Minggu, 06 Oktober 2013

Pelita Hidup

Pagi-pagi, seusai salat subuh, kita masing-masing sudah membagi tugas. Aku membantumu mencuci pakaian, bapak menunggu warung, sedangkan adik menyapu rumah. Semua nampak biasa, hanya saja, engkau lebih banyak diam. Tidak ada kata-kata yang terucap, kau hanya berbicara jika perlu saja. Dari semalam aku dapati ada yang berbeda dari dirimu, engkau tidak banyak berbicara, tubuhmu juga terlihat lemas.

Jika melihat yang berbeda darimu, aku biasa langsung bertanya.  "Kenapa, bu?"

"Ini dada sama lambungnya sakit."

"Berobat aja yuk bu." Aku mulai duduk di sampingmu.

Kebanyakan anak laki-laki lebih dekat dengan Ibu mereka. Sedangkan anak perempuan dengan Bapak mereka. Entah teori ini benar atau salah. Tapi yang banyak aku lihat seperti itu. Meski aku tidaklah terlalu dekat denganmu, tapi banyak rasa telah kita bagi bersama. Engkau seorang Ibu yang luar biasa. Jika sudah berbicara soal penyakit, nasihatmu padaku selalu sama. "Jaga kondisi tubuh dan pola makan baik-baik. Kamu punya turunan diabetes. Sakit itu tidak enak." Aku mengagguk.

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Pekerjaan kita masing-masing tuntas dilaksanakan. Hanya tinggal bapak yang masih menunggu warung. Sedangkan aku melanjutkan pekerjaan adik yang belum sempurna. Setelah semua beres, aku menghampirimu yang tertidur lemas di kasur kamar. Nada telepon genggammu berbunyi, ada nomer yang tidak kukenal. Setelah aku angkat. Ya, aku kenal suara itu. Suara teman baikmu, yang sering membantu orang sakit.

Aku bertanya. "Mau kemana, bu?"

"Mau berobat ke rumah sakit, sudah tidak tahan perut dan dada sakit sekali." Jawabmu

Aku tidak menyesal karna telah membatalkan niat untuk pergi ke sebuah acara di senayan. Aku justru akan sangat menyesal jika pergi di saat engkau tengah sakit. Jam demi jam berlalu, sampai tiba jam 12 siang, adik memberikan teleponnya padaku. Dia bilang ada telepon darimu, aku mengambil telepon dari genggamannya.

"Ibu di rawat, baik-baik ya di rumah. Nggak usah bilang tetangga dulu, nanti pada panik." Katamu, aku mengiyakan lalu engkau menutup teleponnya.

Bahkan ketika engkau sudah terbaring lemah di kasur rumah sakit pun engkau tak mau merepotkan orang lain, juga tak mau membuat orang cemas.

Mungkin engkau sakit karna sering cemas memikirkanku, khawatir akan keadaanku, dan banyak hal yang membuat hati dan pikiranmu berputar di aku, adik dan bapak. Untuk semua salah yang pernah aku perbuat. Ibu, maafkanlah. Aku tahu kata maaf saja tak bisa membayar semua kesalahanku. Tak mampu melunasi hutang-hutang hidupku. Namun aku tahu engkau adalah manusia luar biasa yang selalu membuka puntu maaf seluas-luasnya untuk anakmu.

Engkau, ibu. Pelita hidupku, penerang setiap langkahku, penuntun dalam kebaikan. Segeralah sembuh, dalam tiap sujud dan doa selalu ada namamu. Semoga kesehatan selalu hadir dalam hidupmu, agat kita bisa kembali merasakan berada di lingkaran cinta yang tak terhitung. Berada dalam dekapan kasih sayangmu yang tak terhingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)