Kepada,
Bapak mentri pendidikan.
Di tempat.
Assalamualaikum wr. wb, Pak menteri. Apapun kondisi bapak ketika membaca surat ini, semoga Allah selalu berikan rahmat serta kesehatan. Sebelum saya bercerita lebih dalam, perkenalkan pak, saya Ananda Bayu Sefian. Saya murid kelas tiga di sebuah SMA Negeri yang sangat jauh dari pulau jawa. Saya adalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang beruntung karna dapat melanjutkan sampai jenjang ini. Mendapatkan sekolah yang layak, guru-guru yang ramah, walau kadang ada juga guru yang sama sekali tidak bersahabat. Saya bersyukur atas semua itu.
Saya tahu dan pastinya bapak lebih tahu, atau tahu tapi seperti tidak tahu? atau
malah benar-benar tidak tahu?. Kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Masih banyak sekali teman-teman saya yang tidak seberuntung saya. Banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti yang saya dapatkan. Banyak dari mereka masih bertahan dengan fasilitas sekolah yang sama sekali tidak layak untuk disebut sekolah, atapnya tidak ada, bangku dan meja yang rusak, kelas yang sesak karna siswa kelas satu dan dua di gabung, serta kurangnya tenaga pengajar yang mengakibatkan mereka tidak dapat menyimak pelajaran dengan sempurna dan masih banyak lagi.
Beberapa teman saya, harus memutuskan berhenti sekolah karna kurangnya biaya. Susahnya ekonomi keluarga, mengharuskan mereka bekerja diusia dini, mengais rezeki untuk makan sehari-hari. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk biaya hidup saja mereka
sering kekurangan. Beberapa hari yang lalu saya menonton berita, yang menayangkan tentang adik-adik di desa yang harus berjuang untuk berangkat sekolah. Mereka harus menyebrang sungai dengan yang wanita membiarkan roknya basah diserbu air sungai yang deras, basah-basahan hanya untuk sekolah, sedangkan yang laki-laki membuka celananya, menaruh tas di kepalanya dan memakai kembali celananya ketika sampai di sebrang sungai. Semua itu karna jembatan penyebrangan yang rusak tak kunjung diperbaiki. Apakah bapak menonton juga? Semoga bapak juga menonton.
Saya sudah berada di tahun akhir di bangku sekolah SMA. Ujian nasional menunggu saya dan teman-teman. Ujian Nasional (UN), ya agenda wajib yang hadir setiap tahunnya. Setiap tahunnya seluruh siswa dasar, menengah pertama dan sekolah menengah atas, yang duduk bangku kelas tiga pasti mendapatkan gilirannya. Kami semua harus menjalani UN yang menjadi penentu lulus atau tidaknya kami dari perjalanan panjang yang di tentukan hanya beberapa hari.
Pak mentri yang saya cintai, saya senang sekali, karna pintu gerbang masa depan
saya setidaknya sudah sedikit terbuka. Saya tahu masa depan saya masih panjang, berliku dan abu-abu belum jelas tapi jangan tambah beban kami dengan hal-hal yang yang tak sama sekali perlu kami tahu. ‘Ujian Nasional’ hanya sebuah sebutan. Nyatanya kami merayakan hari penentuan kami tidak ‘Nasional’. Kami tidak menjalaninya serentak bersama teman-teman di seluruh indonesia.
Kami sudah belajar dengan maksimal, berjuang menahan kantuk membaca buku-buku, berlelah-lelah mengulang pelajaran. Pas hari peperangan, kami sudah siap tempur, kenapa harus ditunda? Kami tahu semua soal keterlambatan distribusi soal. Tapi kami sama sekali tidak tahu dan tidak mau tahu soal tender yang dimenangkan siapa dan apa keuntungan mereka, serta alasan-alasan keterlambatan itu. Yang kami tahu hanya satu. Hari ini ujian nasional. Keinginan kami pun hanya satu, yaitu LULUS.
Kami melalui proses panjang dalam menuntut ilmu, bertahun-tahun kami lalui, berbagai macam ilmu kami pelajari. Tapi nasib kami ditentukan hanya beberapa hari,
dengan beberapa macam pelajaran saja. Adil tidak menurut bapak? Bagi kami itu tidak adil. Belum lagi tuntutan dari banyak pihak yang menginginkan kami lulus dengan nilai terbaik, membuat kami bekerja keras, mereka yang berputusasa rela melakukan apa saja termasuk kecurangan, dan pada akhirnya kami terjebak pada hasil akhirnya yang tidak sesuai dengan kemampuan masing-masing dari kami.
Masalah ini terus terjadi setiap tahunnya dan belum sama sekali ada solusi dan
penyelasaiannya. Banyak dari kami yang pintar malah mendapatkan nilai yang tak pantas, dan begitu pula sebaliknya. Ujian nasional memang masih jadi perbicangan yang selalu menjadi bahan omongan yang tidak pernah ada habisnya.
Orang-orang sukses yang sering saya lihat di tv bilang: “Jika seseorang sukses,
janganlah lihat dia yang sekarang tapi lihat dia di masalalu. Lihat prosesnya bukan hasilnya”. Mungkin pemerintah perlu lihat proses kami saat belajar bertahun-tahun bukan hasil kami mengerjakan soal UN yang hanya di laksanakan beberapa hari dan menentukan kami lulus atau tidak hanya dari UN semata.
Terima kasih untuk bapak yang telah bekerja keras untuk mamajukan pendidikan, saya selalu mendoakan bapak dan seluruh orang yang bergerak terus untuk pendidikan
Indonesia yang lebih baik, agar selalu di berikan kesehatan dan kuat menjalani hari demi hari. Dan semoga pengganti bapak nanti mampu bekerja lebih baik lagi untuk pendidikan Indonesia. Saya tak pernah menyalahkan siapapun, karna saya pun belum berbuat apa-apa untuk pendidikan di Indonesia tercinta ini, tapi saya bercita-cita akan meneruskan perjuangan bapak meski tanpa gelar menteri.
Wa’alaikumsalam wr. wb.
Salam cinta
Ananda Bayu Sefian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini. :)