Dari kecil saya tak pernah
diajarkan, diajak ataupun dikenalkan dengan berbagai macam bacaan. Saya sempat
mengenal Majalah Bobo itupun hanya sekedarnya saja—belum tentu sebulan sekali
saya dibelikan. Ketika duduk di bangku sekolah saya dikenalkan dengan buku-buku
pelajaran yang sama sekali tidak menarik minat saya untuk membacanya. Saya
tidak menemukan keasyikkan saat membaca buku pelajaran sesenang membaca
cerita-cerita di Majalah Bobo.
Alhasil saya tumbuh jadi anak yang
amat sangat tak suka membaca—kecuali ada pekerjaan rumah saya baru membaca buku
pelajaran, karna tuntutan soal yang mengharuskan saya membacanya. Jika membaca
buku—apapun judulnya, saya lebih sering terlelap dan tertidur pulas dengan buku
yang letaknya entah di kepala, di kaki atau tertindih badan. Meski ibu saya
saat muda termasuk yang sangat gemar membaca, itu tidak menurun pada saya.
Bahkan uak saya di Aceh adalah seorang yang kutu buku. Saat ke Jakarta, bukan
hanya keluarga yang ia kunjungi tapi juga toko buku.
Tapi saya tak mau menyalahkan orang tua saya karena tidak mengajarkan saya untuk senang membaca buku. Sebab, ini juga salah saya yang tak punya inisiatif untuk senang membaca. Mereka sudah memberikan banyak hal kepada saya. Semua yang terbaik telah mereka lakukan untuk saya, bisa tumbuh seperti sekarang ini saja sangat saya syukuri, tanpa mereka saya bukanlah apa-apa.
Tapi saya tak mau menyalahkan orang tua saya karena tidak mengajarkan saya untuk senang membaca buku. Sebab, ini juga salah saya yang tak punya inisiatif untuk senang membaca. Mereka sudah memberikan banyak hal kepada saya. Semua yang terbaik telah mereka lakukan untuk saya, bisa tumbuh seperti sekarang ini saja sangat saya syukuri, tanpa mereka saya bukanlah apa-apa.
Waktu mempertemukan saya dengan
teman-teman yang giat dalam merintis usaha—mereka menyebut dirinya Young
Entrepreneur (Pengusaha Muda). Saya menjelajahi satu persatu komunitas—meski
saya tak kenal banyak orang, karna saya termasuk orang yang pendiam saat itu, tapi
ada banyak manfaat yang saya dapat. Suatu ketika teman saya bilang “Membaca
akan membuat kita tahu banyak hal yang tidak kita ketahui. Bacalah buku-buku
bisnis, motivasi atau pengembangan diri. Kita bisa belajar tentang bisnis dari
sana.”
Karena ingin bisnis saya berkembang
dan tumbuh pesat seperti bisnis mereka—meski saya tahu untuk sukses tak
pernah ada yang instan. Saya mulai menyisihkan uang saya untuk membeli buku-buku bisnis,
motivasi dan pengembangan diri. Awalnya sama seperti dulu, saya lebih sering
tertidur ketika membaca, tapi saya paksakan untuk menghabiskan satu persatu
buku yang sudah saya beli. Mulai dari buku cara benar sampai cara gila saya
baca. Tahu sendiri, judul buku bisnis kadang aneh-aneh judulnya. Dari sana saya mulai
senang membaca—meski awalnya terpaksa.
Saya mengalami titik jenuh, semua
buku bisnis, motivasi, dan pengembangan diri makin ke sini makin sama bahasannya.
Pernah suatu waktu saya membaca tiga buku dengan tiga judul berbeda dan penulis
yang berbeda pula, namun bahasannya seragam—meski cara menyampaikannya berbeda.
Sampai pada satu titik saya memutuskan untuk tidak membaca buku lagi. Saya
memilih fokus jualan dan kuliah.
Memang tak pernah ada yang kebetulan
semua sudah direncanakan. Saya dipertemukan lagi dengan teman-teman yang minat
membacanya sangat tinggi. Di awal-awal saya sangat tidak mengerti apa yang
mereka bicarakan. Pelan-pelan saya belajar—mempelajari apa yang mereka
bicarakan lalu mencari tahu di google tentang semua yang mereka bicarakan—dan
akhirnya saya tahu oh ini, oh itu. Saya mulai kenal dengan penulis ini dan itu.
Dari bacaan mereka saya dapati mereka lebih banyak membaca buku fiksi. Kata saya
dalam hati “Apa sih enaknya membaca buku fiksi? Bukannya hanya membuang-buang
waktu saja? Tak ada yang menarik yang dapat diambil selain cerita-cerita yang
membuat tertidur?”
Pada waktu itu pengetahuan saya soal
buku sangat payah sekali. Saya malu karena lebih banyak tidak mengertinya. Apalagi
ketika mereka membicarakan bacaan di masa kecil. Tak ada yang saya kenal
satupun. Akhirnya saya mencoba membaca buku-buku fiksi. Saya mengenal dunia baru
yang hebat dari sana. Pernyataan saya seolah putus oleh kata-kata yang
terangkai menjadi cerita. Minat membaca saya tumbuh lagi, satu dua hingga beberapa
buku fiksi saya baca, saya jatuh cinta padanya. Dari fiksi saya seperti
menemukan dunia baru yang tak saya dapatkan di dunia nyata, imajinasi saya
bebas membayangkan cerita yang saya baca.
