akal sehat. Semisal tentang adanya hantu-hantu yang keberadaannya
tak kita tahu. Entah mereka benar ada atau hanya buatan hasil imajinasi kita
saja. Seperti halnya adanya alien. Tapi bisa saja hantu-hantu itu memang ada,
seperti yang diungkapkan beberapa orang yang bisa melihatnya. Saya sendiri
mempercayai mereka ada, tapi ya biasa saja, tidak terlalu merasa takut atau tak
berani ke kamar mandi sendiri, meski beberapa kali saya sempat menulis cerpen
tentang hantu dan sempat sekali—mungkin—diganggu. Tapi ya sudahlah.
Membaca buku sihir
perempuan buat saya adalah cara baru menikmati cerita-cerita yang tak masuk
akal soal keberadaan hantu, meski tidak semua bercerita tentang hantu tapi
setidaknya di bagian di mana hantu itu ditampakan saya cukup menikmatinya. Seperti
di cerpen Darah, penulis menyajikan cerita tentang seorang yang bekerja di
dunia Iklan, bosnya mendapatkan tawaran iklan pembalut dan semua diminta
mencari ide, lalu si tokoh terbayang tentang masa kecilnya, bagaimana seorang
perempuan yang baru mens dan diajarkan ibunya bagaimana memakai pembalut, serta
ceramah dan nasihat serta cerita ustazahnya yang mengharuskan membersihkan darah
di pembalutnya sebelum dibuang ketempat sampah, karena suatu saat ada seseorang
yang akan mengambil pembalut berdarah tersebut. Lalu ustazah menceritakan kisah gadis yang lupa membersihkan darah di pembalutnya karena terburu-buru. Cincinnya tertinggal di wc ketika mengambilnya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat perempuan berambut panjang yang mukanya pucat dan bibirnya merah sedang menjilati pembalutnya yang dipadati darah.
Saya suka cerita yang
mengalir, yang bisa membawa saya menikmati cerita tanpa harus bertanya ini
kenapa dan itu bagaimana, tapi saya terus saja membacanya sampai cerita itu
selesai dan saya baru bisa menyimpulkan ketika cerita itu berakhir, penulis
begitu lihai membuat adegan demi adegan menjadi nyata dalam imajinasi saya, ia
pandai meletakan kata demi kata yang tergabung menjadi kalimat yang membuat
saya percaya bahwa cerita itu benar ada—takarannya pas, bukan hanya di cerita
ini saja, tapi hampir semua. Ya, ketika membacanya saya seperti sedang menonton
FTV yang bertemakan hantu di siang hari, yang ditayangkan sebuah stasiun televisi.
Bedanya hantu buatan
penulis tak sekejam cerita-cerita hantu yang ada di televisi atau bioskop. Ia tidak
membunuh atau menikam manusia, ia hanya berperan menjadi dirinya sendiri, yaitu
sesekali menampakan diri dan berinteraksi pada manusia. Di cerpen misteri Polaroid,
kita disuguhkan pada ide cerita yang biasa, hantu mucul di dalam foto, Sudah
umum bukan? Tapi bukan itu poinnya, tapi cara penulis menceritakan kejadian
demi kejadian yang membuat saya terkesan. Ia lihai sekali meramunya. Cerita-ceritanya
kadang santai, mengalir dan sesekali menakutkan,
Di buku ini tak hanya
bercerita tentang hantu saja, ada beberapa cerpen yang bercerita lain, seperti
di cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, saya seperti mengulang membaca
cerpen-cerpen Sapardi di buku Pada Suatu Hari, di mana ia menceritakan cerita
rakyat yang melegenda seperti Malin Kundang, Rama Sinta dan lainnya, dengan
versi dia. Sama seperti Sapardi, penulis juga membuat cerita yang yang sering
kita dengar atau tonton di televisi, yaitu tentang cinderela, yang ketika
membacanya kita akan hapal dengan kisah tersebut, tapi menarik untuk dibaca
karena berbeda atau ia membelokkan cerita aslinya.
Di cerpen
Mak Ipah dan Bunga-bunga, penulis mengangkat ide tentang gadis kota yang tak
bisa memasak, sampai bertemu Mak Ipah dan mendapatkan cerita berbeda dari yang sudah
lama masyarakat di sana terima.
Suara perempuan di
buku ini begitu mendominasi, bahkan hampir 95% adalah apa yang wanita rasakan,
tentang ini dan itunya. Lelaki ada hanya sebagai sempalan saja. ia hanya
dibiarkan bicara jika diperlukan saja. Atau ia muncul sesaat saja. Sebelum membaca
buku ini saya sempat membaca karya dari beberapa penulis cerpen wanita, yang
membuat saya memutuskan tidak ingin membaca karya penulis wanita dalam waktu
dekat. Bukan karena saya tak suka karya penulis wanita, tapi karena cara berceritanya yang
tak begitu saya suka. Tapi karena tuntutan diskusi, jadi saya membacanya. Dari
sihir perempuan saya dapatkan yang berbeda, saya suka dan senang membacanya.
dan akhirnya saya bingung untuk membuat daftar apa saja yang kurang dari buku
ini. Intan Paramaditha telah menyihir saya. Dan saya berharap ia menyihir saya agar bisa bercerita sama baiknya seperti dia atau bahkan
lebih baik dari pada dia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)