Kamis, 22 Agustus 2013

Sudut Pandang Seorang Anak

Manusia di ciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Masing-masing menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda-beda. Tuhan memberi kehidupan manusia dengan banyak rasa. Senang, sedih, kecewa, bahagia, was-was, khawatir, takut, tertekan, dan lain sebagainya seakan datang silih berganti. Kehidupan banyak yang bilang hanya sementara namun berikan proses yang cukup lama, dari dalam kadungan - lahir- sekolah - kerja – menikah – punya anak- cucu – mati, atau mungkin rangkainanya lebih cepat berakhir, semua bergantung pada apa yang telah tuhan takdirkan pada masing-masing manusia. Tentu di dalamnya kita di berikan berbagai macam permasalahan dan cobaan sesuai dengan kadarnya.

Rumah adalah sekolah pertama yang yang memberikan kita banyak pelajaran, ibu dan bapak kita adalah guru yang mengajarkan kita tentang ini dan itu setiap harinya. Tanpa lelah mereka membagi perhatian, tenaga, kasih sayang untuk anak tercinta. Tidak meminta imbalan ataupun bayaran. Semuanya ibu dan bapak berikan secara cuma-cuma agar bisa melihat anak-anak mereka tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak lain. Dan tentu menginginkan anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih baik dari mereka untuk ke depannya.

Saya percaya hamper semua orang tua pasti akan berikan yang terbaik untuk anak-anaknya, walau sebagian tidak. Jika membicarakan cara orang tua mendidik anak-anaknya pasti ada yang berhasil dan juga ada yang tidak. Semua tergantung dengan cara mereka memberikan pelajaran dalam proses tumbuh kembang buah hatinya. Macam-macam masalah selalu menghampiri setiap keluarga, namun cara mengatasinya masing-masing sangatlah berbeda-beda. Ada yang berlarut-larut, ada pula yang langsung selesai saat itu juga.


Saya bukan seorang pakar parenting bukan mahasiswa pendidikan anak, dan bukanlah orang tua. Saya hanya seorang anak yang kini sedang tumbuh menjadi dewasa. Saya pernah merasakan ada di posisi sebagai anak, namun saya belum pernah merasakan menjadi orang tua, tentu apa yang saya sampaikan dari sudut pandang seorang anak dan juga seorang manusia yang bisa melihat dan mendengar kejadian-kejadian yang ada di sekeliling saya, kemudian menuangkan itu semua kedalam tulisan ini. dan akan berbeda pula yang saya tulis jika saya sudah menjadi orang tua.

Suatu hari saya sedang menjaga toko sembako milik orang tua saya, ada anak kecil kira-kira berumur dua tahun yang datang untuk berbelanja.

“Kak, beli hmmm…”

“Beli apa dek?” Tanya saya.

“Beli ini aja deh.” Dia mengambil permen seharga lima ratu rupiah. Dan anak itu pun berlalu.

Tidak berapa lama sang ibu datang dengan kondisi anak yang menagis.

“Mas tuker ini ya. Ini anak B*** suruh beli micin malah beli permen.” Si anak terus menagis dan semakin kencang.

“Gak bisa bu permennya kan sudah di emut-emut.”

“Dasar anak S****, suruh beli ini malah beli itu.” Si ibu memarahi anaknya. “Ya udah ini mas uangnya.”  Masih dengan tampang kesal.

Saya cuma bengong dan geleng-geleng kepapala, kemudian bertanya; Sebenarnya yang salah siapa ya? Si ibu atau si anak? Anak umur dua tahun di suruh belanja ke warung, salah gak? menurut saya salah.  Dalam usia itu, anak-anak berada pada masa di mana masih ingin main-main, mengenal sekitarnya, jadi yang belum sepenuhnya mengerti, apalagi disuruh-suruh, apa salah jika dia membeli sesuka hatinya? Jadi menurut saya dalam kondisi ini yang salah ya orang tuanya.

Mungkin di rumah lagi tidak ada orang, sedangkan masakan tidak bisa ditinggal, maka anaknya yang di suruh. Tapi, ketika si anak salah janganlah di marah-marahi dan di caci maki dengan kata-kata yang kasar, itu kan anak sendiri. Orang dewasa saja masih suka lupa, apalagi anak-anak.  Peran orang tua bukan hanya sekedar merawat anak hingga tumbuh dewasa, tapi lebih dari itu, sebagai teman yang bisa berbagi rasa, sebagai guru yang mengajarkan arti hidup , sebagai kakak yang melindungi, dan bisa berada di posisi manapun sehingga kedua menjadi nyaman dengan keadaan yang saling memahami satu sama-lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini. :)