Saya juga mulai menyukai dunia
perbukuan seluk beluknya sedikit demi sediikit saya mulai kenali. Dan senang melihat
teman-teman sudah memiliki buku hasil karyanya, tanpa berbicara mereka seolah
sudah berbicara lewat karya. Saya bertemu teman-teman yang minat menulisnya
sangat tinggi dan ingin menerbitkan naskahnya.
***
Jika saya penerbit buku fiksi.
Saya ingin membantu penulis-penulis
baru yang memiliki potensi untuk menerbitkan karyanya. Tentu dengan naskah yang
sudah cukup matang untuk diterbitkan. Sebab masih banyak sekali calon penulis
yang belum mengenal EYD, mengenali pembaca, bercerita dengan baik. Mas
Aslaksana pernah menulis di facebook kalau masa depan sastra Indonesia adalah
hari ini, pada orang-orang yang mendorong diri untuk menulis sebagus mungkin
hari ini, yang mengilhami orang lain untuk menulis lebih baik lagi.
Saya tahu menghasilkan sebuah karya
bukanlah hal yang mudah, butuh pengorbanan, proses kreatif, waktu yang
dihabiskan untuk menulis dan juga banyak hal yang telah dilewati sampai karya
tersebut lahir. Maka dari itu sebagai penerbit buku saya ingin berikan royalti untuk
penulis sama pada umumnya, dan tidak mempermainkan mereka dengan memotong atau
mengambil hak mereka.
Selain menerbitkan karya-karya penulis dalam negeri saya juga
akan menerjemahkan lalu menerbitkan karya-karya penulis luar—terutama
karya-karya penulis besar. Agar para pembaca buku di indonesia mengenal bukan
hanya karya penulis dalam negeri saja, tapi ada juga karya penulis luar yang
bagus dan perlu dibaca.
Belajar dari pengalaman masa kecil saya yang kurang atau
bahkan tak banyak membaca. Saya ingin memperkenalkan karya-karya yang baik
kepada anak-anak—anak sekolah maupun anak-anak jalanan. Dengan membuat taman
baca, mungkin ini keluar dari batas penerbitan, tapi selama masih menyangkut
dunia perbukuan saya ingin membuatnya dan berbagi apa yang saya sukai. Cukup
saya yang mengalami masa kecil tanpa membaca, saya ingin anak-anak bergaul
dengan buku-buku fiksi yang bagus. Saya lebih senang melihat mereka kecanduan
membaca buku ketimbang kecanduan game online dan gadget (hp, tablet dan
sejenisnya). Saya juga tak ingin mereka ketinggalan
dengan teman-temannya yang sudah mengenalnya lebih dulu tentang buku. Dan tak
ingin lihat mereka baru melangkah untuk membaca, serta menulis ketika mereka
sudah beranjak dewasa—tentu akan banyak halangannya termasuk rasa malas.
Karena anak-anak atau remaja adalah calon-calon penerus dan
pemimpin bangsa. Masa depan sastra mungkin juga ada ditangan mereka. Jika bacaan
mereka sejak kecil sudah bagus, lalu menulis juga. Saya percaya masa depan Sastra Indonesia mungkin akan lebih baik. Saya bukanlah anak Jurusan Sastra Indonesia
maupun Bahasa indonesia, bahkan mengenal sastra pun belum lama. Memang tak
pantas orang yang belum mengerti banyak tentang sesuatu berbicara banyak, tapi
saya akan terus belajar untuk itu. Jika merujuk dengan perkataan “Masa depan
Bangsa ada di tangan anak muda” bukankah itu artinya, tidak hanya soal
pemerintahan tapi banyak hal entah itu bisnis, seni maupun sastra.
Untuk mempromosikan karya-karya
penulis saya akan memajang karya-kaya mereka lewat banyak media. Di online saya
akan membuatkan toko buku online yang khusus menjual karya-karya penulis yang
saya terbitkan. Meski buku didistribusikan ke toko buku, pameran-pameran
seluruh Indonesia, kita juga akan membuat toko buku di kantor. Memanfaatkan lahan
yang tidak terpakai, satu tempat banyak fungsi.
Terakhir, mengutip perkataan mas Aslaksana “Setahu saya,
salah satu urusan penerbit atau redaktur koran memang menolak naskah. Jika kau
melemah dan putus asa itu masalahmu sendiri. Itu lazim terjadi pada orang-orang
dengan mentalitas buruk. Dan mentalitas buruk adalah masalah psikiatris, bukan
masalah kesastraan. Setiap penulis adalah orang yang selalu belajar menulis
setiap hari. Ia tak pernah terlalu yakin bahwa tulisan-tulisannya menarik untuk
dibaca orang lain.” Selamat menulis.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lelang buku bayar karya di Grup Love Books A Lot ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)