Kamis, 05 Desember 2013

Tumbuh di Lingkungan Negatif

Malam demi malam lebih sering saya lawati sendiri. Di dalam kamar yang sepi, saya hanya di temani pekerjaan yang selalu menunggu untuk di kerjakan. Kalau bosan menghampiri, saya selingi dengan membaca buku atau berselancar di internet. Pergaulan di luar rumah tak seramah mata memandang. Yang terlihat tenang di depan tenang, dibelakang lintingan ganja di bakar, wanginya mengepung pernapasan. Obat-obatan terlarang masuk ke tubuh tanpa perlawanan, lem aibon melenggang masuk ke dalam tubuh dengan nyaman, jarum suntik menusuk tangan, menenangkan katanya. Belum lagi yang menghabiskan malamnya dengan sex bebas.

Bergaul untuk saling mengenal, bukanlah untuk merusak. Berinteraksi  tanpa harus adu mulut, bersosialisasi tapi tak wajib mengikuti arus. Setidaknya ada jarak antara baik dan buruk. Bertegur sapa tidak pernah lepas, selama raga masih bisa bertemu.  Tidak ada keharusan menemani mengobrol sambil minum alkohol. Itu semua pilihan mereka, pilihan saya tak mengikutinya. Walaupun begitu kita tetap berteman baik. Pergaulan yang sehat lebih menyenangkan ketimbang pergaulan yang sakit—merusak tubuh.
  
Malam yang gelap dilukis dengan tawuran di jalan, entah sudah berapa nyawa yang hilang, dan tak tahu sudah berapa banyak korban yang terluka. Tawuran selalu membawa duka ketimbang suka. Permasalahannya yang diributkan kadang sepele, namun dibesar-besarkan. Berawal masalah anak-anak kecil, lalu abg-abgnya turun tangan. Jika kalah, orang dewasanya ikut membantu, tak jarang orang tuapun bukan menengahi malah ikut bergabung. Ya semua berlangsung turun temurun dari saya kecil hingga saat ini.


Beda orang, beda kegiatan. Nggak selalu yang lahir di lingkungan negatif akan jadi negatif. Beberapa minggu yang lalu ada seorang teman, dia menanyakan di Facebook harga buku yang di dalamnya ada cerpen karya saya. Dia berniat membelinya. Akhir kata kita malah bercerita banyak tentang aktifitas masing-masing. Saya  mengenal dia sejak lama, selain anak band dan juga bisa ngerapp. Dia juga mengajar les music. Dan dia juga pandai bergaul.

Dulu kami sering menghabiskan malam bersama, sambil mengobrol dan bernyanyi dengan diiringi petikan gitar.  Saya sering memperhatikan dia bermain gitar, karena sambil menyelam minum air—sambil mengobrol sambil belajar. Dengan segudang aktifitasnya yang padat, dia masih sering juga meluangkan waktunya untuk mengajar anak-anak yang tidak mampu di sebuah yayasan (saya nggak tahu nama yayasannya). Selain itu, dia juga aktif di beberapa aksi sosial dan komunitas. Ya, bisa di dibilang dari kecil dia memang anak yang nakal, bergaulnya juga dengan mereka yang terlibat narkoba dan sering keluar masuk penjara. Walaupun ikut  duduk bareng dengan mereka yang sering berpesta. Tapi dia tidak pernah mengikuti yang dilakukan teman-temannya.

Kalau mengajar anak- anak dia tak pernah mau dibayar, katanya: “Saya si ikhlas kok kalau ngajar.” dia mengisi dompetnya dari ngeband, akhir-akhir ini juga aktif di stand up comedy. Dia juga hobby menulis dan masih banyak lagi aktifitasnya. Jadi biarpun berada di lingkungan yang berantakan dalam banyak hal, dia tumbuh jadi manusia yang berguna untuk sesama.

Setiap orang punya pengalaman yang berharga, dan itu dapat kita pelajari tanpa harus mengalami. Jangan melihat hanya dari luar tapi lihat juga dalamnya. Dan percayalah pasti ada kebaikan walau dalam wadah yang buruk sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)